Mengulik Sejarah Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo, Pencetak Ulama NU
JAKARTA, iNews.id - Sejarah Pondok Pesantren Al Khoziny di Desa Buduran, Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan saksi bisu pendidikan Islam di Jawa Timur.
Berdiri lebih dari satu abad, pesantren ini bukan hanya lembaga pengajaran, tapi juga gudangnya ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang mempengaruhi perjalanan bangsa.
Sejarah Berdirinya Ponpes Al Khoziny Buduran
Ponpes Al Khoziny didirikan sekitar tahun 1915-1927 oleh KH Raden Khozin Khoiruddin, atau akrab disapa Kiai Khozin Sepuh, menantu KH Ya'qub pengasuh Pesantren Siwalanpanji di Sidoarjo. Lokasinya yang strategis di Jalan KHR Moh Abbas I/18, tepi Jalan Raya Surabaya-Sidoarjo, membuatnya dikenal sebagai Pesantren Buduran.
Awalnya, pesantren ini hanya mengandalkan pengajian kitab kuning klasik, dengan santri pertama dibawa dari Siwalanpanji.
Pada 1926-1927, KH Mochammad Abbas Khozin mengambil alih kepemimpinan atas prakarsa Kiai Khozin, yang tetap mengawasi dari jauh.
Di bawah KH Abbas, pesantren berkembang pesat: khataman Tafsir Jalalain menjadi agenda rutin, menarik perhatian masyarakat sekitar. Pada 1964, Madrasah Tsanawiyah Al Khoziny didirikan, menandai era pendidikan formal. Kini, pengasuh generasi ketiga adalah KHR Abdus Salam Mujib, yang menegaskan usia pesantren melebihi satu abad berdasarkan cerita tutur dan arsip sejarah.
Sejarawan Dr Wasid Mansyur MFil mengonfirmasi, "Pesantren ini lahir sebelum 1920, terhubung erat dengan jaringan pesantren besar seperti Tebuireng dan Siwalanpanji." Ponpes Al Khoziny menjadi "laboratorium" bagi ulama NU, dengan lima tarekat inti: belajar/mengajar, salat berjamaah, membaca Al-Qur'an, salat witir, dan istikamah.
Lahirkan Ulama Nusantara
Warisan terbesar Al Khoziny adalah generasi ulamanya. Sejumlah tokoh NU besar pernah menimba ilmu di sini atau terkait melalui jaringan Siwalanpanji, termasuk pendiri NU KH Hasyim Asy'ari (Tebuireng), KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas), KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Dimyati (Banten), KH Syaikhona Kholil (Bangkalan), KH Nasir (Bangkalan), dan KH Nawawi Al Bantani (Ringin Agung, Kediri). "Pesantren ini pusat keilmuan yang melampaui batas Sidoarjo," ujar Moch Rofi'i Boenawi, alumni dan dosen Institut Al Azhar Menganti Gresik.
5 Tarekat Al Khoziny
Dalam buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Teladan Pecinta Ilmu yang Konsisten, Pustaka Idea Juni 2012, sebagaimana dilansir dari Wahid Foundation, lima Tarekat itu tidak bisa dilepaskan dari sosok KH Abdul Mujib Abbas, karena dari sosok beliaulah lima tarikat ini bisa dilihat, ibarat KH Abdul Mujib Abbas adalah cermin dari lima tarekat ini, di samping beliau sering menyampaikan dalam berbagai forum atau para santri dan alumni betapa pentingnya praktik langsung dari Lima Tarekat ini. yaitu:
Pertama: Belajar atau Mengajar, dalam hal ini beliau sering berkomentar,
كن عالما او متعلما او مستمعا او محبا ولا تكن خامسا غادرا فتهلك
“Jadilah kamu seorang yang alim, orang yang belajar, orang yang mendengar, orang yang cinta kepada hal tersebut. Janganlah kamu menjadi orang yang ke lima, yang selalu melanggar, maka –dengan itu- kamu akan rusak.”
Kedua: Salat berjamaah, Kiai Mujib dikenal sangat istiqamah dalam berjamaah di langgar pesantren bersama santri. Bahkan waktu sakit pun beliau tidak meninggalkan salat berjamaah. Di Al-Khoziny juga menjadi kewajiban bagi seluruh santri untuk ikut berjamaah.
Saking pentingnya jamaah, menurut cerita yang berkembang di Al-Khoziny, pada masa Kiai Abbas para santri yang melanggar tidak berjamaah akan mendapatkan sangsi batin, yakni sulit menerima ilmu yang disampaikan oleh Kiai Abbas, walaupun santri yang melanggar itu mengikuti pengajian di dekat Kiai Abbas.
Ketiga: membaca al-Qur’an. Kiai Abdul Mujib selalu mengawal santrinya setiap salat subuh untuk mengaji al-Qur’an kepada beliau dengan pembekalan ilmu tajwid . Ini menjadi magnet santri Al-Khoziny untuk mengisi hari-harinya dengan al-Qur’an.
