Moeffreni Moe’min Anak Betawi yang Jaga Keselataman Bung Karno dan Hatta dalam Rapat Ikada

Moeffreni Moe’min Anak Betawi yang Jaga Keselataman Bung Karno dan Hatta dalam Rapat Ikada

Nasional | okezone | Minggu, 4 Agustus 2024 - 07:00
share

JAKARTA - Moeffreni Moe’min merupakan putra Betawi kelahiran Banten. Dia lahir dari pada 12 Februari 1921 di Pandeglang, Banten dari keluarga yang lumayan berkecukupan, di mana ayahnya seorang eks residen Jakarta yang merupakan tokoh Betawi tulen bernama Mohammad Moe’min.

Tidak banyak literatur yang memaparkan tentang masa kecil Moeffreni. Yang pasti, “sekolah Belanda” di berbagai tingkat pernah dijalaninya. Hal itu lantaran Moeffreni di masa perjuangan dikenal sebagai perwira menengah yang tak kalah cakap berbahasa Inggris dan Belanda sebagaimana para jenderal republik lainnya.

Sebagaimana yang termaktub di buku ‘Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min’, pemuda yang berpostur cukup tinggi itu sudah menjajal karier sebagai wartawan di masa muda usia 17 tahunan. Tercatat, Moeffreni pernah jadi hoofd redacteur atau pemimpin redaksi (pemred) Majalah Pandu Jakarta terbitan Kepanduan Bangsa Indonesia. Dari organisasi semacam “Pramuka” itu pula Moeffreni bersentuhan dengan kemiliteran.

Di zaman pendudukan Jepang, Moeffreni bersama Supriyadi, Daan Mogot, serta Kemal Idris, ikut pelatihan Seinen Dojo atau Barisan Pemuda dari kepanduan itu. Mereka dilatih di Tangerang selama 6 bulan lamanya. Pascalulus, Moeffreni kembali masuk pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA). Lulus setelah 6 bulan pelatihan PETA di Bogor, Moeffreni melanglang buana jadi instruktur PETA di berbagai daerah.

Seperti jadi instruktur Renseitai di Cimahi, hingga Redentai di Magelang yang juga berbarengan dengan Zulkifli Lubis, Sarwo Edhi, dan Ahmad Yani yang kelak jadi pahlawan revolusi. Tak sampai setahun lamanya jadi instruktur di berbagai tempat, pada 1944 Moeffreni sudah ditempatkan lagi di Daidan I PETA Jakarta dengan markas di Jaga Monyet (kini kawasan Harmoni, Jakarta Pusat).

 

Sebagaimana para prajurit dan perwira PETA lainnya, Moeffreni ikut meleburkan diri di Badan Keamanan Rakyat (BKR). Embrio Tentara Keamanan Rakyat (TKR, kini TNI). Kariernya yang cukup gemilang membuat Moeffreni ditunjuk oleh Ketua BKR Pusat Kasman Singodimedjo, sebagai Ketua BKR Jakarta Raya.

Ya, Moeffreni sudah dipercaya jadi “panglima” BKR Jakarta yang meliputi Jatinegara, Pasar Senen, Mangga Besar, Penjaringan, dan Tanjung Priok di usia sekitar 24-25 tahun. Reputasinya juga membawa kepercayaan Presiden Ir Soekarno untuk meminta Moeffreni melatih Barisan Pelopor.

Memimpin BKR Jakarta, Moeffreni juga membagi-bagi kesatuan-kesatuannya berdasarkan sektor, seperti Jakarta Pusat (dipimpin Sadikin dan Soedarsono, Jakarta Utara (Martadinata dan M Hasibuan), Jakarta Selatan, Jakarta Timur (Sambas Atmadinata dan Sanusi Wirasuminta) dan Jakarta Barat. Tidak ketinggalan dibentuk satuan-satuan kecil di tiap kewedanan.

Urusan persenjataan, lazimnya di daerah-daerah lain, Moeffreni dan pasukannya pun acap melakukan pelucutan. Salah satunya pelucutan senjata serdadu Jepang di tangsi Desa Cilandak, Kebayoran Baru.

“Bukan kita mau membunuh orang, tapi untuk mempertahankan (Republik Indonesia) perlu senjata. Kalau mereka (serdadu Jepang) baik-baik, senjata itu kita ambil baik-baik. Kalau mereka tidak baik, terpaksa kita rampas. Itu saya kira lumrah,” cetus Moeffreni di buku ‘Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi’.

Moeffreni juga bertanggung jawab terhadap pengamanan Bung Karno dan Bung (Mohammad) Hatta kala menyambangi lautan manusia di rapat raksasa Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas).

Skema keamanannya dikoordinasikan Moeffreni sebagai Ketua BKR Jakarta dengan para Pemuda Menteng 31, Prapatan 10, kepolisian, Pemuda Kereta Api, Pemuda Pos dan Telekomunikasi, Barisan Pelopor, Laskar Jakarta, Laskar Klender, Pemuda Sulawesi, serta pemerintah daerah.

