Operasi Sandhi Yudha, Misi Rahasia Kopassus di Belanda Intai Tokoh RMS dan OPM
JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Kopassus TNI AD khususnya Grup 3/Sandhi Yudha memilik keahlian intelijen dalam operasi rahasia ‘Clandestine Operation’, termasuk intelijen tempur dan kontra pemberontakan.
Unit Kopassus ini juga mempunyai peran penting dalam memantau aktivitas kelompok separatis di luar negeri.
Dalam buku "Kopassus untuk Indonesia" karya Iwan Santosa dan E.A Natanegara, disebutkan bahwa prajurit Kopassus dipilih untuk memantau aktivitas warga keturunan Maluku di Parlemen Belanda.
Sebagai contoh, Kopassus memantau perayaan ulang tahun RMS dan kongres Papua yang diadakan di Belanda. Melalui operasi intelijen ini, Kopassus berhasil mengumpulkan data mengenai kekuatan, strategi, dan dukungan yang diterima oleh kelompok-kelompok separatis tersebut.
Salah satu tokoh yang diamati adalah Sam Formes, seorang anggota parlemen dari Partai Greolinks, yang dikenal aktif sebagai mediator untuk mendukung generasi penerus Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Namun, dalam pemantauan tersebut, terungkap bahwa kekuatan pengikut RMS mulai berkurang karena adanya perpecahan.
Kopassus memantau langsung perayaan ulang tahun ke-55 dan ke-56 RMS di Belanda, yang digelar di gedung-gedung besar seperti Congress Centrum Den Haag dan RAI Amsterdam. Dalam acara tersebut, Wakil Presiden RMS, Watilette, berupaya membakar semangat para anggotanya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan, meski kondisi keuangan mereka sulit
Selain memantau RMS, Kopassus juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan OPM di Belanda. Meskipun jumlah anggotanya relatif kecil, OPM telah menunjukkan kemampuannya untuk mengorganisir berbagai kegiatan dan menarik perhatian publik internasional terhadap isu Papua.
Mereka berusaha memasukkan isu kemerdekaan Papua sebagai agenda pembahasan di Uni Eropa, dengan mengadakan kongres Papua dan mendompleng acara-acara tertentu untuk menarik perhatian publik.
Salah satu contohnya adalah penyelenggaraan kongres Papua di Leiden pada Mei 2003. Selain itu, pada November 2005, mereka secara strategis memanfaatkan acara peluncuran buku sejarah Papua di Den Haag untuk menarik perhatian publik internasional dan memasukkan isu kemerdekaan Papua ke dalam agenda diskusi di Uni Eropa.
Informasi-informasi ini kemudian digunakan untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi ancaman separatisme.