Palestina dan Pengakuan Barat: Sebuah Persimpangan Sejarah

Palestina dan Pengakuan Barat: Sebuah Persimpangan Sejarah

Nasional | sindonews | Senin, 18 Agustus 2025 - 10:46
share

Eko ErnadaPengajar dan Peneliti Kajian Timur Tengah Universitas Jember

DALAM beberapa pekan terakhir, gelombang pengakuan kemerdekaan Palestina oleh sejumlah negara Barat mulai mencuat ke permukaan. Australia, Inggris, dan Prancis - negara-negara yang selama ini dikenal berhati-hati dalam menanggapi isu ini - mulai menyuarakan niat untuk mengakui negara Palestina secara resmi.

Tentu, pernyataan ini bukanlah hal sepele atau insidental; melainkan cerminan dari pergeseran politik yang tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah panjang dan dinamika geopolitik yang mengikat setiap langkah mereka. Melihat dari perspektif historis, keterlibatan negara-negara ini dalam konflik Israel-Palestina tidak bisa dilepaskan dari peran masa lalu yang sarat dengan kepentingan kolonial dan strategi geopolitik.

Inggris, misalnya, memiliki peranan sentral sejak awal abad ke-20, ketika Deklarasi Balfour pada 1917 secara eksplisit mendukung pembentukan "tanah air bagi bangsa Yahudi" di Palestina, yang saat itu merupakan wilayah di bawah mandat Inggris.

Pernyataan ini, meski mengandung janji kepada komunitas Yahudi, mengabaikan hak mayoritas penduduk Arab Palestina dan menimbulkan konflik berkepanjangan yang hingga kini belum terselesaikan.

Inggris, sebagai negara mandat, bertanggung jawab langsung atas administrasi Palestina antara tahun 1920 dan 1948. Masa ini menandai periode ketegangan dan benturan antara komunitas Yahudi yang terus meningkat, berkat imigrasi yang didukung oleh Inggris, dengan penduduk Arab yang menolak rencana pembentukan negara Yahudi. Inggris menghadapi dilema berat antara menjaga kepentingan kolonial dan menenangkan aspirasi lokal yang bertentangan. Pada akhirnya, Inggris menarik diri dari mandat ini dan menyerahkan persoalan ke PBB, yang kemudian memutuskan pembagian wilayah (Resolution 181) pada 1947. Keputusan ini, yang dimaksudkan untuk menciptakan dua negara, malah memicu konflik berdarah yang berujung pada pembentukan negara Israel dan pengusiran serta pengungsian besar-besaran warga Palestina pada 1948.

Peran historis Inggris ini menjadi bayang-bayang yang sulit untuk dihindari dalam kebijakan luar negerinya terkait Palestina. Sikap Inggris saat ini dalam menyatakan niat mengakui kemerdekaan Palestina sesungguhnya adalah refleksi dari proses panjang penyesuaian sikap terhadap warisan kolonial yang kontroversial tersebut.

Inggris tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral dan politik yang berakar dari masa lalunya, dan pengakuan ini dapat dianggap sebagai upaya memperbaiki posisi mereka sekaligus menanggapi tekanan internasional dan domestik yang berkembang.

Prancis memiliki sejarah yang berbeda, namun tidak kalah penting dalam konteks ini. Sebagai mantan kekuatan kolonial di wilayah Levant (termasuk Suriah dan Lebanon), Prancis memiliki hubungan historis yang kompleks dengan dunia Arab. Pengaruh kolonial Prancis di Timur Tengah memengaruhi hubungan diplomatik dan sensitivitas politiknya terhadap isu-isu Arab, termasuk Palestina.

Prancis juga memiliki populasi diaspora Arab yang cukup besar, yang menjadi salah satu faktor internal yang memengaruhi kebijakan luar negeri mereka.

Dalam dekade terakhir, Prancis telah menunjukkan kecenderungan lebih terbuka terhadap dukungan kemerdekaan Palestina, meskipun tetap menjaga hubungan strategis dengan Israel. Pendekatan Prancis ini dapat dilihat sebagai strategi diplomatik yang seimbang antara menjaga pengaruh di dunia Arab dan mempertahankan aliansi dengan sekutu Barat. Pada tingkat regional dan internasional, Prancis kerap menjadi suara penting dalam mendorong solusi dua negara, dan pengakuan terhadap Palestina adalah bagian dari upaya untuk mendorong perdamaian yang lebih adil dan berkelanjutan.

