Desing Peluru di Tapal Batas

Desing Peluru di Tapal Batas

Nasional | sindonews | Senin, 15 September 2025 - 23:08
share

Wahyuni Refi Peneliti dan Praktisi Diplomasi Budaya Indonesia-Timor Leste

HANYA dalam hitungan pekan, selepas riuh perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, dari timur Indonesia tersiar kabar tentang Paulus Taek Oki (69), warga Desa Inbate, Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terluka serius dalam insiden penembakan di tapal batas Indonesia-Timor Leste (25/8/2025) lalu.

Sebagaimana dilansir media, Oki bersama teman-temannya sesama petani sedang membakar lahan guna penanaman baru, tiba-tiba dari sisi distrik Oecusse, Timor Leste, mereka bagai disapu oleh beberapa tembakan dengan peluru kaliber 5,5 mm yang tentu berasal dari aparat perbatasan negara tetangga itu. Beruntung Oki, peluru hanya mengenai bahunya. Meski harus dilarikan ke rumah sakit, ia selamat.

Gesekan-gesekan di perbatasan Bikomi Nilulat (Indonesia) dengan wilayah sub-distrik Passabe (enclave Oecusse, Timor Leste), khususnya di titik un-surveyed segment dengan panjang lintasan mencapai ±14 km, bukanlah yang pertama kali. Dalam laporan penelitian Yosef Serano Korbaffo (2018), pada April 2013 hampir saja terjadi konflik antara warga Desa Inbate dengan warga Passabe, akibat pembangunan pos pengamanan Timor Leste di titik Subina.

Warga Inbate menganggap itu melanggar perjanjian adat berupa pemberlakuan zona netral di lahan tersebut. Setahun kemudian, tepatnya Oktober 2014, terjadi pula bentrokan warga Desa Sunkaen dengan warga Passabe di titik Pistana. Bentrokan disinyalir terjadi akibat aktivitas pertanian yang dilakukan warga Passabe di titik tersebut, hingga menerobos ke wilayah Desa Sunkaen sejauh 200 meter. Bahkan hingga 2017, gesekan-gesekan masih terjadi di beberapa titik. Dari wawancara Yosef Serano Korbaffo dengan Severianus Lake (warga setempat), diperoleh informasi bahwa pada Juni 2017, telah terjadi gesekan di titik Tububanat yang melibatkan warga Desa Nilulat dengan warga Passabe. Sementara pada bulan Agustus di tahun yang sama, terjadi lagi ketegangan antara warga Desa Sunkaen dengan masyarakat Passabe di titik Pistana.

Di zona yang disebut dengan un-surveyed segment itu setidaknya ada empat titik sengketa, antara lain: titik Tububanat di Desa Tubu dan Nilulat; titik Nefonumpo di Desa Haumeni Ana; titik Pistana di Desa Sunkaen dan Nainaban; dan titik Subina di Desa Inbate (Korbaffo, 2018). Di titik yang disebut terakhir inilah terjadinya insiden penembakan atas Paulus Taek Oki yang saya singgung di atas.

Bila dirunut jauh ke belakang, guna melihat upaya-upaya diplomatik Indonesia dalam penyelesaian sengketa perbatasan ini, maka dokumen yang dapat dibaca adalah A Convention for the Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor 1904—disingkat Traktat 1904—dan Permanent Court of Arbitration 1914 atau PCA 1914, yang disepakati kedua negara sebagai landasan hukum internasional dalam pengaturan tapal batas Indonesia-Timor Leste, dengan asas uti possidetis juris.

Atas dasar itu, pada 2005 Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirayuda, dan Menteri Luar Negeri Timor Leste, Ramos Horta, berhasil menyelesaikan 907 titik koordinat batas atau sekitar 96 dari total panjang garis batas antara Indonesia dan Timor Leste yang tertuang dalam Provicional Agreement between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Democratic of Timor Leste on the land boundary atau yang biasa disingkat Provicional Agreement. Dalam dokumen itu disebutkan, titik Subina, Pistana, Nefonumpo dan Tububanat telah menjadi milik Timor Leste.

