Transformasi Pengelolaan Perti di Era Transisi

Transformasi Pengelolaan Perti di Era Transisi

Nasional | sindonews | Sabtu, 8 Februari 2025 - 15:00
share

Surokim AsWakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama,Dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

PERGURUAN tinggi (perti) akan menghadapi situasi yang tidak mudah pada masa kini dan mendatang seiring datangnya era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity (VUCA). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, kerumitan, dan perubahan yang cepat.

Kompleksitas masalah akan datang silih berganti menjadi tantangan nyata bagi para manajemen dan pengelola perti. Kompleksitas itu tentu saja bisa melahirkan berbagai spekulasi, ancaman sekaligus peluang dan harapan baru. Perti dituntut mengembangkan sikap awareness, allertness, readiness, dan mengambil berbagai aksi best practices & future practices.

Dalam situasi tersebut, Prof Arif Satria (2024) mengutip James Anderson menyebutkan bahwa faktor penentu keberhasilan orang dan lembaga di abad-21 adalah mereka yang lebih responsif, bisa cepat beradaptasi dalam menghadapi berbagai disrupsi. Untuk itu, perlu langkah trajektori pengelolaan lembaga pendidikan tinggi ke depan lebih progresif, akseleratif, dan berdimensi masa depan (visioner).

Strategi dan langkah ini sungguh tindak mudah, mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi sehingga diperlukan langkah antisipasi dan kemampuan membaca masa depan (future practices) lebih presisi. Adaptif dan responsif memang mudah dikatakan, tetapi sesungguhnya tidak mudah (sulit) dilakukan.

Fleksibilitas dan agile menjadi salah stau tolok ukur daya respons dan adaptif civitas academica. Pengelola perti harus bisa memainkan orkestasi dalam perubahan itu untuk memeroleh daya saling. Mereka harus konsisten dan fokus kepada upaya memberi nilai tambah yakni menguatkan inovasi dan kreasi secara berkelanjutan.

Tantangan Perubahan

Pengelola perti akan menghadapi situasi kompleks tidak saja di level lokal, regional, tetapi juga global. Tantangan makro global seperti perubahan iklim dan cuaca, revolusi industri 4.0, pandemi dunia, dan perang serta konflik internasional adalah beberapa disrupsi yang potensial bisa dan akan menghantui dunia global kini dan mendatang. Hal ini tentu saja akan membawa dampak krisis pada sektor strategis diantaranya lingkungan, energi, makanan, dan industri.

Semua itu membutuhkan strategi transformasi, resiliensi, dan sustainability yang presisi dan responsi yang baik dari pengelola perti. Berdasarkan pengalaman, selama ini kita masih terlihat gagap dalam menghadapi perubahan lingkungan, khususnya kemampuan adaptasi kita terhadap perubahan teknologi.

Daya tanggap kita relatif lamban dan selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan responsi bidang lain, sehingga selalu ada gab yang tinggi antara perkembangan teknologi dengan bidang lainnya (individu, bisnis, dan kebijakan). Kebijakan perti tidak mampu menjadi antisipator, social engineering, tetapi lebih banyak menjadi kuratif dan pemadam kebakaran atas masalah yang muncul silih berganti.

Selain itu, perkembangan otomatisasi juga meningkat pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dari 33 pada 2020 menjadi 47 di 2025. Sementara tenaga manusia menurun dari 67 pada 2020 menjadi 53 pada 2025. Future of Job Report 2025 memprediksi bahwa keterampilan pekerjaan yang dibutuhkan hingga 2030 dengan memertimbangkan perubahan teknologi, fragmentasi geoekonomi, ketidakpastian ekonomi, pergeseran demografi, dan transisi hijau yang secara individu dan gabungan akan merombak struktur dan lanskap industri dan pasar tenaga kerja global lima tahun ke depan.

Laporan itu juga memprediksi munculnya lapangan pekerjaan baru dan hilangnya pekerjaan lama. Yang mengkhawatirkan bahwa duaperlima (39) keahlian yang mereka miliki akan berubah atau menjadi ketinggalan zaman selama periode 2025-2030. Jadi akan ada gab yang besar antara keterampilan yang tersedia dan yang dibutuhkan.

Menurut Prof Badri Munir (2025) hampir 40 kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja akan berubah. Agar bisa survice dan berkembang, Prof Badri Munir (2025) menyebut perlunya kolaborasi yang kuat dalam menghadapi situasi kompleks ini. Hasil studi itu juga menemukan bahwa pemikiran kreatif tetap menjadi keterampilan inti yang paling dicari, dengan tujuh dari 10 perusahaan menganggapnya penting pada tahun 2025.

