Lika-liku Perjuangan Hidup Agus Subiyanto, Kehilangan Orangtua saat Balita hingga Jadi Panglima TNI
PANGLIMA TNI Jenderal Agus Subiyanto punya kisah menarik di masa kecil hingga sukses menjadi pemimpin militer Indonesia. Lahir di Cimahi pada 1967, Agus mengalami kehidupan penuh lika-liku.
Masa kecil hingga remaja harus dilalui dengan berat. Saat usia belum genap 5 tahun, Agus sudah kehilangan ibunda tercinta. Sang ibu pergi meninggalkan adik, ayah, dan dirinya. Ayahnya menikah lagi, tapi Agus kerap tak sejalan dengan ibu tirinya.
Saat Agus naik kelas 2 SMA, ayahnya Dedi Unadi yang merupakan prajurit TNI berpangkat Sersan Kepala meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada 1984.
Agus harus hidup tanpa ibu dan ayah kandung. Ia terus bertawakal dengan meningkatkan beribadah kepada Allah SWT. Bahkan rutin berpuasa sunah Senin-Kamis. Akhirnya masa depan cerah dicapainya.
Masa kecil
Saat masih berusia balita, Agus sering dibawa oleh ayahnya dengan dengan sepeda ontel menuju lapangan sepak bola.
Ayahku sebagai tim sepak bola TNI Angkatan Darat. Dia biasanya bermain bola bersama kawan-kawanya hingga menjelang maghrib. Saya menunggunya sambil duduk di pinggir lapangan mengunyah permen pemberian ayah, kata Agus pada 2022.
Pengalaman itu sangat membekas di sanubarinya hingga sekarang. Bersepeda ontel ke lapangan bersama ayah itu menjadi kegiatan yang sangat berarti baginya. Karena itu pula sebuah sepeda ontel tua dijadikan hiasan di dalam rumahnya kini.
Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keceriaan Agus di masa kecil tiba-tiba sirna setelah ibunya pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Kasih sayang ibu yang terenggut di usia kecil membuat Agus frustrasi dan marah.
Dia merasa tidak berharga, diabaikan, dan minder. Pelan-pelan dia menarik diri dari pergaulan. Tidak berapa lama berselang ibunya pergi, ayahnya membawa sosok wanita lain ke rumah sebagai pengganti.
Agus dengan terpaksa memanggilnya mama, meski hati kecilnya berontak. Tapi apa daya, tubuh mungilnya takkan mampu memprotes keputusan ayahnya. Jangankan marah, bersuara pun tidak.
Selanjutnya Agus dan adik-adiknya dibesarkan oleh ibu tiri, tak jarang ada gesekan dan konflik dengan ibu tirinya, apalagi ayahnya yang saat itu bertugas sebagai intel komando distrik militer setempat lebih banyak di luar, sangat jarang di rumah.
Agus tumbuh dan besar dengan mengandalkan dirinya sendiri. Ibarat layang-layang, dia bergerak mengikuti mata angin. Menjelang remaja Agus sering kabur dari rumah, berpindah dari rumah teman ke rumah teman berikutnya.
Perkelahian pun sering menjadi caranya melepaskan kekesalan. Alhasil, Agus dibesarkan oleh lingkungan yang cukup keras bagi seorang remaja dan dia adalah satu di antara sekian pemain kekerasan di jalanan.
Masa remajanya semakin kelam setelah ayahnya meninggal dunia. Agus mengingat, itu terjadi pada hari kenaikan kelas. Sebagai pelajar kelas 1 dia naik ke kelas 2 SMA. Sore suatu Senin di tahun 1984 itu rumahnya diketuk tamu, seorang kolega ayahnya di ketentaraan.
Tak lama dari kedatangan tamu itu, sebuah ambulans datang membawa peti jenazah ayahnya. Saya ingat pesan terakhir ayahku dulu. Gus, potong rambutmu. Itu hari Minggu, sehari sebelum ayahku meninggal, ucapnya.
Serka Dedi meninggal karena tertabrak mobil boks saat sedang mengendarai motornya ke tempat kerja. Pilu dan sedih tiada terkira. Dunia Agus berantakan. Ayah, satu-satunya pilar tempatnya bersandar, pun roboh.
Bingung harus bagaimana Agus dan adik-adiknya hanya dapat menangis. Tentu saya bingung, apalagi saat itu saya belum tamat SMA.
Akhirnya tinggal bersama ibu tiri dan hanya mengandalkan uang pensiunan ayah yang tidak seberapa. Tak ada pilihan lain, saya berjalan saja seperti mengikuti mata angin, katanya.
Hari demi hari dilalui dengan tidak mudah, penuh keterbatasan, bahkan untuk makan pun susah. Tidak jarang Agus hanya makan nasi putih dengan lauk bakwan.
Sebagai remaja yang suka bertualang, suatu ketika pada Februari 1986 di daerah Cimahi, Agus bersama tiga kawannya berkendara sepeda motor berboncengan. Tidak ada satu pun berhelm.
Niat mereka nongkrong di tempat biasa, apalagi Agus baru lulus SMA. Saat melintas di pertigaan Leuwigajah, Baros, mereka bertemu seorang petugas polisi militer yang menghentikan mereka. Tak bisa menolak, ketiganya dibawa ke Kantor Denpom di Jalan Gatot Subroto.
Meskipun usianya saat itu sudah cukup besar, 19 tahun, tapi tak urung tubuh Agus menggigil di ruang kantor Dempom Cimahi. Sepatu bersol hitam dari bahan kulit keras bergerigi mendarat di perut, pinggang, dan tulang keringnya berulang-ulang.
Anehnya, tak sedikit pun Agus menunduk atau memalingkan kepala saat serangan ke tubuhnya bertubi-tubi. Kutatap dalam-dalam lelaki yang menuntaskan emosinya itu. Dalam hati saya marah dan saya bilang: lihat saja nanti kalau saya jadi tentara, kenangnya.
Intelektual Dalam Episentrum Kekuasaan
Kejadian ini merupakan titik balik dan menjadi awal bagi Agus mempunyai tujuan hidup. Dia ingin jadi tentara. Tendangan seorang polisi militer membangkitkan memori kepada almarhum ayah berikut pesan-pesan yang diterimanya, lebih khusus soal dorongan untuk berdinas di ketentaraan. Kamu nanti masuk Akabri saja, Gus, ungkap Agus menirukan ayahnya.
Bapak bahkan sering menyebut keinginannya itu di depan keluarga dan saudara saudaranya.
Setelah kejadian tersebut Agus banyak merenung. Di antara enam bersaudara hanya dia yang sering diminta ayahnya menjadi prajurit TNI.
Sesampai di rumah dia berwudu dan salat. Air matanya menetes, terkenang ayahnya. Dia makin menyadari hidupnya kini telah sendiri, persisnya harus mandiri.