Mengantarkan Pelayanan Haji 2025 Paripurna

Mengantarkan Pelayanan Haji 2025 Paripurna

Nasional | sindonews | Kamis, 12 Juni 2025 - 06:08
share

Muhammad Adib AbdushomadKepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Agama RIPelaksana Harian Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri

IBADAH haji bukan sekadar ibadah tahunan, ia adalah ritual kolosal lintas bangsa yang menuntut ketelitian organisasi, sensitivitas budaya, dan kesiapan logistik tingkat tinggi. Di tengah kompleksitas yang mengiringinya, peran negara tidak lagi opsional, melainkan imperatif. Negara harus hadir secara konkret -melalui regulasi, pendanaan, diplomasi bilateral, dan kebijakan publik- demi menjamin kenyamanan, keamanan, dan kekhusyukan ibadah warga negaranya.

Kesadaran akan hal ini tergambar jelas dalam regulasi Kementerian Agama melalui KMA 244 Tahun 2025. Aturan ini bukan hanya rambu administratif, tetapi deklarasi yang menggambarkan tekad pemerintah dalam mengantarkan jemaah haji menuju pelayanan yang paripurna. Dalam KMA tersebut, Menteri Agama menetapkan delapan program prioritas strategis untuk periode 2025-2029 yang disebut Asta Protas, di antaranya adalah "sukses penyelenggaraan haji". Penempatan penyelenggaraan haji sebagai bagian dari agenda prioritas kementerian menjadi bukti bahwa pelaksanaan haji adalah misi besar kenegaraan yang menyatu dengan orientasi pelayanan umat secara menyeluruh.

Namun, sebagaimana setiap sistem yang bergerak dinamis, di lapangan tidak semua berjalan semulus yang direncanakan. Beberapa insiden mencuat dan menjadi perhatian publik. Salah satunya terkait sistem syarikah yang menyebabkan pasangan suami istri dipisahkan dalam rombongan yang berbeda, akibat alokasi hotel dan rute yang tidak seragam. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan disorientasi jemaah, tetapi juga menunjukkan perlunya kontrol kualitas dan integrasi data antar-pemangkukepentingan.

Masalah juga muncul dari jemaah haji jalur Mujamalah (Furoda) yang terkendala visa. Tak sedikit dari mereka yang batal berangkat karena visanya tak kunjung terbit. Ini menandakan perlunya pembenahan sistem verifikasi dan komunikasi antarapenyelenggara, pihak otoritas Arab Saudi, dan pemerintah Indonesia, agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi jemaah.Di puncak haji, yakni fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), dinamika pelayanan juga tidak lepas dari sorotan. Adanya kebijakan tanazul (pengurangan kepadatan jemaah) yang berubah-ubah, membuat sebagian jemaah kebingungan dan tidakmendapat informasi yang memadai. Bahkan beredar kabar bahwa prosesi wukuf sempat "diargo" alias dibatasi waktunya oleh pihak tertentu -isu ini memang kemudian dibantah, namun sempat menimbulkan keresahan.Merespons berbagai dinamika tersebut, Menteri Agama RI, Prof. KH. Nasaruddin Umar, menunjukkan sikap kenegarawanan yang patut diapresiasi. Dalam keterangannya kepada media pada 10 Juni 2025 di Kantor Daerah Kerja Makkah, beliau menyampaikan bahwa seluruh rangkaian puncak haji -mulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, hingga lontar jumrah dan mabit di Mina- telah berjalan sesuai target, meskipun terdapat sejumlah kendala teknis di lapangan.

"Dari lubuk hati kami yang paling dalam, kami menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan beberapa kloter, beberapa orang, mengalami keterlambatan, terpisah di Makkah, masalah penempatan tenda di Arafah, serta keterlambatan diMuzdalifah dan kemacetan," ungkapnya.

Pengakuan terbuka ini mencerminkan sikap rendah hati dan tanggung jawab negara dalam pelayanan publik, serta memperkuat legitimasi moral bahwa proses perbaikan adalah keniscayaan dalam sistem pelayanan ibadah yang sangat kompleks.Namun, jika hanya melihat pada kekurangan, kita akan kehilangan panorama lebih luas tentang ikhtiar luar biasa yang telah dilakukan negara dan para petugas haji.

