Sejarah dan Asal Usul Jatinangor, Dulunya Perkebunan Teh hingga Karet Milik Perusahaan Belanda

Sejarah dan Asal Usul Jatinangor, Dulunya Perkebunan Teh hingga Karet Milik Perusahaan Belanda

Nasional | okezone | Jum'at, 1 Desember 2023 - 14:40
share

JAKARTA - Inilah sejarah dan asal usul Jatinangor, kawasan yang lebih dari sekadar geografis yang menarik untuk ditelaah.

Nama Jatinangor mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat yang tinggal di Jawa Barat dan sekitarnya. Bukan hanya sekadar kawasan pesawahan hijau yang asri, Jatinangor adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang menyimpan sejuta cerita dan perkembangan.

Artikel ini akan menelaah sejarah dan asal usul Jatinangor, yang dulunya dikenal sebagai kawasan perkebunan teh hingga menjadi terkenal sebagai kawasan pendidikan perguruan tinggi berkualitas.

Asal usul nama Jatinangor dipercaya berasal dari kata Jati yang merupakan nama pohon jati yang tersebar di kawasan Kiara Payung, serta Nangor dari kata Cangor yang artinya mentah atau belum matang.

Berdasarkan sejarah, sebelum terkenal menjadi kawasan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, Jatinangor dulunya merupakan lahan perkebunan teh dan pohon karet seluas 962 hektar yang dikuasai Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen, sebuah perusahaan swasta Belanda yang berdiri pada tahun 1841.

Diketahui bahwa perusahaan tersebut adalah milik Willem Abraham Baud (1816-1879) atau yang juga dikenal sebagai Baron Baud. Dalam usahanya untuk memegang kendali atas perkebunan tersebut, Baud membangun Menara Loji, sebuah menara dengan lonceng di puncaknya yang terletak di kawasan kampus ITB Jatinangor.

Kemudian, sebuah lintasan rel kereta api dengan panjang total 15 kilometer dibangun pada tahun 1916 untuk menghubungkan Rancaekek dan Tanjungsari dengan tujuan memperlancar dan meningkatkan proses distribusi hasil kebun melalui jalur Rancaekek-Tanjungsari-Citali.

Pada awalnya, jalur kereta tersebut memang direncanakan untuk menghubungkan hanya untuk Rancaekek dan jatinangor. Namun, jalur kereta tersebut pada akhirnya diperpanjang hingga Citali atas permintaan pihak militer karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan transportasi umum.

Meskipun demikian, pembangunan pembangunan jalur kereta api hingga Citali tersebut terpaksa ditangguhkan karena keterbatasan dana dan peralatan untuk menaklukkan medan alam di masa itu. Akibatnya, jalur kereta pun menjadi hanya mencapai Stasiun Tanjungsari, tidak berlanjut ke Citali.

Diketahui bahwa pembangunan tersebut juga mendapatkan dukungan dari perusahaan kereta api Belanda yaitu Staat Spoorwegen Verenigde Spoorwegbedrijf dengan membangun Jembatan Cikuda atau Cincin, jembatan rel yang menghubungkan Rancaekek-Tanjungsari pada 1918 untuk menunjang distribusi kebun dan transportasi.

Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, tanah perkebunan di Jatinangor tersebut dinasionalisasikan sebagai aset Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang dimana area seluas 3.285,5 hektar tersebut terbagi menjadi tujuh wilayah dengan fungsi berbeda yang didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/3590/1987.

Selain itu, perkembangan Jatinangor hingga menjadi kawasan mahasiswa juga berasal dari peran Universitas Padjadjaran (Unpad) atas peran penting Prof. Dr. Hindersah Wiraatmadja, rektor keenam Unpad yang mencetuskan ide bernama Kota Akademik Manglayang.

Ide tersebut terinspirasi dari Kota Akademik Tsukuba, sebuah kota sains yang terletak di sebelah selatan Gunung Tsukuba, Jepang, yang dikembangkan pada tahun 1970-an untuk mendorong kemajuan penelitian ilmiah di Jepang.

Prof. Dr. Hindersah pun mencoba mengimplementasikan idenya sebagai responnya terhadap tantangan dalam koordinasi dan pembangunan daya tampung yang dialami Unpad pada masa itu.

Topik Menarik