Tekan PMI Ilegal, Menteri P2MI Terapkan Sistem Satu Pintu

Tekan PMI Ilegal, Menteri P2MI Terapkan Sistem Satu Pintu

Nasional | sindonews | Selasa, 17 Desember 2024 - 18:23
share

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyampaikan pelayanan satu pintu menjadi salah satu solusi menekan jumlah PMI yang bekerja melalui non-prosedural.

“Mari kita buat regulasinya ke depan, bahwa orang yang mau keluar itu atas nama apa pun, asal dia dapat upah dan bekerja di luar negeri, harus satu pintu,” kata Karding saat dialog publik terkait pelindungan PMI di Kantor Kementerian P2MI di Jakarta, Selasa (17/12/2024).

Karding menyampaikan kementeriannya mencatat sebanyak 80 dari PMI yang menjadi korban eksploitasi merupakan pekerja yang berangkat secara non-prosedural.

Hal itu menyebabkan pemerintah tidak dapat mengetahui lokasi dan bidang kerja PMI tersebut, serta durasi pekerjaan dan jaminan dan pelindungan pekerjaan.

Oleh karena itu, melalui kebijakan pelayanan satu pintu diharapkan warga negara Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri dapat terdata, termasuk bagi pekerja magang maupun musiman.

“Jadi siapa pun yang mau bekerja di luar negeri, itu harus terdaftar supaya masuk di data kami. Kalau dia masuk, maka kita bisa memantau dia pekerjaannya apa, bekerja di mana, siapa yang mengirim, lalu jabatan pekerjaannya apa, terlindungi atau tidak di sana,” ucapnya.

Karding menyampaikan, penguatan sistem vokasi dan peningkatan sumber daya manusia menjadi cara lain untuk meningkatkan pelindungan bagi WNI. Karding menyebutkan dari kebutuhan pekerja yang mencapai 1 juta, Indonesia hanya mampu memenuhi 267.000.

Hal itu disebabkan oleh ekosistem, mulai dari perekrutan, pelatihan, pengiriman, dan penempatan yang terbangun secara sistematis dan terencana.

“Kalau itu terproyeksi dengan baik, kita siapkan lembaga pelatihannya dengan baik, kita siapkan pelayanannya dengan baik, kita ubah mode perekrutan dengan baik, kita siapkan perwakilan kita di luar negeri, agar jangan semua bebannya di Kementerian Luar Negeri,” tutur dia.

Adapun sejak 2007 hingga November 2024, Kementerian P2MI mencatat terdapat 5.181.482 PMI yang ditempatkan diberbagai negara. Pekerja migran Indonesia paling banyak ditempatkan di Malaysia dengan jumlah 1.409.961 orang, lalu Taiwan dengan jumlah 1.048.406 orang.

Kemudian, Hong Kong 1.032.669 orang, Arab Saudi 462.740 orang, dan sisanya di beberapa negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, hingga Oman.

Karding mengaku hingga saat ini masih banyak PMI yang berangkat ke luar negeri secara ilegal. Persentase jumlah PMI yang non prosedural itu bahkan mencapai 80. Karding mengungkap hal ini setelah melakukan evaluasi menyeluruh selama dua bulan menjabat di kementerian yang baru lahir itu.

Dari evaluasi yang dilakukan, Karding juga menemukan berbagai masalah yang melatarbelakangi para PMI itu berangkat lewat jalur samping, salah satunya karena kebutuhan mendesak dan masalah ekonomi keluarga.

“Jadi, rata-rata memang alasannya teman-teman bekerja di luar negeri itu terutama yang berangkat non-prosedural, biasanya soal yang berangkat kebutuhan mendesak, lapangan pekerjaan tidak tersedia (di Indonesia), dia tidak punya uang, dia butuh menghidup-hidupkan banyak orang anak, dia punya hutang,” kata Karding.

Selain dipicu masalah-masalah klasik di atas, Karding menyebut, tingginya angka PMI ilegal juga dipicu faktor lain seperti calo yang mengiming-imingi gaji selangit kepada para calon PMI. Temuan Kementerian P2MI para calo ini beroperasi di desa-desa yang menjadi lumbung PMI mereka rutin melakukan perekrutan di sana, bahkan saat ini mereka juga melakukan perekrutan lewat media sosial.

“Kenapa tidak memilih jalur prosedural? Karena selama ini ada pola yang sudah berlangsung lama, mereka direkrut oleh calo lah, langsung ke desa. Itu yang proporsi terbesar. Proporsi yang kedua adalah, sekarang sudah mulai ada lewat online, lewat medsos,” ujarnya.

Selain karena berbagai faktor yang disebutkan di atas, Karding menyebut tingginya jumlah PMI ilegal juga bisa saja disebabkan pelayanan pemerintah yang berbelit dan memakan waktu, lantaran dinilai ribet, PMI kata Karding memilih jalan pintas yakni berangkat secara ilegal. “Tapi juga kami harus menyadari, jangan-jangan mereka ini ambil non-prosedural, karena pelayanan kita tidak bagus, berbelit-belit,” tuturnya.

Karding menyebut para PMI non prosedural itu mayoritas berangkat ke Kamboja, di mana mereka kerap mengalami eksploitasi dan penyiksaan di perusahan scammer dan judi online.

Dalam kesempatan itu Karding juga menegaskan, sampai saat ini pemerintah Indonesia belum membuka kerjasama apapun terkait pekerja migran dengan Pemerintahan Kamboja.

Topik Menarik