Keempat: salat Witir dan yang kelima adalah: Istiqamah. Amaliah sunah Nabi dan keistiqamahan Kiai Mujib sudah menjadi pemandangan keseharian di pesantren. Sakit berat tidak mengahalangi ketekunan beliau dalam mengajar dan mengaji.
Pesantren sebagai Medan Jihad
Pesantren adalah medan jihad yang dipilihKH Abdul Mujib Abbas, bukan mengangkat senjata tapi dengan mencurahkan tenaga dan pikiran sebagai wujud pelestarian agama Allah dengan mendidik para santri dengan literatur salaf. Hingga lahirlah generasi-generasi Al Khoziny yang ikhlas, berakhlakul karimah disertai bekal ilmu agama secara utuh dalam mengawal Islam. Paling tidak, lulusan pesantren dapat memberikan kemanfaatan dan pengajaran yang benar tentang esensi Islam.
“Salah satu keberhasilah K.H Abdul Mujib Abbas memimpin Al-Khoziny adalah menjaga nilai tradisional. Kiai Mujib selalu ajek merawat tradisi pesantren sejak awal hingga akhir kepemimpinannya. Ia terlibat langsung dalam pengajian kitab kuning dan selalu mendorong agar pengajian-pengajian serupa dilaksanakan dalam berbagai forum, baik santri senior ataupun putra-putrinya.” Komentar KH Maimoen Zubair Pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang Rembang Jateng. Di buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Pustaka Idea Juni 2012.
Sejarah Perkembangannya
Pesantren dalam perkembangannya ( 1956 ) semula dengan nama" Ma'hadul Mustarsyidin " dan pada tahun 1978 nama itu ditambahkan dengan kata " Al-Khoziny " yang dalam bahasa indonesia diartikan Lembaga Pesantren Al-Khoziny dengan seperti ciri-ciri pondok pesantren pada umumnya.
Dalam perkembangannnya dengan tetap memegang ciri khas sebagai pondok salafi , pondok pesantren ini dengan bimbingan K.H Abdul Mujib Abbas berupaya mengklasifikasikan pendidikan santri menjadi pendidikan formal yang berbentuk sekolah ( Madrasah ).
Pada mulanya berbentuk Diniyah yang seluruh meteri pelajarannya hanya pendidikan agama saja ( Kitab salaf ) namun dengan perkembangan pendidikan di indonesia dan kebutuhan disekitarnya K.H Abdul Mujib Abbas memasukan pendidikan formal tersebut kedalam Pendidikan Pesantren dengan Membangun Pendidikan formal antara lain :
1. 1964 membuat Sekolah Menengah pertama Islam ( SMPI ) yang pada th 1970 dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Al-khoziny
2. 1970 Membuat Sekolah Menengah Atas Islam ( SMAI ) yang juga dirubah menjadi Madrasah Aliyah Al-khoziny
3. 1971 Membuat Sekolah Persiapan A & Persiapan B yang selanjutnya dirubah menjadi Madrasah Ibtida'iyah Al-Khoziny
4. Th 1982 Mendirikan Sekolah Tinggi Diniyah yang kemudian Pada th 1993 diformalkan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) dan Sekolah Tinggi Ilmu
Alqur'an ( STIQ ) yang sekarang berubah menjadi Institut Agama Islam ( IAI ) Al-Khoziny
Mangkatnya Sang Pejuang Ilmu
Kecintaan K.H Abdul Mujib Abbas terhadap ilmu memang luar biasa, setelah dirawat karena sakit di rumah sakit Graha Amerta Surabaya, semangat Kiai Mujib terhadap ilmu malah makin kuat, padahal waktu itu beliau menjalani rawat jalan. Dalam kondisi yang lemah, Kiai Mujib tetap menjaga istiqamah membaca kitab walau pengajian dipindah ke ndalem beliau, saking semangatnya beliau sering lupa waktu ketika balah kitab, melebihi batas waktu pada waktu sehat beliau.
Kiai Mujib juga tidak pernah lelah untuk terus belajar. Saat penglihatan menurun, beliau menyuruh santrinya untuk membelikan kitab Shahih Bukhori dengan tulisan jumbo. Beliau juga ketika muthala’ah sering menyuruh santrinya untuk membacakan kitab yang didengarkan beliau. Ketekunan mendalami ilmu membuat kondisi tubuh beliau melemah, Kiai Mujib kembali dirawat di Graha Amerta untuk ke dua kalinya. Setelah 15 hari dirawat, beliau pun kembali ke hadirat Yang Maha Kuasa pada puku 11:45 tanggal 5 Oktober 2010 / 26 Syawal 1431 H. dalam usia 77 tahun 11 bulan 25 hari.
Program pendidikan mencakup pengajian kitab kuning, madrasah (MI, MTs, MA), dan tarekat spiritual. Santri diajarkan kemandirian melalui kegiatan ekonomi seperti pertanian, sambil menekankan akhlak mulia. Saat ini, pesantren menampung ratusan santri putra dan putri, dengan fokus pada moderasi beragama dan keterampilan modern.










