Mereka yang Bersuara soal Polemik Penulisan Ulang Sejarah, Puan Ingatkan Prinsip Jas Merah

Mereka yang Bersuara soal Polemik Penulisan Ulang Sejarah, Puan Ingatkan Prinsip Jas Merah

Nasional | sindonews | Kamis, 22 Mei 2025 - 07:36
share

Rencana penulisan ulang sejarah yang meliputi awal lahirnya masyarakat Nusantara hingga pasca-Reformasi menuai polemik. Beragam komentar bermunculan, termasuk dari Ketua DPR Puan Maharani yang tegas meminta agar jangan ada pengaburan sejarah.

Diketahui, Kementerian Kebudayaan telah menunjuk tiga sejarawan yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, untuk menyusun Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia.

Buku sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 atau tepatnya pada HUT Kemerdekaan ke-80 RI. Adapun alasan utama revisi ini menurut Kemenbud adalah untuk menyelaraskan kembali pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan baru dari disertasi, tesis, ataupun penelitian para sejarawan.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengomentari wacana pemerintah yang hendak melakukan penulisan ulang sejarah. Puan menyebut DPR RI terus mengawal wacana tersebut.

Menurut Puan, DPR melalui Komisi X selalu melakukan pengawasan dengan meminta penjelasan maksud dari wacana tersebut. Yang jelas, menurutnya, penulisan ulang sejarah tidak boleh serta-merta mengaburkan apa yang tercatat pada sejarah.

"Yang penting jangan ada pengaburan atau penulisan ulang sejarah tetapi kemudian tidak meluruskan sejarah," ucap Puan Maharani kepada wartawan di Komples Parlemen, Selasa (20/5/2025).

Ketua DPP PDIP itu juga mengingatkan prinsip 'Jas Merah' alias jangan sekali-kali melupakan sejarah yang dipelopori Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Menurutnya, meskipun di dalam sejarah ada sesuatu yang buruk, penulisannya harus tetap sesuai.

"Jadi Jas Merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Memang sejarah itu pasti ada yang baik, ada yang pahit," kata Puan.

Putri Megawati Soekarnoputri ini pun meminta agar penulisan sejarah tidak dilakukan buru-buru. Menurutnya, catatan sejarah harus dikerjakan hati-hati. "Namanya penulisan sejarah itu sudah pasti harus hati-hati," pungkasnya.

Komisi X DPR RI mengaku belum mengetahui sama sekali ihwal adanya proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan Kementerian Kebudayaan.

"Terus terang kami pun belum pernah bertemu secara langsung dan membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya," kata Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaefudian, Senin (19/5/2025).

Hal yang sama juga disampaikan anggota Komisi X dari Fraksi PDIP Mercy Barends yang menyebut Kementerian Kebudayaan belum pernah mengirim laporan terkait proyek ini. Dia mengaku baru mengetahui rencana ini berdasarkan informasi yang beredar di media sosial dan berita media massa.

Oleh karena itu, ia mengaku tak bisa bicara banyak terkait penolakan yang disampaikan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) terkait upaya penulisan ulang sejarah ini.

"Kita belum mendapat satu dokumen resmi pun, maka hari ini perkenankanlah kami untuk mungkin memberikan sejumlah insight aja ya berkaitan dengan sejumlah sejarah ini," ujarnya.

Istilah Sejarah Resmi Tidak Tepat

Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana mengkritisi penggunaan istilah 'sejarah resmi' dalam penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan. Menurutnya, terminologi 'sejarah resmi' dalam draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia itu tidaklah tepat.

Bonnie mengatakan, penggunaan istialah itu akan memunculkan interpretasi 'ilegal' terkait tulisan sejarah versi lain. Ia pun meminta Kemenbud untuk memperjelas dan mengevaluasi proyek penulisan sejarah baru tersebut.

"Hendaknya proyek penulisan sejarah yang kini dikerjakan oleh Kemenbud tidak menggunakan terminologi 'sejarah resmi' atau 'sejarah resmi baru'. Istilah tersebut tidak dikenal dalam kaidah ilmu sejarah dan problematik baik secara prinsipil maupun metodologis," ujar Bonnie dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).

Bonnie pun mengatakan, penggunaan istilah 'sejarah resmi' akan menimbulkan banyak interpretasi. "Penggunaan terminologi 'sejarah resmi' menimbulkan interpretasi bahwa versi sejarah di luar itu adalah tidak resmi, ilegal, bahkan subversif," katanya.

Bonnie menegaskan, akuntabilitas dan transparansi dalam penulisan ulang sejarah harus dijalankan dengan membuka ruang publik yang tak hanya melibatkan sejarawan profesional, tapi juga masyarakat.

"Hendaknya penulisan sejarah bangsa terbuka kepada publik. Karena sejatinya, sejarah adalah milik orang banyak dan menyangkut cara pandang bangsa terhadap masa lalunya. Ini guna memetik pelajaran sejarah sepahit apapun itu," terang Bonnie.

Menurutnya, proyek penulisan sejarah yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan atas penggunaan tafsir tunggal. Apalagi, kata Bonnie, revisi naskah sejarah ini disponsori negara melalui pemerintah.

"Syak wasangka atas tafsir tunggal ini berpotensi membungkam versi-versi lain dari peristiwa sejarah itu sendiri," ucapnya.

Legislator PDIP ini juga mengingatkan bahwa semestinya penulisan sejarah harus dilakukan dalam cara-cara yang inklusif dan demokratis. "Diawali oleh pertemuan ilmiah yang terbuka bagi siapapun, bukan terkesan keinginan sepihak," sebut Bonnie.

Aktivis 98 yang kini menjabar Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu mengatakan wacana penulisan ulang sejarah harus mengedepankan aspek pelurusan sejarah. Dengan demikian, tidak boleh ada sejarah yang dihilangkan.

"Enggak boleh ada yang dihilangkan, justru harus diluruskan," kata Masinton di Jakarta, Rabu (21/5/2025).

Ia menyadari bahwa pencatatan sejarah kerap bersifat subjektif. Maka dari itu, penulisan ulang sejarah harus dilandasi kerangka bingkai Merah Putih Indonesia.

"Penulisan ulang sejarah karena sejarah itu tendensius, subjektifnya tinggi. Maka ada adagium sejarah dicatat oleh pemenang," kata Masinton.

Politikus PDIP itu juga menyebut bahwa penulisan ulang sejarah harus menjadi momentum merekonsiliasi bangsa. Ia lantas menyinggung soal peristiwa-peristiwa penting di masa lampau yang telah dilewati Indonesia.

"Pelurusan sejarah itu bagian momentum kita untuk merekonsiliasi bangsa ini. Pertama, ada banyak hal dari peristiwa 1948, peristiwa 66, 67, dan beberapa peristiwa lainnya yang menurut kita harus kita letakkan pada kerangka sejarah yang benar tadi. Itu yang dimaksud dalam pelurusan sejarah," pungkasnya. Jonathan Simanjuntak, Achmad Al Fiqri, Felldy Utama

Topik Menarik