Resolusi Konflik Ambon, Pelajaran Berharga Menjaga Perdamaian
Abdul Haris FatgehiponGuru Besar Damai dan Resolusi Konflik Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNJ
NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan keberagaman masyarakat yang tinggi. Namun, tanpa disadari, ketidakmampuan mengelola keberagaman dan ketidaksiapan sebagian masyarakat menerima keberagaman, mengakibatkan terjadinya berbagai konflik yang membahayakan integrasi bangsa. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman dan kemampuan dalam mencari solusi penyelesaian konflik atau dikenal dengan istilah resolusi konflik, sehingga potensi konflik dapat dikelola menjadi kekuatan yang memperkuat integrasi bangsa, bukan sebaliknya, potensi konflik yang kita miliki menjadi ancaman disintegrasi bangsa.
Lambang Trijono, dosen peneliti Resolusi Konflik Maluku menyatakan, resolusi konflik merupakan bagian dari srategi penciptaan perdamian yang memiliki tujuan khusus untuk mengatasi konflik dari akar masalah. Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik, terutama faktor struktural, kultural, dan tindakan yang menjadi penyebab konflik, menjadi perhatian khusus dari resolusi konflik. Semua itu dapat disebut penyelesaian konflik berorientasi pada pemecahan masalah, atau problem solving conflict resolution.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, muncul berbagai konflik yang sifatnya vertikal dan horizontal yang berbasis pada ikatan primordial agama, suku, budaya, dan sejarah. Konflik vertikal terjadi di Papua, Aceh, dan Timor Timur. Konflik horizontal terjadi di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura. Konfik Poso, Ambon, seakan menjadi penanda akan ancaman disintegrasi bangsa.
Prabowo Dijadwalkan Buka Indo Defence 2025 Hari Ini, Ajang Pamer Senjata Canggih dan Ranpur
Lepasnya Timor Timur dari NKRI tahun 1999 dan peningkatan eskalasi konflik Aceh, Ambon dan Papua banyak pihak yang memprediksi akan terjadinya teori domino effect di Indonesia. Kemerdekaan Timor Timur akan diikuti oleh Papua, Aceh, Ambon, dan selanjutnya bubarnya Indonesia. Sesuatu yang sulit dibayangkan sebelumnya. Kota Ambon yang telah lama menjadi kota multikultural dan memiliki kekuatan kearifan lokal, Pela Gandong. Masyarakat Maluku memiliki hubungan kekerabatan dan pertemanan yang erat bisa terlibat dalam konflik horizontal 1999. Konflik Ambon yang tadinya bersifat konflik komunal antarwarga kemudian meluas menjadi konflik transnasional. Banyak kekuatan asing yang terlibat dalam konflik Ambon dan isu tentang konflik Ambon menjadi isu internasional yang diberitakan oleh berbagai media asing. Konflik Ambon meletus pada era Presiden BJ Habibie, di saat Presiden BJ Habibie menghadapi problem yang sangat kompleks memulihkan krisis ekonomi nasional, dan menghadapi tuntutan kemerdekaan Timor Timur, Aceh, dan Papua. Banyaknya agenda reformasi harus diselesaikan menyebabkan perhatian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik Maluku kurang terfokus.
Resolusi konflik Ambon memberikan pelajaran berharga tidak hanya kepada masyakat Ambon, Maluku tetapi di Indonesia dan dunia. Sulit dibayangkan konflik yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda, dapat ditemukan solusi penyelesaian konfliknya. Penyelesaian konflik di Indonesia, umumnya dilakukan dengan pendekatan keamanan dan penegakan hukum. Konflik Ambon menjadi contoh penyelesaian konflik secara holistik, dengan menggunakan pendekatan keamanan, dialog damai, mengoptimalkan potensi damai, perjanjian damai, dan rehabilitasi dan penegakan hukum.
Baca Juga: Aksi Heroik Mantan Danjen Kopassus Memburu para Perusuh di Konflik Ambon
Dalam perundingan Malino II, pemerintah memainkan peran sebagai pihak ketiga. Pemerintah dengan kekuasan yang dimiliki melakukan intervensi membangun komunikasi dengan TNI, Polri, pemda, komunitas Islam dan komunitas Kristen, untuk menyelesaikan konflik Ambon lewat jalur perundingan. Pemerintah pusat menyiapkan tempat dan berbagai fasilitas akomodasi perlindungan keamanan kepada semua utusan untuk dapat mengikuti perundingan Malino II. Dalam perundingan Malino II, pemerintah pusat yang diwakili oleh Jusuf Kalla (Menko Kesra) dan Menko Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan diri sebagai fasilitator dari pihak pemerintah yang memiliki kepentingan nasional agar konflik Ambon segera berakhir.
