Hari Tani Nasional, Konflik Agraria Buat Kelompok Marjinal Terusir dari Tanahnya Sendiri
JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Serikat Petani Pasundan (SPP) sebanyak 500 massa mewakili 80 organisasi petani di berbagai daerah mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyampaikan aspirasi terkait urgensi pembongkaran dan pemberantasan korupsi agraria di Indonesia. Aksi pada hari ini, merupakan bagian dari Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2024 yang diperingati setiap 24 September.
15.000 petani akan merayakan HTN di Jakarta dan berbagai daerah. Hari Tani merupakan momentum sakral dan hari mulia bagi kaum tani, masyarakat agraris dan seluruh rakyat yang mendambakan terciptanya keadilan dan kedaulatan agraria bagi segenap rakyat dan bangsa.
“Para petani ini meminta KPK serius membongkar korupsi agraria yang sangat masif. Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, ada 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar. Korban yang terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga di seluruh wilayah di Indonesia,” kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam aksi tersebut.
Tangkap Buronan, Polri dan Otoritas Filipina Negosiasi Barter Alice Guo dengan Gregor Haas
Dewi mengatakan, bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan kaum perempuan, tanah, air dan kekayaan alam adalah penunjang pokok hidup, sumber pangan, hingga identitas, simbol nilai-nilai luhur dan kemuliaan hidup, harkat dan martabat.
Akan tetapi, lanjutnya, sumber-sumber agraria dilihat sama sekali berbeda oleh kelompok pemodal, pemerintah pusat dan daerah. Tanah diposisikan sebagai barang komoditas yang dapat dieksploitasi, diperjualbelikan sehingga alat transaksional politik demi mencapai akumulasi keuntungan ekonomi atau pun kekuasaan.
“Akibatnya, petani dan kelompok marjinal di pedesaan dan wilayah adat menjadi korban dan berada dalam situasi konflik agraria, hingga terusir dari tanahnya,” kata Dewi.
KPA mencatat, sumber-sumber agraria terutama tanah, air dan hutan kini dikuasai oleh segelintir orang saja. Hingga saat ini sudah 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar tanah dikuasai pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu. Di waktu bersamaan ada 17,24 juta petani gurem yang hanya menguasai tanah di bawah 0,1 s/d 0,5 hektar, sisanya buruh tani dan tidak bertanah.
“Parahnya kemiskinan struktural ini berada dalam sistem ekonomi-politik agraria yang diskriminatif kepada rakyat, tanpa kepastian hukum, rentan menjadi korban mafia tanah dan koruptor,” Dewi menegaskan. Ia tidak melihat ada keinginan pemerintah mengulas ulang atau mencabut konsesi hak atas tanah dan izin yang diberikan dengan merampas hak petani atau memulihkan alam yang dirusak.
Menurut pakar agraria Gunawan Wiradi, korupsi agraria terjadi ketika sistem penguasaan dan distribusi tanah tidak dikelola dengan adil dan transparan. Hal ini seringkali melibatkan aktor yang punya akses politik dan ekonomi yang menyalahgunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atas penguasaan lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi petani dan masyarakat lainnya.
“Korupsi agraria sering kali menjadi penyebab utama konflik agraria, di mana masyarakat yang tergantung pada tanah dan sumber daya alam terpinggirkan, sementara segelintir pihak mendapatkan keuntungan,” kata Gunawan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan korupsi agraria semakin memburuk. Beberapa contoh diantaranya adalah penetapan kawasan hutan tanpa persetujuan masyarakat hingga tanah pertanian, kampung dan desa diklaim sebagai kawasan hutan serta pembiaran terhadap kawasan sawit ilegal yang tidak punya izin Hak Guna Usaha (HGU). Juga, penguasaan pengusaha terhadap setidaknya 7,24 juta hektar meski masa berlakunya HGU sudah habis atau pun statusnya tanah terlantar.
“Jika taat pada UUPA dan aturan pertanahan lainnya, pengusaha wajib menyerahkan tanahnya ketika HGU sudah habis masa berlakunya atau tidak diproduktifkan alias ditelantarkan,” tambahnya.
Berikut tuntutan KPA dan Serikat Petani Pasundan ke depan:
1. Mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang yang menghasilkan perilaku kejahatan dan korupsi agraria oleh pemerintah, pengusaha dan mafia tanah, yang telah merugikan negara bahkan merampas kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat;
2. Mendukung agenda reforma agraria sejati sebagai jalan untuk menyelamatkan kekayaan negara sekaligus memulihkan dan menjamin hak atas tanah bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan;
3. Mendorong transparansi informasi dan data konsesi agraria HGU/HBG/HTI/IUP/HPL termasuk penguasaan tanah skala luas (monopoli tanah), sebagai bagian dari usaha sistematis untuk memperbaiki kebijakan secara paradigmatik, sistem tata kelola dan sistem pencegahan, pengawasan serta penindakan korupsi agraria;
4. Melakukan evaluasi dan rekomendasi pencabutan menyeluruh undang-undang yang mengatur sumber agraria seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, UU SDA, UU Kehutanan dll untuk mewujudkan harmonisasi hukum agraria yang sesuai dengan Konstitusi UUD 1945;
5. Bersama gerakan reforma agraria dan gerakan rakyat lainnya, KPK mendukung penyusunan RUU Reforma Agraria agar Indonesia bisa memiliki regulasi yang jelas tentang tata kelola agraria dan kehutanan yang berkeadilan, kredibel dan akuntabel, tegas terhadap pembatasan penguasaan dan penggunaan tanah.
Dalam kesempatan itu, KPA dan Serikat Petani Pasundan juga menyerahkan beberapa dokumen dan contoh lokasi yang telah menjadi ladang korupsi agraria pemerintah selama ini, yakni diantaranya kasus Eks HGU PT Raya Sugarindo dan Eks HGU Bukit Jonggol Asri di Ciamis dan kasus lokasi Sagara, klaim BKSDA dan Perhutani di Garut.
Sekjen Serikat Petani Pasundan Agustiana meminta agar KPK ke depan bergerak bersama rakyat dalam dalam membangun tatanan agraria yang adil, berdaulat, akuntabel dan transparan.
“Supaya tanah dan kekayaan alam kita dapat diurus dengan cara-cara beradab dan bermartabat. Penegakan hukum oleh KPK akan ikut memastikan model-model pembangunan memanusiakan manusia atas sumber-sumber penghidupannya,” katanya.