Diikuti oleh ketahanan, fleksibilitas, dan ketangkasan, bersama dengan kepemimpinan dan pengaruh sosial. AI dan big data berada di puncak daftar keterampilan yang tumbuh paling cepat, diikuti oleh jaringan dan keamanan siber serta literasi teknologi. (Prof Badri Munir, 2025).

Berdasar atas laporan ini, maka peningkatan keterampilan (upskilling) menjadi penting, mengingat keterampilan para lulusan perti kurang relevan terhadap kebutuhan lingkungan yang berubah. Situasi dan kondisi itu tentu saja menjadi tantangan yang nyata akan dihadapi pengelola perti kini dan mendatang. Bagaimana agar lulusan perti tetap relevan dengan perubahan dan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja.

Upskilling dan Reskilling Dosen dan Mahasiswa

Future of Jobs Report 2023 menurut Prof Badri Munir (2025) juga melaporkan untuk Indonesia, dari 130,5 juta pekerja, hanya 49 yang sesuai dengan pendidikan formal yang ditekuninya. Adapun 16 pekerja over-educated dan yang mengejutkan 35 dilaporkan under-educated. Konsisten dengan pemberi kerja yang menyatakan bahwa mencari calon pekerja yang sesuai dengan kebutuhan menjadi hambatan utama di negara kita, atau sekitar 68.

Hal ini sejalan dengan kecenderungan munculnya fenomana banyak keterampilan yang dipelajari mahasiswa saat ini tidak diperlukan lagi di masa depan. Menurut Prof Arif Satria (2024) sebanyak 1/3 ketrampilan utama yang diajarkan tidak relevan lagi setelah 5 tahun kelulusan. Karyawan yang dipekerjakan pada 2020 hanya memiliki 66 keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang sama pada tahun 2025 sehingga perlu reskilling.

Ketika lulusan pendidikan tinggi Indonesia saat ini diragukan oleh pemberi kerja memiliki kompetensi yang diharapkan; dan pada saat yang sama AI dan big data, keamanan siber, literasi teknologi, maupun pemikiran kreatif menjadi kebutuhan mendesak; reskilling dan upskilling dosen menjadi kebutuhan mendesak.

Rerata lulusan sarjana atau diploma adalah 4 tahun, sehingga jika dilakukan secara masif di seluruh perguruan tinggi Indonesia tahun ini, maka lulusan 4 tahun ke depan akan relevan dengan perkembangan sekarang. Tentu ini harus berjalan secara paralel dengan redesain kurikulum maupun materi yang diajarkan. (Prof Badri Munir, 2025).

Prof Badri Munir (2025) mengatakan upskilling diperlukan agar kompetensi dosen saat ini bisa ditingkatkan kemampuannya melalui pemanfaatan AI dan big data. Hal ini dapat dilakukan melalui kursus atau online workshop disesuaikan dengan anggaran dan waktu yang tersedia.

Mereka bisa bergabung dengan asosiasi perti atau asosiasi professional yang memfasilitasi upskilling, mentoring oleh dosen muda yang baru menyelesaikan program doktoralnya, maupun meminta tugas baru yang memaksa mempelajari pemanfaatan teknologi (AI dan big data) untuk bidang ilmu yang dipelajari. Reskilling menurutnya perlu dilakukan dengan membekali kemampuan dosen yang sama sekali baru disesuaikan dengan kebutuhan perguruan tinggi di masa depan.

Program yang dilakukan hampir sama dengan upskilling, tetapi memerlukan komitmen waktu dan biaya yang lebih dikarenakan tujuannya memfasilitasi karier baru yang berbeda dengan sebelumnya. Bahkan, saat ini sertifikasi yang dikeluarkan oleh perusahaan profesional untuk mahasiswa setelah melaksanakan proses pembelajaran praktik terhadap serangkaian keterampilan, pengetahuan menjadi sangat berharga dan bermanfaat untuk meyakinkan dunia kerja.

Sertifikasi google career hanya butuh 6 bulan untuk menyiapkan mahasiswa dari pemula menjadi siap kerja dengan gaji yang baik seperti data analys, project manager, it support, designer dengan sertifikasi educator, trainer dan innovator dengan tingkatan level yang dibutuhkan. Bahkan lembaga sertifikasi tersebut bisa menjanjikan untuk mencarikan tempat kerja bagi peserta sertifikasi.

