IKADIN Gelar Eksaminasi Putusan PTUN, Selami Lebih Dalam Peran Kekuasaan Kehakiman
JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggelar eksaminasi mendalam terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 584/G/2023/PTUN.JKT, pada Selasa (10/9) kemarin. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut peran kekuasaan kehakiman dalam kasus yang melibatkan sengketa antara PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIA) dan pemerintah terkait tagihan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Eksaminasi ini bukan bertujuan untuk mengerdilkan marwah pengadilan, tetapi menjadi sarana pengembangan kapasitas anggota IKADIN dan masyarakat luas," kata Dr. Susilo Lestari, Wakil Ketua Umum DPP IKADIN, dalam keterangannya, Rabu (11/9/2024).
Dalam acara yang digelar pada 10 September 2024, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) secara mendalam mengkaji putusan tersebut, yang melibatkan sengketa antara PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIA) dan pemerintah terkait tagihan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hasil eksaminasi mengungkap sejumlah kejanggalan dan pelanggaran prinsip hukum yang serius.
Dua dari banyak isu yang menurut hemat saya cukup menarik dari putusan ini adalah soal finalitas keputusan tata usaha negara dan irisan antara peradilan tata usaha negara dan peradilan umum. Harapannya adalah, agar isu-isu yang ada dalam putusan ini bisa diangkat dan didiskusikan, pungkas Dr. Susilo.
Salah satu temuan mengejutkan adalah adanya dugaan intervensi politik dalam proses peradilan. "Tidak mungkin Majelis Hakim dapat memutus secara adil apabila terdapat tekanan apalagi dari Mahkamah Agung," tegas Dr. Indra Perwira, S.H., M.H., salah satu eksaminator. Ia menduga adanya tekanan dari Mahkamah Agung yang mempengaruhi putusan majelis hakim.
Lebih lanjut, Dr. Indra juga menyoroti pelanggaran prinsip keadilan dalam putusan tersebut. "Majelis Hakim bisa mengesampingkan atau tidak menerapkan ketentuan apabila dirasa tidak sesuai dengan keadilan. Hakim itu the true lawgiver, hukum itu apa yang dinyatakan hakim dan bukan yang dinyatakan legislator," jelasnya.
Senada dengan Dr. Indra, Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H., mantan hakim, juga menyuarakan pentingnya akuntabilitas dalam putusan pengadilan. "Putusan pengadilan harus akuntabel dengan mempertimbangkan alat bukti secara cermat. Sekarang, tidaklah mungkin pihak penggugat yang menghadirkan catatan-catatan yang disimpan sejak dimulainya BLBI apalagi adanya perintah pada zaman orde baru agar dokumen-dokumen itu dinyatakan rahasia," ungkapnya.
Selain itu, para peneliti yang terlibat dalam eksaminasi juga menemukan berbagai ketidakkonsistenan dalam putusan tersebut. Dr. Dewi Cahyandari, S.H., M.H., misalnya, menyoroti ketidaksesuaian putusan dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
"Seharusnya dengan adanya Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang memperluas ruang lingkup dari keputusan tata usaha negara, kesempatan bagi pencari keadilan dibuka menjadi sangat luas. Namun hal ini justru tidak diikuti secara konsisten oleh Majelis Hakim," ujarnya.
Hasil eksaminasi ini menjadi sorotan serius bagi dunia hukum di Indonesia. Para ahli hukum yang terlibat menyimpulkan bahwa putusan PTUN tersebut sarat dengan cacat hukum dan melanggar prinsip-prinsip keadilan.