Krisis Nepal dan Wake Up Call untuk Dunia yang Otoriter

Krisis Nepal dan Wake Up Call untuk Dunia yang Otoriter

Nasional | sindonews | Kamis, 11 September 2025 - 08:26
share

Ridwan al-MakassaryDosen di Fakultas Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Direktur Center of Muslim Politic and World Society (COMPOSE) UIII

NEPAL yang dikenal sebagai atap dunia, sedang terbakar dan menjadi abu. Sepanjang sejarahnya, Republik Himalaya itu akrab dengan pergolakan, dari penghancuran monarki yang tragis, gempa bumi yang meluluhlantakkan, blokade ekonomi yang menyengsarakan hingga pemerintahan koalisi yang rapuh.

Dengan kata lain, Nepal adalah satu negara yang hidup melalui gelombang demi gelombang krisis yang tak berkesudahan. Namun, apa yang terjadi pada September 2025, belum pernah terjadi sebelumnya, adalah letusan gunung “kemarahan” Himalaya yang meluluhlantakkan tembok-tembok kekuasaan negara yang kokoh.

Para demonstran, Gen Z menyerbu jalan-jalan, membakar gedung parlemen, memaksa pengunduran diri Perdana Menteri, K.P. Sharma Oli. Sebagai satu akibat, belasan orang meregang nyawa dan harta benda yang ludes terbakar. Singkatnya, krisis Nepal telah telah menggemparkan dunia.

Tulisan ini menjelaskan mengapa krisis Nepal terjadi dan apa yang bisa dipelajari dari krisis tersebut. Krisis Nepal berawal dari sebuah pelarangan. Pada 4 September 2025, pemerintah Nepal melarang beroperasinya 26 platform media sosial, misalnya WhatsApp, Facebook, Instagram, Tik Tok dan YouTube, untuk menyebut beberapa. Dalih pelarangan adalah mengekang penyebaran informasi yang salah. Namun, dalam hitungan hari, anak-anak sekolah, mahasiswa, dan pekerja muda, yang disebut Gen Z, menyemuti jalan-jalan Kathmandu. Di Maitighar Mandala mereka menyuarakan dengan lantang “Hentikan korupsi, bukan media sosial!”. Gen Z membingkai pengekangan tersebut sebagai sebuah tindakan untuk membungkam perbedaan.

Gen Z membela bahwa ruang digital bukanlah kemewahan. Ia adalah udara yang mereka hirup. Melarangnya berarti membungkam suara, jaringan dan identitas mereka. Alih-alih, larangan sosial media yang dimaksudkan untuk membungkam para kritikus, malah ia mengobarkan bara api perlawanan.

Pelajaran ini bersifat universal: pemerintah yang dengan sengaja melumpuhkan media sosial sesuka hati mereka akan melahirkan resistensi fisik. Sejarah mewartakan bahwa pajak media sosial di Uganda hingga penutupan internet Iran, dan sekarang larangan media sosial di Nepal, polanya jelas.

Selain itu, pemerintah Nepal abai bahwa segala upaya mengontrol ruang digital akan menerbitkan perlawanan Gen Z.Protes Gen Z, sejatinya, tidak saja tentang pelarangan media sosial, melainkan juga frustrasi sosial kalangan muda yang menyaksikan tingkat pengangguran yang tinggi di atas 20, skandal korupsi yang meluas, dan dominasi keluarga elit politik yang hidup glamor bertabur kemewahan.

Gen Z, yang umumnya lahir pascaperang Maois dan tumbangnya monarki, telah tumbuh dengan mendengar janji-janji indah tentang “Nepal baru” yang lebih baik. Namun, situasi yang mereka lihat dan alami adalah stagnasi. Janji-janji kesejahteraan yang dihancurkan oleh keserakahan pemerintah telah membuahkan perlawanan. Sebagai satu akibat, pemberontakan mereka adalah deklarasi perang melawan sistem yang korup dan kolutif. Selama bertahun-tahun, politik Nepal telah dicincang oleh korupsi, kolusi, nepotisme dan impunitas. Situasi yang jamak terjadi di banyak negara yang otoritarian. Kantor publik tidak berfungsi memberikan layanan yang baik, namun lebih sebagai akses kepada pungutan-pungutan liar.

Tetapi, ketika kekecewaan yang menumpuk terhadap buruknya birokrasi berpadu dengan kemiskinan, flexing pejabat dan keluarganya, kenaikan harga yang melambung tinggi, dan menyusutnya peluang kerja, warga masyarakat yang mengalami ketidakdilan sosial menjadi mudah terbakar.

