Konfrontasi Terbuka Israel-Iran

Konfrontasi Terbuka Israel-Iran

Nasional | sindonews | Minggu, 15 Juni 2025 - 06:31
share

Andi PurwonoDosen Hubungan Internasional FISIP danStaf Ahli Rektor Unwahas Semarang

ISRAEL kembali menyerang puluhan lokasi di Iran pada Jumat (13/6/2025) melalui Operasi Rising Lion. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan serangan itu menargetkan jantung program pengayaan nuklir Iran. Iran membalas serangan dengan meluncurkan seratus rudal dan drone dalam dua gelombang operasi "True Promise 3". Bagaimana sebaiknya dunia merespons eskalasi Timur Tengah ini?

Permusuhan kedua negara kuat Timur Tengah ini merupakan salah satu sumber ketidakstabilan di Timur Tengah. Sejak lama, keduanya terlibat dalam "perang bayangan/tertutup" karena saling menyerang tanpa mengakui keterlibatan masing-masing di banyak kasus. Namun sejak April 2024, episode permusuhan berubah menjadi saling serang secara langsung/terbuka.

Transformasi konfrontasi tertutup ke terbuka dua seteru bebuyutan ini merupakan perkembangan berbahaya. Pertama, kedua negara memiliki kemampuan militer mumpuni bahkan teknologi nuklir. Berita kontaminasi fasilitas nuklir Iran akibat serangan Israel juga memicu ketakutan global. Jika dua negara nuklir bertikai maka berpotensi memicu mutual assured destruction/MAD/kerusakan fatal bersama (Kegley and Blanton: 2011).

Alasan kedua, sekutu masing-masing pihak bisa terseret dalam konflik sehingga memperluas dan memperumit penyelesaian damai. Saat ini saja, diyakini kekuatan pro Iran berada di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman. Belum jika kita mengkalkulasi negara mana saja yang pro Israel dan siapa yang cenderung mendukung Iran seperti Rusia, Tiongkok.Pemerintah Indonesia telah membuat pernyataan mengutuk serangan militer Israel dan menilainya sebagai merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional. Rusia dan Tiongkok juga mengecam serangan sebagai pelanggaran kedaulatan Iran. Provokasi Israel yang menyulut eskalasi sendiri memang tidak bisa dibenarkan.

Alasannya, yang pertama Iran memang belum pasti memiliki senjata nuklir. Negeri itu telah lama menyatakan bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan sipil meski memiliki beberapa fasilitas nuklir. Namun banyak negara serta Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak yakin bahwa program nuklir Iran hanya untuk tujuan sipil.

Memang pekan ini, Dewan Gubernur IAEA secara resmi menyatakan Iran melanggar kewajiban nonproliferasinya untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. Namun harus dicatat bahwa diplomasi internasional terhadap program pengembangan nuklir Iran adalah proses berharga yang tidak bisa diabaikan dengan serangan. Diplomasi ini menginginkan penyelesaian damai bukan panas pertikaian.

Di sisi lain, Israel justru sejak lama diyakini telah memiliki 200 hulu ledak nuklir. Salah satu menteri kabinet PM Netanyahu bahkan pernah membuat pernyataan mengerikan dengan mengancam meratakan Gaza denagn nuklir. Oleh karena itu, langkah provokatif dan ceroboh Israel ibarat maling teriak maling.

Kedua, serangan mempertontonkan unilateralisme yang sejatinya bukan kewenangan Israel. Dalih Israel bahwa serangan dilakukan untuk menjamin keamanan nasionalnya secara preventif tidak bisa dibenarkan. Apalagi sama dengan Gaza, ia membahayakan keamanan nasional dan warga negara lain.Multilateralisme yang dengan susah payah dibangun bersama masyarakat internasional dirobohkan dengan kepongahan serangan unilateral. Meja diplomasi disingkirkan dengan hujan amunisi. Ini berbahaya karena menguatkan asumsi sebagian orang bahwa sistem internasional bukanlah harmoni namun anarkhi.

Ketiga, dunia belum melupakan kebohongan dalih serangan Amerika ke Irak tahun 2003 dengan tuduhan pengembangan weapons of mass destruction/wmd (senjata pemusnah massal). Sejak rezim Saddam Husein tumbang hingga kini, serangan yang didasarkan pada informasi intelijen mentah dan ceroboh itu tidak bisa membuktikan keberadaan senjata pemusnah Irak. Juru Bicara Gedung Putih 2003-2008 Scott McClellan sampai menulis buku Kebohongan di Gedung Putih (2008) yang menjadi Best Seller menurut New York Times saat itu.

Keempat, program nuklir Iran sendiri pada awalnya dibangun oleh Amerika di era Syah Iran. Setelah Revolusi Islam 1979, yang mengubah monarkhi Shah Iran menjadi republik, serta menolak "imperialisme" Amerika Serikat dan sekutunya Israel, sehingga hubungan Iran dengan Amerika dan Israel memburuk. Dalam perkembangannya, program nuklir Iran dilanjutkan dengan bantuan Rusia.

Kelima, keberpihakan Amerika sebagai patron Israel tidak bisa diabaikan. Amerika diyakini telah lama berupaya melemahkan negara-negara yang memiliki kekuatan militer potensial di Timur Tengah. Luluh-lantaknya Libya, Mesir, Irak, dan Suriah disebut sebagai bagian skenario membuat Israel terkuat di kawasan.

Saat ini hanya Iran yang tersisa dengan kekuatannya yang terus tumbuh dan keberaniannya menegakkan kepala di hadapan Amerika yang tidak surut. Karenanya, meski Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio membuat klaim bahwa negaranya tidak terlibat dalam serangan tersebut Israel namun sejatinya tahu rencana serangan dan membiarkannya.

Menahan Diri

Berkaca pada hal-hal tersebut, maka dunia harus bergerak mendorong agar semua pihak harus menahan diri secara maksimal dan menghindari tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan atau menyebabkan ketidakstabilan. Poin ini juga menjadi imbauan kementerian luar negeri Indonesia. Pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB di New York juga mendesak Israel dan Iran untuk saling menahan diri guna mencegah konflik regional yang lebih dalam. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres juga menyerukan Israel dan Iran untuk segera menghentikan konflik yang meningkat.Perspektif liberalisme memang meyakini bahwa organisasi internasional dan hukum internasional bisa diharapkan perannya sebagai jalan menuju pedamaian internasional. Oleh karena itu, dunia berharap para pemimpin dunia tidak tersandera kepentingan nasional masing- masing namun melihat kepentingan global yang lebih urgen.

Di sisi lain, perspektif realisme meyakini bahwa hanya kekuatan berimbang lah yang mampu mencegah tindakan agresif dan konfrontatif negara. Oleh karena itu, kemunculan kekuatan yang bisa mengimbangi potensi arogansi kekuatan di kawasan manapun diperlukan. Jika sulit secara mandiri, maka penggalangan kekuatan sebagaimana prinsip keamanan kolektif harus diwujudkan sebagai alternatif.

Perang dan damai adalah tema hubungan internasional tertua. Namun ancaman masa depan penghuni dunia bukan hanya bahaya adu senjata. Karenanya kearifan untuk mengedepankan kepentingan bersama menjadi kebutuhan nyata.

Topik Menarik