Pembangunan Ekonomi Daerah
Candra Fajri AnandaStaf Khusus Menteri Keuangan RIPADA proses pembangunan daerah, penting untuk tidak hanya mengejar laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan kualitas dari pertumbuhan tersebut. Pertumbuhan yang berkualitas lebih menekankan pada aspek keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui penciptaan lapangan kerja yang bermutu dan berupah layak.
Fokus yang berlebihan pada angka pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sering kali menutupi masalah struktural yang lebih mendalam, seperti rendahnya kualitas lapangan kerja dan ketimpangan distribusi pendapatan. Oleh sebab itu, orientasi pembangunan harus bergeser dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menjadi menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, yakni pertumbuhan yang mampu menciptakan peluang kerja yang layak, inklusif, dan berkelanjutan.
Kualitas pertumbuhan tercermin dari seberapa besar pembangunan mampu menyerap tenaga kerja dalam pekerjaan yang produktif, aman, dan bergaji memadai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya meskipun tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,76.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum sepenuhnya berkorelasi dengan penciptaan pekerjaan yang mencukupi. Khususnya bagi lulusan SMA dan SMK yang justru mendominasi jumlah pengangguran.
Sementara itu, upah buruh rata-rata per Februari 2025 tercatat sebesar Rp3,09 juta per bulan, mengalami sedikit peningkatan dibandingkan Februari 2024 yang sebesar Rp3,04 juta (BPS, 2025). Meski demikian, apabila dibandingkan dengan Standar Hidup Layak (SHL) yang telah mencapai Rp1,02 juta per bulan sebagai indikator kebutuhan dasar, tingkat upah ini belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam daya beli, terutama di kalangan buruh informal dan pekerja berpendidikan rendah.
Demi menjawab tantangan tersebut, maka arah pembangunan daerah ke depan perlu menitikberatkan pada penciptaan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas. Pemerintah daerah perlu merancang kebijakan pembangunan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kualitas, di mana kebijakan tersebut tidak hanya fokus pada investasi dan ekspansi ekonomi semata, melainkan juga memastikan bahwa pertumbuhan tersebut mampu menciptakan lapangan kerja yang layak, memperkecil kesenjangan sosial, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Problematika Perkotaan dan PerdesaanDi Indonesia, permasalahan yang dihadapi oleh wilayah perkotaan dan perdesaan di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga memerlukan pendekatan kebijakan yang spesifik dan kontekstual. Di kota-kota besar, berbagai isu kompleks seperti kemacetan, anak jalanan, keterbatasan akses air bersih, serta pengelolaan sampah menjadi tantangan utama. Sementara itu, desa-desa di Indonesia umumnya menghadapi hambatan yang lebih mendasar seperti keterbatasan infrastruktur, rendahnya ketersediaan lapangan kerja produktif, dan kurangnya fasilitas umum yang memadai.
Salah satu isu paling menonjol di kota adalah kemacetan lalu lintas. Data menunjukkan bahwa Bandung menjadi kota paling macet di Indonesia dengan rata-rata waktu tempuh mencapai lebih dari 32 menit per 10 kilometer.
Selain itu, masalah sosial seperti anak jalanan masih menjadi perhatian serius, di mana Kementerian Sosial mencatat lebih dari 9.000 anak hidup telantar di jalanan pada 2024. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemajuan kota dari sisi ekonomi belum selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan sosial.
Di samping itu, masalah lain yang mengemuka di perkotaan adalah keterbatasan pasokan air bersih dan buruknya pengelolaan sampah. Hingga tahun 2024, hanya sekitar 69 rumah tangga di Jakarta yang mendapatkan layanan air bersih melalui jaringan perpipaan PAM Jaya.
Di sisi lain, timbunan sampah nasional mencapai hampir 34 juta ton sepanjang 2024. Angka ini mencerminkan masih lemahnya sistem pengelolaan limbah di berbagai kota besar dan menunjukkan kebutuhan akan peningkatan kapasitas pengelolaan lingkungan.
Di sisi lain, desa menghadapi tantangan berupa keterbatasan infrastruktur dasar dan minimnya lapangan kerja. Data Potensi Desa (Podes) 2024 mencatat bahwa banyak desa masih kekurangan akses jalan yang layak, jembatan, dan fasilitas kesehatan. Sementara itu, sektor pekerjaan di desa masih sangat didominasi oleh sektor informal, dengan lebih dari 73 pekerja di perdesaan bekerja di sektor informal, menurut data BPS.
Hal ini menunjukkan perlunya strategi peningkatan kualitas tenaga kerja dan diversifikasi ekonomi di perdesaan. Fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan balai desa juga belum tersebar merata di seluruh wilayah perdesaan. Ketiadaan fasilitas dasar tersebut berdampak pada rendahnya kualitas hidup masyarakat desa.
Untuk itu, kebijakan pembangunan yang berpihak pada desa harus diarahkan pada pemerataan infrastruktur dan layanan publik. Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan yang responsif terhadap tantangan spesifik di masing-masing wilayah agar pembangunan dapat berjalan lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Inovasi Pembangunan DaerahTatkala menghadapi kompleksitas tantangan pembangunan daerah, maka pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan anggaran pemerintah tidak lagi memadai. Perlu ada model pembangunan yang lebih adaptif, kolaboratif, dan partisipatif.
Salah satu strategi penting yang harus ditempuh adalah melibatkan sektor swasta dan masyarakat secara aktif dalam proses pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan. Partisipasi ini tidak hanya akan memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah, tetapi juga meningkatkan rasa kepemilikan (ownership) dan keberlanjutan program pembangunan di tingkat lokal.
Peran swasta menjadi krusial, terutama melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), investasi langsung, maupun program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran vital, baik dalam bentuk gotong royong, koperasi, hingga inisiatif kewirausahaan berbasis komunitas.
Kolaborasi ini dapat menjadi penggerak utama dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor strategis lainnya di daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menciptakan ekosistem kebijakan yang kondusif agar investasi dan partisipasi publik dapat tumbuh dengan baik.
Selain pembiayaan, Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi fondasi yang tidak kalah penting dalam pembangunan. Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan SDM yang kompeten, adaptif, dan berdaya saing tinggi. Maka dari itu, pembangunan manusia melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan menjadi prioritas yang harus diutamakan dalam strategi pembangunan daerah.
Tanpa dukungan SDM yang unggul, berbagai program pembangunan fisik maupun sosial tidak akan berjalan optimal. Pada konteks ini, pelatihan vokasi, Balai Latihan Kerja (BLK), serta program sertifikasi kompetensi menjadi instrumen strategis.
Program-program tersebut berperan penting dalam menjembatani kebutuhan dunia kerja dengan ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai. Dengan adanya sertifikasi, tenaga kerja lokal tidak hanya diakui secara legal, tetapi juga memiliki peluang lebih besar untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dari bawah. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperluas akses terhadap pelatihan ini, khususnya di wilayah-wilayah tertinggal dan perdesaan.
Model pembangunan daerah yang ideal adalah model yang inklusif dan berbasis potensi lokal, didukung oleh kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pembangunan tidak hanya tentang membangun infrastruktur, tetapi juga tentang membangun manusia dan membangun kepercayaan.
Melalui upaya mengedepankan investasi SDM serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi pihak non-pemerintah, pembangunan daerah akan lebih berdaya tahan, relevan dengan kebutuhan lokal, dan mampu menciptakan transformasi sosial-ekonomi yang berkelanjutan. Semoga.