Protes Gen Z hanya pemicu (trigger). Ini juga merupakan peringatan global. Dalam negara yang masih berjuang untuk tegaknya demokrasi, dari Asia, Afrika hingga Amerika Latin, korupsi bukanlah masalah abstrak. Ini adalah kenyataan pahit yang dijalani, menghalangi peluang yang setara dan menghancurkan kepercayaan publik. Dan ketika warga masyarakat bangkit untuk melawan system yang rusak tersebut, tidak ada lembaga, termasuk militer dan polisi, yang dapat menahan luapan kemarahan mereka.

Respons keras pemerintah melalui gas air mata, peluru karet, amunisi tabu, jam malam, dan bahkan pengerahan tentara acap mengubah protes menjadi pemakaman para martir sehingga perlawanan semakin tak terhentikan. Represi mungkin dapat memulihkan ketertiban selama semalam, tetapi itu akan merusak legitimasi mereka untuk jangka panjang.

Pemerintah dari Moskow ke Yangon, dari Teheran ke Kathmandu, yang mengabaikan kebenaran ini bermain dengan bahaya yang mengancam. Pada saat Oli dan menterinya mencoba mundur, sudah terlambat. Nasi sudah mejadi bubur. Kerumunan telah bertambah, komunitas internasional telah mengutuk kekerasan, dan pengunduran diri politik menjadi tak terelakkan. Jatuhnya rejim Oli lebih dari sekadar perubahan politik. Ia melambangkan transfer otoritas moral. Tokoh-tokoh seperti Wali Kota Muda Kathmandu, Balendra Shah, tiba-tiba muncul sebagai alternatif yang terpercaya. Para pemimpin masyarakat sipil, mahasiswa, dan aktivis dijital melangkah ke dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh pihak-pihak yang didiskreditkan.

Nepal sekarang menatap kemungkinan pemilihan umum lebih cepat. Jika ditangani dengan bijak, ini bisa menjadi awal dari serah terima tongkat kepemimpinan generasi dalam politik. Namun, jika salah penanganan, ini berpeluang bisa menjadi ketidakstabilan yang lebih dalam.

Saat ini elit politik Nepal tampaknya akan memperlakukan September 2025 sebagai badai yang harus dilewati daripada titik balik yang harus direbut. Hanya mengganti Oli dengan politisi tua lainnya atau orang-orang lama yang masuk dalam jaringan rezim tua tidak akan memulihkan legitimasi.

Krisis ini tidak unik di Nepal. Sebelumnya, dunia menyaksikan krisis di Tunisia, Bangladesh dan Indonesia, untuk menyebut beberapa. Itu sudah terjadi di banyak ibu kota negara di mana pemerintah berpegang teguh pada merawat kekuasaan, tinimbang bekerja mernyejahterakan warga.

Sementara masyarakat, termasuk generasi muda putus asa di bawah utang, pengangguran, sensor, dan kecemasan iklim. Krisis Nepal memberi peringatan (wake up call): bahwa pemerintah yang gagal mereformasi negaranya kea rah yang lebih baik akan menghadapi kejutan September mereka sendiri, seperti di Nepal. Pelajaran yang lebih luas: kaum muda di seluruh dunia—baik di Kathmandu, Jakarta, Lagos, atau Santiago—menuntut tidak hanya inklusi tetapi juga transformasi. Mereka menginginkan perubahan yang nyata. Perubahan yang lebih baik bagi kehidupan bernegara.

Secara keseluruhan, pelajaran dari krisis Nepal tidak hanya mengingatkan. Ia juga menawarkan kemungkinan. Dari abu September 2025, ada ruang untuk bangkit membangun tatanan politik baru untuk kesejahteraan warga secara umum, dan masa depan digital di mana hak-hak dihormati daripada ditekan.

Bagi dunia, pertanyaannya adalah apakah kita akan mengindahkan peringatan dari Krisis Nepal atau mengabaikannya sebagai krisis lokal di negara kecil, yang terjepit di antara raksasa. Memilih yang terakhir akan menjadi kesalahan besar. Karena apa yang berkobar di Kathmandu bukan hanya cerita unik Nepal.

Ia adalah kisah perjuangan generasi muda dan kekecewaan warga masyarakat yang frustasi untuk mengklaim martabat, keadilan, dan kebebasan di era disrupsi. Tanpa berbenah ke arah yang lebih baik, krisis Nepal bisa terjadi dengan pola yang sama cepat atau lambat.

Topik Menarik