Selanjutnya, pada 2013 pemerintah Indonesia menerbitkan peta Annex B1 of Addendum No 1 to the Provicional Agreement between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste atau disingkat Peta Annex B1, terkait batas darat Indonesia-Timor Leste. Peta itu menerangkan bahwa titik un-surveyed segment tidak dimasukkan dalam peta wilayah NKRI sehingga makin menguatkan klaim Timor Leste atasnya. Kesepakatan soal batas wilayah berbasis Traktat 1904 dan PCA 1914 tak pelak lagi mendapat penolakan yang tegas dari warga setempat.

Di titik Subina, desa Inbate misalnya, tokoh-tokoh adatnya mendasarkan jejak batas wilayah mereka pada batas antara Kerajaan Bikomi dan Ambenu di masa lalu, di mana hak pengelolaan lahan di titik itu sejak turun-temurun dipegang oleh orang Inbate. Namun dalam kurun waktu tertentu, pengolahan lahan itu diambil alih oleh masyarakat Passabe karena peristiwa perkawinan antara Suni Funit dari Inbate dengan pemuda dari Ambenu.

Perkawinan itu disertai penyerahan sebidang lahan untuk diolah kepada Suni Funit dan suaminya di titik Subina (Korbaffo, 2018). Sumber lain menyebutkan bahwa klaim masyarakat Inbate di titik Subina didasarkan pada adanya makam Suni Funit yang merupakan leluhur masyarakat Inbate.

Di era integrasi Timor Timur, titik Subina yang kini menjadi sengketa itu bukan persoalan serius, karena ada hubungan kekerabatan sesama Suku Atoni Meto. Ikatan persaudaraan terus berlanjut hingga tahun 1988, yang ditandai dengan penanaman pilar perbatasan Provinsi NTT dan Provinsi Timor Timur, yang dilakukan dengan mengikuti klaim masyarakat Ambenu, bahwa orang Bikomi dan orang Ambenu berasal dari rahim kultural yang sama.

Setelah Timor Leste terpisah dari Indonesia, soal tapal batas ini kemudian bermasalah, lantaran Provicional Agreement hanya semata-mata melihat mereka sebagai "benda-benda geografis" yang dapat diatur dengan sebuah traktat. Padahal, dalam hal wilayah yang mereka huni dan lahan pertanian yang mereka garap sejak dari zaman nenek moyang, tentulah ada wawasan historiografik dan kesadaran kultural yang tak bisa dikapling-kapling begitu saja oleh pendekatan teritorial atas nama kedaulatan negara.Dalam beberapa aktivitas riset saya di Bikomi Utara, termasuk di sebuah kantor kepala desa yang berjarak kurang dari 1 km dari perbatasan dengan sub-distrik Passabe, Timor Leste, aparat desa, narasumber saya, datang terlambat. Tak tanggung-tanggung, 2 jam lebih. Tapi, keterlambatan itu rupanya tidak ia sengaja.

"Beliau sedang memenuhi undangan dari aparat suco (desa) di sebelah (Timor Leste). Mereka sedang merayakan ulang tahun kemerdekaan," jelas sekretaris desa yang menemani saya. Begitulah, saling mengundang antaraparat desa dari kedua negara, bukan hal yang asing di Bikomi, dan itu terus terjadi. Sekali lagi, karena ikatan persaudaraan sesama "orang Dawan" (pengguna bahasa lokal yang sama) tiada pernah retak, meski kini mereka sudah berbeda bendera.

Atmosfir budaya di tapal batas itulah yang tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian isu-isu perbatasan Indonesia-Timor Leste. Jika aspek-aspek kultural "manusia perbatasan" itu senantiasa diabaikan, maka korban seperti Paulus Taek Oki, boleh jadi akan bertambah dengan eskalasi gesekan yang barangkali lebih mengerikan...

Topik Menarik