BMKG Sebut Indonesia Punya Zona Megathrust Pemicu Gempa Besar seperti di Jepang
JAKARTA - Ilmuwan Jepang mengeluarkan peringatan pasca gempa besar yang terjadi di megathrust Nankai Jepang Selatan M7,1 pada Jumat 8 Agustus 2024 pukul 14.42.58 WIB. Meskipun tidak memicu tsunami di Indonesia, namun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan gempa ini bisa menjadi pembelajaran untuk waspada gempa dari zona Megathrust.
Patut disyukuri bahwa hasil pemodelan tsunami oleh BMKG menunjukkan adanya status ancaman waspada dengan tinggi tsunami kurang dari setengah meter dan akhirnya terkonfirmasi, memang tsunami terjadi di Pantai Miyazaki Jepang dengan ketinggian 31 cm dan tidak merusak, kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangan resminya, dikutip Senin (12/8/2024).
Rapor Merah 1 Dekade Kepemimpinan Jokowi
Daryono pun menjelaskan, sumber gempa Megathrust Nankai terletak di sebelah timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku dan Kinki di Jepang Selatan. Megathrust Nankai adalah salah satu zona seismic gap (zona sumber gempa potensial tetapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir) dan diduga saat ini sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan atau stress kerak bumi.
Gempa-gempa dahsyat di atas hampir semuanya memicu tsunami. Sistem Megathrust Nankai memang sangat aktif. Berdasarkan data sejarah gempa tersebut di atas dapat dikatakan bahwa zona sumber gempa ini dapat memicu gempa dahsyat yang bermagnitudo M8,0 hingga lebih di setiap satu atau dua abad, jelas Daryono.
Selain itu, Daryono mengungkapkan jika Palung Nankai memiliki beberapa segmen Megathrust, namun jika seluruh tepian patahan tersebut tergelincir sekaligus, para ilmuwan Jepang yakin palung tersebut mampu menghasilkan gempa berkekuatan hingga M9,1.
Memang benar, bahwa para ilmuwan Jepang mengeluarkan peringatan pasca gempa Miyazaki M7,1 kemarin. Kekhawatiran itu muncul karena gempa besar tersebut dipicu oleh salah satu segmen di Megathrust Nankai, katanya.
Di zona Megathrust ini, kata Daryono, terdapat palung bawah laut sepanjang 800 kilometer yang membentang dari Shizuoka di sebelah barat Tokyo hingga ujung selatan Pulau Kyushu. Gempa M7,1 kemarin dikhawatirkan menjadi pemicu atau pembuka gempa dahsyat berikutnya di Sistem Tunjaman Nankai.
Jika kekhawatiran akan terjadinya gempa yang disampaikan para ahli Jepang tersebut menjadi kenyataan, tentu saja akan terjadi gempa dahsyat yang tidak saja berdampak merusak tetapi juga akan memicu tsunami, tambah Daryono.
Pertanyaannya, kata Daryono, jika gempa dahsyat itu terjadi apakah ada efeknya terhadap lempeng-lempeng tektonik yang ada di Indonesia? Jawabnya, jika terjadi gempa besar di Megathrust Nankai, dipastikan deformasi batuan skala besar yang terjadi tidak akan berdampak terhadap sistem lempeng tektonik di wilayah Indonesia karena jaraknya yang sangat jauh, dan biasanya dinamika tektonik yang terjadi hanya berskala lokal hingga regional pada sistem Tunjaman Nankai, bebernya.
Daryono pun melanjutkan jika gempa dahsyat di Megathrust Nankai tersebut benar-benar terjadi, apakah ada kemungkinan terjadi tsunami? Jawabnya, kemungkinan besar gempa besar tersebut dapat memicu tsunami, karena setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami), tuturnya.
Tentu saja hal ini perlu kita waspadai, karena tsunami besar di Jepang dapat menjalar hingga wilayah Indonesia. Namun demikian kita tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi di Jepang dapat kita pantau secara realtime dan kita analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian utara, ungkapnya.
Daryono menegaskan, kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis yang dirasakan dan dialami oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9). Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar, katanya.
Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, Daryono mengungkapkan bahwa BMKG sudah menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
BMKG selama ini memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai) yang dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
Harapan kita, semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim, pungkasnya.
Berikut catatan sejarah gempa menunjukkan bahwa Megathrust Nankai telah membangkitkan beberapa kali gempa dahsyat yang destruktif:
1. Gempa Hakuho Nankai Tsunami pada tahun 684
2. Gempa Ninna Nankai pada tahun 887
3. Gempa K?wa Nankaido pada tahun 1099
4. Gempa Sh?hei Nankaido (M8,4 - Tsunami) pada 3 Agustus 1361
5. Gempa Keich? Nankaido (M7,9 - Tsunami) pada 3 Februari 1605
6. Gempa Hoei (M8,7 - Tsunami) pada 28 October 1707
7. Gempa Ansei Nankai (M8,4 - Tsunami) pada 24 Desember 1854
8. Gempa Nankaido (M8,4 - Tsunami) pada 21 Desember 1946