Riwayat Jabatan Mayjen TNI Deddy Suryadi, Mantan Ajudan Jokowi yang Ditunjuk Menjadi Pangdam Jaya
Semua utusan dari komunitas Islam dan Kristen terbangun kesadaran bersama, bahwa konflik Ambon harus diakhiri, agar masyarakat Ambon dapat keluar dari penderitaan. Dalam konflik Maluku 1999 tidak ada pihak yang menang atau kalah, semuanya merasakan penderitaan yang sama. Semua peserta Malino II menginginkan konflik Ambon harus diselesaikan tanpa melibatkan fasilitator dari pihak asing (NGO, negara lain). Sulit dibayangkan konflik Ambon yang sangat rumit dan memakan banyak korban jiwa dan harta dapat diselesaikan lewat perundingan Malino II yang digagas bersama antara Pemerintah Pusat, Pemda Maluku, dan utusan dari komunitas Islam dan Kristen. Dalam negosiasi pada perjanjian Malino II, utusan yang dikirim mewakili representasi berbagai unsur dalam komunitas agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, yang terdiri dari ada tokoh agama, tokoh masyakat, akademisi dan utusan organisasi mahasiswa. Dalam Perjanjian Malino II, peserta utusan masing-masing diminta menyampaikan keluhan dan menyampaikan berbagai permasalahan yang mereka alami. Masing-masing komunitas memiliki permasalahan yang berbeda-beda. Berbagai permasalahan ini dicatat untuk bahan masukan bagi pemerintah dalam upaya perumusan kebijakan perdamaian Ambon.
Isu yang memunculkan tarik-menarik dalam perjanjian Malino II salah satunya adalah tuntutan dari komunitas Kristen untuk penarikan Laskar Jihad dari Ambon, sementara Komunitas Islam menuntut untuk pembubaran dan penangkapan terhadap anggota FKM (Front Kedaulatan Maluku) yang berafiliasi kepada gerakan separatis RMS. Perjanjian Malino II adalah inisiatif dari pemerintah pusat untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi di Ambon, demi tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perundingan Malino II, tidak lagi membicarakan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi mencari solusi agar dapat keluar dari konflik dan kembali pada kehidupan normal yang damai. Kesepakatan damai dalam Malino II tidak akan tercapai apabila para utusan perwakilan komunitas Islam, komunitas Kristen Protestan dan komunitas Kristen Katolik memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda. Pemerintah sebagai fasilitator perundingan berhasil membangun komunikasi dan kepercayaan dari masing-masing utusan perundingan bahwa perundingan damai yang mereka lakukan bukan untuk mengakui kekalahan satu dengan yang lain, tetapi mengakomodir berbagai berbagai keinginan bersama dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing komunitas.
Konflik Ambon tidak bisa didekati dengan cara adversial, yaitu melihat penyelesaian konflik dengan pendekatan kalah atau menang, kita melawan mereka, dan harus memenangkan perundingan secara keseluruan. Penyelesaian perundingan Malino II harus dilihat dengan pendekatan reflektif, yakni masing-masing utusan perunding harus terbangun rasa empati dan kesadaran bahwa konflik yang terjadi di Ambon, telah mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan, dan korban baik materi maupun korban jiwa. Maka itu, konflik harus diakhiri untuk kepentingan bersama. Dalam melakukan negosiasi para utusan harus berpikir integratif dengan melihat kebutuhan dan keinginan kedua kelompok komunitas bukan hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Sebab, apabila dalam negosiasi ada pihak yang merasa dirugikan, perdamaian mungkin bisa disepakati dalam perundingan, tetapi tidak bisa dilaksanakan di lapangan.
Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, kondisi Ambon berangsur-angsur normal, mulai terbangun kesadaran masyarakat untuk menjaga perdamaian secara kolektif. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, memberikan perhatian terhadap percepatan pembangunan dan relokasi pengungsi di Ambon. Berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah masjid dan gereja, kampus, sekolah, pasar, puskesmas, rumah sakit yang sempat mengalami kehancuran dibangun kembali. Pemerintah kemudian melakukan relokasi pengungsi dan membangun kembali rumah para pengungsi yang mengalami kehancuran.
Pembangunan Ambon pascakonflik membuat kesadaran masyarakat Ambon untuk menjaga dan merawat perdamaian di Ambon. Mereka umumnya sudah tidak mau berada dalam kondisi konflik sosial dan agama yang sangat merugikan masyarakat Ambon dari semua aspek. Untuk memperingati perdamaian Ambon, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada periode kedua menjabat meresmikan Monumen Gong Perdamaian di Kota Ambon pada tanggal 25 November 2020.Penyelesaian konflik harus diikuti dengan pembangunan dan penegakan hukum untuk pemenuhan rasa keadilan dari masyakat. Penegakan hukum dilakukan selepas perjanjian Malino II, dengan mengembalikan aset, dari para pengungsi yang ditinggalkan akibat konflik. Rumah para pengungsi yang telah hangus terbakar dibagun kembali. Berbagai fasilitas umum, seperti rumah ibadah, masjid, gereja, dibangun oleh pemerintah. Fasilitas pendidikan, kesehatan dan pusat-pusat ekonomi dibangun dan difungsikan kembali, agar masyarakat dapat merasakan kehidupan secara normal.
