UU Antitipikor Sarana Pemberantasan Korupsi

UU Antitipikor Sarana Pemberantasan Korupsi

Nasional | sindonews | Jum'at, 8 Agustus 2025 - 06:36
share

Romli Atmasasmita

BAGI Aparatur Sipil Negara yang bertugas di lembaga negara pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, telah tidak asing lagi jika mendengar atau membaca kalimat kerugian keuangan negara. Begitu pula aparatur penegak hukum khususnya yang beraktvitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Hal ini disebabkan baik di dalam UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; telah diatur secara lengkap dan rinci.

Namun demikian, hal tersebut tidaklah merupakan jaminan bahwa segala tugas kewajiban dan tanggung jawab setiap aparatur sipil negara atau penyelenggara negara menjadi lebih aman dan menjamin bahwa setiap langkah kebijakan dalam bidang masing-masing sepanjang berkaitan dengan keuangan negara menjadi lebih aman dari jangkauan hukum jika pengelolaan keuangan negara tidak atau kurang disertai dengan tanggung jawab keuangan yang teliti dan hati-hati.

Karena kelalaian sekecil apa pun yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara akan memberikan dampak negatif yang sangat merugikan masa depan kariernya dan keluarganya. Peringatan tersebut tidaklah berlebihan karena telah banyak contoh-contoh perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara bahkan sampai setingkat menteri dan pejabat eselon I tanpa disadari bahwa tindakan atau langkah kebijakan yang telah diambilnya bermasalah; atau dalam bahasa hukum pidana tanpa disertai dengan niat jahat (mens rea). Berdasarkan uraian di atas, maka sungguh tepat kiranya jika terhadap frasa kerugian keuangan negara disematkan julukan “jebakan batman”. Jebakan batman ini dilengkapi dengan perangkat hukum/peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan di atas. Hal ini disebabkan di dalam perangkat peraturan perundang-undangan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat multitafsir.

Sekalipun telah dipandang lengkap dari aspek yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan masih dapat ditafsirkan berbeda antara lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di negeri ini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum persepsi di kalangan praktisi hukum yang pada gilirannya sangat merugikan kepentingan perlindungan hak hukum setiap tersangka/terdakwa di persidangan yang menghasilkan putusan pengadilan yang tidak objektif dan tidak adil.

Contoh ketentuan Pasal 2 yang telah mencantumkan frasa unsur “melawan hukum”; oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika ditafsirkan, melawan hukum formil yakni bertentangan dengan undang-undang/hukum yang tertulis; disebabkan arti melawan hukum materiil dapat ditafsirkan terlalu luas.

Sedangkan menurut penjelasan pasal aquo harus ditafsirkan melawan hukum formil dan hukum melawan hukm materiil. Namun kemudian Mahkamah Agung di dalam Rapat Kerja Hakim Agung khusus tipikor telah menyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak terikat pada putusan MKRI dan tetapi akan menggunakan baik frasa melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil.

Selain hal tersebut, perihal lembaga yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara, sekalipun di dalam konstitusi UUD 1945 telah ditetapkan bahwa lembaga yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) yang merupakan satu-satunya lembaga negara. Akan tetapi, di dalam praktik penyidikan tindak pidana korupsi yang digunakan oleh penyidik adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKPK) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden. Sehingga telah mengenyampingkan eksistensi BPK yang justru ditetapkan berdasarkan UUD 1945. Keadaan dan masalah sebagaimana diuraikan sudah tentu mengakibatkan hambatan bagi aparatur hukum bekerja dengan efisien yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berujung ketidakadilan. Solusi dari keadaan dan masalah seputar ketentuan UU Tipikor adalah:

Pertama, perubahan total UU Tipikor 1999/2001, termasuk penyusunan hukum acara khusus penegakan hukum korupsi.

Kedua, filosofi pemidanaan untuk perkara tipikor dilaksanakan dua arah, yaitu diarahkan terhadap aset-aset hasil korupsi dan juga diarahkan kepada pelaku jika pemulihan aset korupsi tidak mencukupi.

Ketiga, bersamaan dengan dua arah pemidanaan dilengkapi dengan UU Perampasan Aset.

Keempat, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap KPK: (1) Mengenai struktur organisasi yang disesuaikan dengan filosofi pemidanaan baru.(2) Mengenai syarat-syarat calon pimpinan KPK, antara lain syarat pernah menjadi anggota kepolisian dan kejaksaan perlu dievaluasi kembali karena telah tidak relevan lagi dengan perkembangan situasi pemberantasan korupsi terkini.

(3) Lingkup kewenangan KPK dibatasi hanya mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan Badan Usaha Milik Negara, sehingga memiliki arah yang jelas dan tidak tumpang tindih dengan Kejaksaan demi untuk mencapai tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.

(4) Diperlukan evaluasi mengenai kemungkinan pembentukan KPK perwakilan pusat di ibu kota pusat pemerintahan daerah, dan

(5) Diperlukan evaluasi beban biaya anggaran KPK dan Kejaksaan serta formula standar biaya KPK dan Kejaksaan di seluruh Indonesia.

Topik Menarik