Sementara kampus sejauh ini masih belum bergerak untuk mengantisipasi hal itu dan berkolaborasi guna menyiapkan kebutuhan riil kompetensi kerja bagi mahasiswa dan lulusannya, sehingga kapasitas dan kompetensi mereka menjadi usang dan terus ketinggalan. Sementara dunia kerja dan industri hampir 88 meyakini sertifikat profesional menjadi dokumen penting dalam lamaran kerja.

Menurut catatan Prof Arif Satria dari sumber Survey Caursera (2023) menyatakan bahwa 86 mahasiswa setuju bahwa microcredential membantu mereka meyakinkan pengguna kerja dan 85 pimpinan perti setuju bahwa microcredentials penting untuk pendidikan masa depan. Dengan demikian, perti perlu untuk memberikan nilai tambah kepada lulusan dengan menambah sertifikasi profesional microcredential yang disediakan dunia usaha dan industri.

Beberapa contoh skill kompetensi yang bisa ditempuh antara lain: accountability and results oriented, building and managing effective teams, communications and interpersonal influence, content marketing, digital marketing, and marketing strategies, critical thinking, decision making, and problem solving, data analysis, financial and accounting knowledge, IT, machine learning, technology foundation knowledge, leading others effectively and transformation leadership, operation excellence and process improvement, project management, strategic planing and strategic thinking, talent management dst. (Prof Arif Satria, 2024).

Prof Badri Munir (2025) mengatakan bahwa sudah waktunya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengeluarkan kebijakan agar semua perguruan tinggi melakukan reskilling dan upskilling dosen yang ada. Reskilling dan upskilling secara masif dapat dilakukan secara online, baik yang gratis dan berbayar, dari berbagai perguruan tinggi berkelas dunia. Hasil kajian WEF dari Future of Jobs Report 2025 dapat menjadi dasar keterampilan apa saja yang harus disertakan dalam redesain kurikulum maupun proses belajar mengajar pada masing-masing perguruan tinggi.

Keterampilan terkait AI dan big data, keamanan digital, literasi teknologi, maupun cara berpikir kreatif sangat dibutuhkan. Harapannya, ketika mahasiswa aktif saat ini lulus 2-5 tahun ke depan relevan sebagai pekerja atau pengusaha yang mampu memanfaatkan AI dan big data dikombinasikan dengan bidang ilmu saat ini yang ditekuni. Mereka nantinya akan menjadi creative class, baik creative professional dan super-creative core, yang menentukan kemajuan ekonomi Indonesia. Semakin besar proporsinya, semakin maju ekonomi negara kita (Prof Badri Munir 2025).

Keterampilan baru ini menjadi perhatian penting agar lulusan SDM perti bisa meningkatkan relevansinya dengan ketrampilan dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Semuanya harus dimulai dari reskilling dan upskilling dosen pendidikan tinggi kita.

Transformasi Menuju Kampus Unggul, Tangguh, dan Mandiri

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Piihannya hanya satu adaptif atau mati. Kementerian Dikti Saintek jangan terjebak kepada paradigma membangun perti asal berganti di setiap rezim dan tidak memikirkan aspek keberlanjutan. Situasi mutakhir telah bergerak bergerak dari traditional menuju ke smart. Dari traditional services menjadi high values services, dari unskilled labors menjadi knowledge worker/high skilled labors, dari buy technologies menjadi make technologies.

Inovasi dan kreativitas menjadi kunci dan pembelajar di perti harus bisa menguatkan kerja sama dan kolaborasi multi, trans, dan interdisipliner agar bisa menjawab berbagai masalah dan memberi solusi mutakhir. Perti harus bisa menjadi solusi dan menara air bagi masyarakat dan lingkungannya.

Terkait dengan skenario masa depan perti, Prof Arif Satria (2024) mengemukakan bahwa Perti bisa memilih menjadi 1) The future skill university dengan menguatkan pengembangan softskill masa depan. Perti juga bisa memilih menjadi 2) The network university dengan membangun model stau institusi menjadi multi institusi yang berkolaborasi. Perti bisa juga memilih menjadi 3) The lifelong higher learning scenario. Perti bisa memperbanyak working space dimana mahasiswa bisa bertemu dengan dudi sesuai dengan skill personal yang dibutuhkan dunia insutri.

Lalu perti juga bisa memilih menjadi 4) The my university scenario dimana mahasiswa bisa menyusun dan membangun kurikulum sendiri sesuai dengan interests personal mereka. Pilihan Universitas membangun sdm unggul yang bisa menghasilkan technopreneur, sociopreneur, tenaga profesional dengan inovasi unggul berkelanjutan. Sekali lagi inovasi menjadi mesin baru unuk pertumbuhan

Tentu saja situasi selalu tidak mudah. Kita perlu merespons perubahan tersebut dengan cara baru. Prof Arif Satria (2025) mengemukakan perlunya membangun dan mengembangkan maindset baru (new mindset), sikap (new attitude) dan perilaku baru (new behavior) dan cara baru melakukan sesuatu (new way of doing things).

