Jihad Literasi dan Teknologi, Senjata Gen Z Melawan Radikalisme
Generasi Z yang lahir pada rentang 1997–2012 dikenal kritis, melek teknologi, dan mudah beradaptasi dengan perubahan zaman. Namun di balik keunggulan tersebut, mereka juga rapuh terhadap tekanan dan provokasi, yang jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat menjadi sasaran empuk narasi eksploitatif termasuk anarkisme, ekstremisme dan radikalisme.
Sosiolog sekaligus Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Zuly Qodir menegaskan bahwa kerentanan ini bukan kelemahan mutlak, melainkan bentuk empati mendalam terhadap ketidakadilan. Energi besar Gen Z, kata dia, perlu diarahkan ke saluran yang tepat agar tidak jatuh ke tangan kelompok yang menyebarkan ideologi destruktif.
"Generasi Z memang rapuh dalam menghadapi tantangan serius, tetapi mereka memiliki daya jelajah luar biasa. Di sinilah peran pendamping menjadi penting," kata Zuly dalam diskusi di Yogyakarta, Selasa (16/9/2025).
Menurutnya, keterbatasan orang tua mendampingi anak membuat Gen Z kerap mencari sosok lain yang dianggap sebagai teladan, baik teman sebaya maupun figur publik. Jika pendamping ini tepat, generasi muda bisa berkembang positif. Namun bila salah, mereka bisa terjerumus dalam arus radikalisme.
Zuly menekankan bahwa tantangan bangsa saat ini bukan lagi perang fisik, melainkan pertarungan asimetris di ruang digital, di mana kelompok ekstremis sangat militan dan terorganisir dalam menyebarkan propaganda kekerasan. Karena itu, ia mengajak generasi muda untuk berjihad melalui literasi, penguasaan teknologi, dan penyebaran informasi yang meneguhkan moderasi beragama serta semangat kebangsaan."Jangan sampai mereka yang moderat enggan bersuara di media sosial. Jika dibiarkan, narasi kekerasan bisa lebih dominan dibandingkan narasi perdamaian," katanya.
Untuk membangun daya tahan Gen Z terhadap propaganda ekstremisme, Zuly menyerukan kolaborasi lintas sektor – pemerintah, masyarakat sipil, organisasi keagamaan, dan komunitas – agar anak muda tidak mudah tereksploitasi atau mengidolakan tokoh menyimpang.
Penulis buku Citizen Conservatism and Post Islamism: Political Contestation in Indonesia Post New Order ini menegaskan, masa depan Indonesia yang damai ada di tangan generasi muda. Karena itu, negara harus proaktif memitigasi ideologi transnasional yang berpotensi merusak moral bangsa.
"Pemerintah bisa memblokir akun-akun provokatif yang menyebarkan kebencian dan perpecahan. Dalam perang melawan radikalisme di dunia maya, literasi dan teknologi adalah senjata utama Gen Z," katanya.