Tidak ada gading yang tak retak. Namun banyak bagian dari gading itu yang tetap utuh, kokoh, dan berkilau. Salah satunya tercermin dari aksi heroik Inspektur Jenderal Kemenag, Bapak Khairunas, yang menggendong seorang jemaah lansia yang mengalami stroke di tengah suhu panas 42°C di wilayah Misfalah, Makkah. Peristiwa ini menjadi simbol nyata bahwa negara tidak sekadar memerintah dari atas, melainkan juga turun tangan dengan kasih dan kepedulian langsung di titik pelayanan paling bawah.

Di sisi lain, penggunaan sistem Hajj Command Center (HCC) pada tahun ini menandai langkah maju digitalisasi layanan haji. Melalui pusat kendali ini, semua pergerakan jemaah dimonitor secara real time -baik secara spasial, medis, maupun administratif. Ketika ada jemaah yang terlambat turun bus atau membutuhkan kursi roda, informasi itu langsung terdeteksi dan ditindaklanjuti secara cepat. Ini adalah transformasi berbasis teknologi yang membuat pelayanan haji semakin adaptif terhadap tantangan zaman.Langkah-langkah lain yang patut diapresiasi adalah penerapan skema Murur, yaitu strategi memperlancar pergerakan jemaah dengan klasifikasi berdasarkan kerentanan. Skema ini memberi perhatian khusus kepada jemaah lanjut usia dan penyandang disabilitas, memastikan mereka tidak terpapar risiko berlebihan saat prosesi lempar jumrah dan safar panjang di Armuzna. Bahkan dalam fatwa dan petunjuk resmi, jemaah lansia diperkenankan untuk mewakilkan ibadahnya demi keselamatan.

Dari aspek kesehatan, pemerintah terus memperkuat sistem layanan medis haji secara komprehensif. Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) kini dilengkapi fasilitas penunjang seperti radiologi, farmasi, hingga ambulans 24 jam. Dukungan tim medis sektor, layanan mobile, serta integrasi data kesehatan berbasis digital (Siskohat dan Satu Sehat) juga menjadi instrumen penting untuk deteksi dini dan respons cepat terhadap risiko kesehatan jemaah.

Keberhasilan lainnya juga terlihat dari sinergi lintas lembaga yang semakin solid. Dari Menko PMK, Menag, Menkes, BP Haji hingga syarikah, semuanya menunjukkan kerja kolaboratif, mulai dari persiapan debarkasi, manajemen konsumsi jemaah,hingga pengawasan lapangan. Kementerian Agama juga berhasil membawa bumbu nusantara ke dapur katering di Tanah Suci, menjadikan makanan jemaah lebih cocok di lidah dan mengobati kerinduan akan Tanah Air.

Tak kalah penting, perhatian negara terhadap jemaah tak berhenti di Tanah Suci. Proses pemulangan ke Tanah Air pun harus dijalankan tertib dan sesuai regulasi. Hingga kini, 14 asrama haji embarkasi-debarkasi telah menyatakan kesiapan.

Sebagai Pelaksana Harian Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri pada Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah, sesuai Surat Perintah Menteri Agama Nomor: 186639/MA/B.II/KP.07.6/05/2025, saya mengikuti secara saksama seluruh proses penyelenggaraan haji tahun ini dan menangkap dengan jelas bahwa haji bukan hanya ibadah, tetapi juga diplomasi kemanusiaan dan wajah pelayanan negara. Di balik segala tantangan, Indonesia menunjukkan bahwa semangat khidmatul hajj -melayani tamu Allah- adalah amanah konstitusional yang terus dihidupkan dalam praktik nyata.

Haji 2025 memang belum sepenuhnya sempurna, tetapi telah melangkah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ini adalah modal sosial dan administratif yang sangat berharga untuk menyongsong penyelenggaraan haji-haji berikutnya, agar pelayanan paripurna bukan sekadar idealisme, tetapi kenyataan yang menyentuh hati jutaan jemaah dari Sabang hingga Merauke.

Topik Menarik