Cara itu menekankan pada growt mindset sebagai koreksi atas fixed mindset. Mindset ini adalah mindset berkembang yang menyukai tantangan dan cara baru, mengerti bahwa manusia selalu tumbuh kembang dan selalu bisa berubah, dan bisa aksi dengan tepat. Dengan demikian pilihan menjadi beragam dan banyak. Setiap pintu bisa terbuka untuk mereka.

Perti juga harus bisa mendorong para mahasiswa menjadi pembelajar agile yang senantiasa memiliki keberanian, kepercayaan diri dan pencapaian tidak cepat merasa puas. Jenis pembelajar ini penting dikembangkan sebagai antitesis dari tipe pembelajar yang cepat frustasi, rendah daya juang, takut melakukan kesalahan, serba takut mencoba dan apatis.

Hal ini diperkuat dengan study McKinsey & Company (2017) terhadap anak usia 15 tahun di 72 negara di dunia menunjukkan bahwa mindset seperti motivasi dan kepercayaan diri memiliki dampak yang lebih besar terhadap akademis siswa daripada faktor lainnya dan duakal lebih berpengaruh dariapda latarbelakang sosial ekonomi. Faktor itu disandingkan dan dibandingkan dengan faktor perilaku siswa, lingkuran rumah, faktor sekolah, faktor guru, dan faktor lainnya.

Best & Future Practice

Fenomena mutakhir memberi pelajaran berharga untuk perti sebagai best practices. Belajar dari gojek dan uber, mereka bisa menjadi perusahaan transportasi terluas dan terbesar, tetapi mereka tidak memiliki kendaraan aset perusahaan snediri, facebook menjadi pemilik media paling populer didunia, tetapi tidak menciptakan konten sendiri, demikian juga Alibaba grup menjadi salah satu perusahaan retail terbesar tetapi tidak memproduksi sendiri. Demikian juga Alibaba menjadi perusahaa terluas penyedia akomodasi tetapi mereka juga tidak punya estate sendiri. Best practices ini menunjukkan adanya zaman yang berubah dan perlunya cara baru menghadapi situasi tersebut.

Prof Arif Satria (2024) menyebutkan bahwa transformasi perti menjadi kemutlakan (conditio sine qua non). Perti harus didorong menjadi enterpreneurial university yang mencoba mengabungkan antara riset dan inovasi dan kewirausahaan sehingga melahirkan bussiness enterprises dan social enterprises. Jika digabungkan antara technopreneurial university dan socialpreneurial university bisa menjadi technosocial enterpreneurial university

Technopreneurial mendayagunakan iptek dan inovasi untuk pertumbuhan industri, ekonomi dan pemerataan. Sociopreneur mendayagunakan inovasi untuk transformasi masyarakat melalui pendampingan petani, nelayan, peternak, dan massyarakat umum

Melalui upaya meciptakan SDM unggul dengan mindset growt dan future practices, membangun karakter integritas dan grit dan persistence. Sebuah kombinasi antara semangat, ketekunan, dan kegigihan dalam mencapai tujuan jangka panjang. Ditambah dengan future soft skill dan literasi bidang data dan teknologi, keuangan dan human lulusan perti akan memiliki daya siang lebih kuat.

Pengelola perti perlu memperkuat pendidikan karakter dan literasi abad-21 sehingga lulusan perti memiliki modal karakter, kompetensi dan literasi yang kuat dan unggul. Secara khusus perti harus menguatkan habituasi disiplin dan effective habits sehingga mahasiswa bisa menjadi pembelajar efektif dan produktif. Literasi bisa dikembangkan mulai dari 1) komunikasi, media, bahasa dan data, 2) hukum, 3) budaya, 4) ekonomi, 5) teknologi, 6) kebangsaan, hingga 7) Literasi kesehatan.

Perti harus memperkuat ekosistem penunjang yakni sdm adaptif, keuangan yang akuntabel, infrastuktur smart dan green, ICT IoT dan Robust, organisasi agile-modern dan perluasan kerja sama global berkesinambungan Semoga perti di Indonesia bisa adaptif, responsif, konsisten dan berkesinambungan bisa mengembangkan ekosistem pokok bidang pendidikan dan kemahasiswaan, riset dan inovasi serta pengabdian kepada masyarakat sesuai kebutuhan perubahan lingkungan. Semoga.

Topik Menarik