Moeffreni kemudian turut membentuk dua peleton anggota penjemput Bung Karno dari Pejambon, sekaligus mengawal Bung Karno langsung menuju podium, hanya bermodalkan granat dan pistol. Ketika TKR dibentuk 5 Oktober 1945, nama Moeffreni juga kembali dipercaya jadi “panglima” TKR Jakarta Raya dengan menyandang pangkat letkol.

TKR di Jakarta kemudian dibentuk Resimen V yang sayangnya atas hasil kesepakatan pemerintah republik dengan sekutu, mulai 19 November 1945 Jakarta harus dijadikan kota diplomasi dengan garis demarkasi di Kali Cakung. Resimen V harus “hijrah” dengan memilih markas di Cikampek dengan wilayahnya yang tetap meliputi Jakarta, Bekasi, Karawang dan Cikampek.

 


Bekasi yang wilayahnya tepat bersinggungan dengan Kali Cakung, kemudian dianggap sebagai gerbang republik. Tak heran kemudian sejumlah laskar dan kelompok pemuda rakyat lainnya membuat Bekasi sesak dengan para patriot.

Sayangnya tidak semua sejalan dengan instruksi pemerintah. Pun begitu, setidaknya elemen-elemen laskar dan badan perjuangan lain di luar TKR bisa “dirangkul” Letkol Moeffreni, sampai jabatannya digantikan Soeroto Koento, eks Kepala Staf Resimen V.

“Beda dengan Moeffreni, Soeroto Koento itu kekeuh dengan kemiliteran. Jadi enggak terlalu bisa kompromi dan merangkul seperti Moeffreni. Makanya kemudian dia diculik, tidak lama setelah gantiin Moeffreni dan hilang dengan dugaan dibunuh elemen laskar,” timpal penggiat sejarah komunitas Front Bekassi Beny Rusmawan kepada Okezone.

Belum lagi berbagai insiden yang terjadi di Bekasi alias Front Timur Jakarta kala itu. Mulai dari pembantaian serdadu Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di tepi Kali Bekasi, hingga pembantaian yang nyaris serupa terhadap serdadu sekutu yang sempat selamat pasca-Pesawat Dakota jatuh di Rawagatel, Cakung.

Sebagai balasannya, Bekasi dijadikan lautan api oleh sekutu pada 13 Desember 1945. Selain harus meladeni pertempuran kecil di Bekasi melawan Inggris maupun NICA, Moeffreni sempat turut membantu Divisi II Cirebon dalam penumpasan Laskar Merah, Februari 1946.

Periode Oktober-November 1946, Letkol Moeffreni kena mutasi dari jabatan Komandan Resimen V Cikampek, ke Resimen XII Cirebon menggantikan Kolonel Soesalit Djojoadhiningrat. Sementara Resimen V diisi Letkol Soeroto Koento.

Tugas besar pertamanya adalah pengamanan Perjanjian Linggarjati (10-15 November 1946). Tugas besar setelah sebelumnya pada 21 Juni 1946 di Cirebon, Moeffreni melepas masa lajang di usia 26 tahun dengan menikahi Elly Koesmaningsih, seorang putri Wedana Cirebon Moehammad Sidik.

Selain itu Moeffreni juga bertanggung jawab atas pengamanan wilayah Bandung Timur. Tugas baru lagi juga diemban Letkol Moeffreni untuk jadi Direktur Pendidikan Perwira Divisi Siliwangi di Garut, medio April 1947.

Karena situasi yang kian chaos di Jawa Barat, Moeffreni sempat tertangkap Belanda dan dibuang ke Nusakambangan. Baru pada Januari 1950 Moeffreni dibebaskan dalam rangka implementasi pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949.

Kariernya di TNI tetap diteruskan meski sempat terkena re-ra alias reorganisasi dan rasionalisasi yang membuat pangkatnya turun dari letkol jadi mayor. Moeffreni ditempatkan di Resimen Bogor sebagai kepala staf, kemudian setahun kemudian menjabat caretaker (pengganti sementara) Gubernur Militer di Bandung.

Jabatan itu pun tidak berlangsung lama karena kemudian Moeffreni dipindah ke Jakarta dan bertemu mantan sahabatnya semasa pendidikan PETA, Jenderal Ahmad Yani. Moeffreni dipercayakan jabatan Wakil Asisten V Kepala Staf Teritorial TNI AD di Mabes AD, Jalan Merdeka Barat.

Jabatan ini hanya dijalani Moeffreni sampai 1960 saja dan setelah itu meminta resign alias mengundurkan diri dari kedinasan TNI. Selepas kehidupan militer, Moeffreni sempat mencicipi dunia politik dengan jadi anggota DPRD dari Fraksi ABRI, lantas anggota MPR.

Moeffreni menghembuskan nafas terakhir pada 27 Juni 1996 di RSPP Jakarta karena sakit. Jenazah sang patriot putra Betawi itupun dikebumikan, bukan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, melainkan di TPU Tanah Kusir, sesuai wasiatnya sebelum tiada.
 

Topik Menarik