Australia, yang secara geografis jauh dari Timur Tengah, mungkin terlihat sebagai pemain yang kurang berperan dalam konflik ini. Namun, sejarah keterlibatan Australia, meskipun lebih terbatas, tetap relevan. Australia selama ini dikenal memiliki kebijakan luar negeri yang pro-Barat, khususnya mendukung aliansi dengan Amerika Serikat dan Inggris.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran dalam opini publik dan politik domestik Australia terkait konflik Israel-Palestina. Kelompok masyarakat sipil dan advokasi hak asasi manusia di Australia semakin vokal menuntut pengakuan terhadap Palestina sebagai negara merdeka.

Reaksi politik Australia terhadap isu ini mencerminkan interaksi kompleks antara sejarah aliansi, tekanan publik, dan perubahan geopolitik global. Jika Australia benar-benar mengambil langkah mengakui Palestina, itu menandai perubahan sikap penting yang juga dapat mendorong negara-negara lain di kawasan Pasifik untuk mempertimbangkan hal serupa.

Keterlibatan Australia dalam isu ini, meskipun tidak sebesar Inggris atau Prancis, merupakan indikator bahwa tekanan internasional terhadap status quo semakin kuat dan meluas. Melihat kembali pola perilaku negara-negara Barat ini melalui lensa pendekatan historis dalam Hubungan Internasional, kita dapat memahami bahwa setiap keputusan politik bukanlah reaksi spontan. Melainkan hasil pembelajaran dan internalisasi pengalaman masa lalu. Pendekatan behavioral yang berfokus pada pengalaman historis mengungkap bagaimana negara-negara menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan memori kolektif dan konteks historis yang melingkupi isu Palestina.

Sejarah panjang dan rumit ini membentuk persepsi dan tindakan negara-negara Barat dalam politik dunia. Resolusi PBB 181 pada 1947, pembentukan negara Israel pada 1948, Perang Enam Hari 1967, hingga perjanjian Oslo 1993, semuanya merupakan episode yang membentuk pola interaksi dan respons negara-negara dalam konflik ini.

Pengakuan terhadap Palestina oleh negara Barat bukanlah hasil dari niat idealistik semata, melainkan hasil dari akumulasi pengalaman, tekanan politik domestik, dan realpolitik global. Sejauh ini, lebih dari 135 negara telah mengakui kemerdekaan Palestina, kebanyakan berasal dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Namun, pengakuan dari negara-negara Barat memiliki bobot politik dan simbolik yang jauh lebih besar di arena internasional. Bila Australia, Inggris, dan Prancis melangkah maju dengan pengakuan formal, ini akan menjadi perubahan paradigma penting yang menguji ulang arsitektur politik global dan mengirimkan sinyal kuat kepada aktor-aktor utama lain seperti Amerika Serikat dan Israel.

Namun, pengakuan formal ini bukanlah titik akhir perjuangan Palestina. Pengakuan harus dilanjutkan dengan langkah nyata untuk menghentikan pendudukan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi. Tanpa tindakan konkret, pengakuan bisa menjadi formalitas tanpa makna substansial di lapangan. Dunia internasional perlu menyadari bahwa keadilan yang tertunda berisiko menjadi keadilan yang ditolak, dan momentum pengakuan ini harus dimanfaatkan untuk mengoreksi ketidakadilan sejarah.Secara filosofis, fenomena ini menegaskan bahwa keadilan dalam hubungan antarbangsa bukan sekadar ideal normatif, melainkan proses yang terus diuji oleh kekuasaan, sejarah, dan tekanan struktural. Filsuf Emmanuel Levinas menegaskan bahwa “keadilan sejati dimulai dari pengakuan akan wajah ‘yang lain’ - keberadaan yang berbeda namun sama-sama berhak dihormati.”

Dalam konteks Palestina, pengakuan oleh Barat adalah kesempatan untuk mengakui kemanusiaan dan hak asasi yang selama ini terpinggirkan, membuka ruang bagi perdamaian yang berkeadilan.

Namun, seperti diingatkan oleh Martin Luther King Jr., “Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak.” Maka, pengakuan itu harus diikuti oleh tindakan nyata, bukan hanya kata-kata kosong, agar tidak menjadi pengulangan ketidakadilan yang bersejarah. Dunia harus melihat pengakuan ini sebagai langkah awal menuju sebuah tatanan internasional yang benar-benar menghargai hak dan kemerdekaan setiap bangsa tanpa diskriminasi dan kepentingan geopolitik semata.

Dengan demikian, pengakuan Palestina adalah cermin reflektif tentang bagaimana dunia menghadapi warisan sejarahnya - apakah kita memilih mengulang pola lama ketidakadilan atau berani menapaki jalan baru yang didasari oleh keberanian moral dan tanggung jawab kolektif.

Perjuangan Palestina menjadi ujian bagi nilai-nilai kemanusiaan universal yang kita klaim bersama, dan pengakuan negara adalah salah satu pintu yang membuka harapan sekaligus tantangan bagi seluruh komunitas internasional.

Topik Menarik