Kisah Legendaris Bang Yos, Redam Kepungan GAM Tanpa Satu Peluru yang Meletus
LETJEN TNI (Purn) Sutiyoso merupakan tokoh militer Indonesia yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di Kopassus. Tak heran jika pria kelahiran Semarang ini dikenal sebagai prajurit Korps Baret Merah yang kenyang dengan pengalaman tempur.
Berbagai medan operasi telah dilaluinya mulai dari penumpasan gerilyawan PGRS/Paraku di belantara Kalimantan, Operasi Timor Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste hingga operasi penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bahkan, di usianya yang tidak lagi muda, mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih tetap turun ke medan operasi, bertaruh nyawa di hutan belantara di pedalaman Aceh untuk menunaikan tugas mulia.
Mengajak sisa-sisa kelompok bersenjata mau kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Sutiyoso yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) terpanggil untuk meredam pergerakan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Nurdin Ismail alias Din Minimi di Aceh.
“Saya pikir yang belum aman di Aceh dan Papua. Ini cuma satu kelompok maka saya selesaikan dulu ini,” kenang Sutiyoso dalam kanal YouTube Refly Harun.
Harap MNC Group Bisa Serap Aspirasi Rakyat, RK: Supaya Kami Paham Solusi Jakarta Masa Depan
Din Minimi merupakan pimpinan kelompok bersenjata mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) paling dicari pascapenandatanganan kesepakatan Helsinki di Finlandia pada 15 Agustus 2005. Sepak terjangnya sangat meresahkan masyarakat dan aparat. Tidak sedikit masyarakat maupun aparat keamanan yang menjadi korban keganasan kelompok ini.
”Din Minimi, kelompok GAM yang masih ada jumlahnya 120 orang. Nama aslinya Nurdin, sedangkan Minimi itu sebutan senjata tangguh. Sudah 4 tahun lebih dia diburu aparat,” ucapnya.
Tak ingin jatuh korban lebih banyak lagi, mantan Wadanjen Kopassus ini memutuskan untuk terjun langsung ke medan operasi. Ditemani dua anak buahnya yakni Kapten Desna dan Sersan Wayan, pria yang dikenal dengan panggilan Bang Yos ini kemudian masuk ke hutan untuk mencari tempat persembunyian Din Minimi.
Setelah melalui perjalanan panjang dengan medan yang berat, mantan Pangdam Jaya ini akhirnya berhasil menemukan markas Din Minimi di tengah hutan.
”Waktu saya sampai di gubuknya jam 6.30, sudah gelap gulita di tengah hutan. Dia di atas pakai kaos loreng, celana loreng, dan senjata sudah ditrigger, senjatanya,” tuturya.
Situasi semakin mencekam karena Din Minimi ternyata tidak sendiri. Pentolan kelompok bersenjata itu didampingi oleh ratusan pengikutnya dengan persenjataan lengkap. Mereka langsung mengepung Sutiyoso bersama dua anak buahnya.
“Akhirnya saya bertiga aja. Kita ke tempat dia. Dikepung 120 orang di tempat Din Minimi. Kalau mau populer bantai saja atau saya disandera tetapikan saya bukan bonek (bondo nekat). Saya ada latar belakang, ada keyakinan gitu,” ucapnya.
Meski dikepung, Sutiyoso yang memiliki kemampuan intelijen dan terbiasa menghadapi situasi genting di medan operasi tak gentar. Dengan senjata yang sudah dikokang dan siap diletusan tersebut, Sutiyoso kemudian mengajak kelompok tersebut untuk berdialog.
“Saat itu saya bawa pistol, anak buah saya bawa AK. Saya juga bawa cadangan magazine penuh, sudah saya kokang saya kunci. Untuk jaga-jaga,” tuturnya.
Dengan tenang dan penuh kewaspadaan tinggi, Sutiyoso melakukan strategi soft approach atau persuasif dan mengajak Din Minimi serta pengikutnya berdialog.
”Sempat saya ngomong, Din, aku ini hanya 3 orang mana menang lawan 120 orang. Kenapa saya berani, karena saya percaya kamu, maka saya minta kamu percaya juga,” katanya.
”Tapi aku juga ngomong, Din, aku bertiga bawa senjata enggak apa-apakan? itu semuanya saya declare aja, supaya dia paham macam-macam, kamu mati juga, kira-kira begitu. Saya bilang sama mereka jangan konyol,” ujar Sutiyoso.
Setelah berdialog cukup panjang dan alot, upaya Sutiyoso menaklukkan Din Minimi dan pengikutnya akhirnya berhasil tanpa letusan peluru dan satupun korban jiwa. Din Minimi akhirnya menyerah dan mau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
“Jam 5 pagi dia baru final menyerah. Walaupun dia kaku tapi sempat bilang kepada anak buahnya untuk menyerah. Kemudian 10 orang mambawa 60 senjata, diserahkan langsung ke Jakarta di antar bupatinya,” kata Sutiyoso.
Sutiyoso menyebut, senjata yang dimiliki kelompok Din Minimi merupakan peninggalan sisa-sisa konflik dahulu karena masih ada senjata yang belum diserahkan. Dan tidak menutup kemungkinan senjata yang diselundupkan dari perbatasan.
"Karena saya pernah tugas 10 bulan tahun 1978 dulu ya, mengawasi pantai utara itu amat sulit, tidak tercover. (senjata) bisa dari Thailand, bisa dari Filipina," ujarnya.
Kemampuan Sutiyoso melumpuhkan Din Minimi tanpa sebutir peluru meletus dan jatuh korban jiwa menunjukkan lulusan Akmil 1968 tersebut sebagai sosok pemberani yang berhati nurani.
“Waktu penyerahan senjata terakhir, Bang Din (Din Minimi) menangis. Dia memeluk Pak Sutiyoso dan mengatakan, ‘Pak Sutiyoso, jangan tinggalkan saya, Pak’,” ujar Ketua Aceh Human Foundation (AHF) Abdul Hadi menirukan ucapan Din Minimi.