Konflik Ambon yang berlangsung dalam waktu yang lama antara tahun 1999-2021 menyebabkan banyaknya korban jiwa, cacat fisik, depresi mental dan kerusakan infrastuktur di Ambon. Konflik Ambon 1999 menyebabkan Ambon menjadi kota yang tertinggal, puluhan tahun terbelakang, tertinggal dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur layanan publik. Konflik yang berkepanjangan menyebabkan tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk berinvestasi di Ambon. Ini menyebabkan pendapatan daerah dan peluang kerja di Ambon menjadi rendah. Semasa konflik, tingkat pengangguran sangat tinggi di Ambon.
Selepas kesepakatan perjanjian Malino II, pemerintah pusat mempercepat pembangunan Ambon, dengan infrastruktur yang baik, layanan kesehatan, pendidikan, fasilitas publik lain dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Pemerintah daerah juga membuka masuknya investasi dari luar Kota Ambon. Seiring dengan mulai membaik kondisi keamanan di Maluku, investasi swasta mulai banyak yang masuk ke Ambon. Kota Ambon sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku, mengalami kemajuan pembangunan yang pesat, pembangunan fasilitas publik untuk mendukung percepatan kemajuan ekonomi masyarakat dan daerah, yang sangat jauh tertinggal akibat konflik 1999.
Dalam mempercepat pembangunan pendidikan tinggi di Ambon Pemerintah Pusat lewat Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro melakukan pembangunan kembali Universitas Pattimura. Universitas yang berada di kawasan Desa Poka, terdampak secara langsung dengan konflik 1999, banyak bangunan yang terbakar, rusak, kegiatan perkuliahan dipindahkan ke Kampus Universitas Pattimura yang ada di Kampus PGSD, yang terletak di Kota Ambon. Terbakarnya Kampus Pattimura Ambon, membawa kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, mengingat saat itu Universitas Pattimura adalah universitas negeri satu-satunya di Maluku.
Konflik Ambon memberikan pelajaran yang berharga bagi masyarakat. Perdamaian dapat terwujud berkat kerja sama semua pihak, pemerintah, tokoh masyarakat dan civil society. Sebagai pembelajaran dari konflik Ambon, perlu dipikirkan manajemen masyarakat plural, sebagai tata kelola masyarakat yang majemuk yang komprehensif dan berkeadilan bagi semua identitas yang berbeda-beda.Pascakonflik Ambon, TNI dan Polri bersama pemda melakukan berbagai program untuk peningkatan kesejahteran masyarakat, terutama untuk memperkuat ketahanan pangan. Program dari Pangdam XVI Pattimura (2015-2017) Mayjen TNI Doni Monardo, yang dikenal dengan Emas Biru dan Emas Hijau, mendapat apresiasi yang tinggi dari masyakat Maluku. Program Emas Biru dan Emas Hijau adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sumber daya laut dan pertanian, yang berdampak pada peningkatan ekonomi masyakat pesisir dan agraris di Maluku.
Perdamaian di Ambon tercapai, lewat pendekatan tidak hanya oleh pemerintah pusat top down, tetapi juga atas inisiatif dan peran aktif dari tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, pemerintah daerah bottom up. Perjanjian damai Ambon, yang ditandatangani di Malino II Sulawesi Selatan, tidak hanya melibatkan pihak pihak yang berkonflik, dari komunitas Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam, tetapi ikut menandatangani perwakilan pemerintah, sebagai representasi kehadian negara, negara ikut bertanggung jawab menjaga dan mengawal perdamaian damai di Ambon. Negara harus memberikan pelindungan keamanan kepada semua warga negara, tanpa melihat status sosial.
Pengalaman dalam penyelesaian konflik Ambon, dapat dijadikan pembelajaran dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal yang belum terselesaikan sampai saat ini, misalnya konflik di Papua. Konflik Papua telah memakan banyak korban jiwa, baik di kalangan pemberontak maupun TNI/Polri, warga sipil. Pendekatan keamanan sampai saat ini belum menghentikan konflik di Papua. Kami mengusulkan agar pemerintah menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan dialog damai, melibatkan unsur pimpinan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kehadiran Jusuf Kalla dan timnya sangat dibutuhkan dalam penyesaian kasus Papua.