Bukan Kiai Cokro tetapi Inilah Senjata Pusaka yang Siapa pun Pemegangnya akan Jadi Pemimpin

Bukan Kiai Cokro tetapi Inilah Senjata Pusaka yang Siapa pun Pemegangnya akan Jadi Pemimpin

Nasional | BuddyKu | Sabtu, 24 Juni 2023 - 07:38
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Akhir-akhir ini jagat maya dihebohkan dengan pemberitaan tentang senjata Diponegoro yang bernama "Kanjeng Kiai Cokro". Disebut Kiai Cokro karena tongkat yang panjangnya 153 cm itu ujungnya berbentuk bulat.

Cokro adalah senjata Dewa Wisnu untuk membuat kedamaian di dunia. Kiai Cokro sebenarnya diperoleh Diponegoro dari pemberian warga Yogyakarta sekitar tahun 1815 saat Diponegoro berkelana ke gua-gua, ke makam leluhur, dan ke pesantren satu ke pesantren lain, sebelum Perang Jawa (1825-1830) pecah.

Saat Diponegoro dalam pengasingan di Makassar (1833-1855), tongkat Kiai Cokro pada tahun 1834 oleh Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang diberikan kepada Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud (menjabat 1834-1836). Tentu saja bentuk pemberian sebagai hadiah itu untuk mengambil hati gubernur jenderal yang baru itu.

Setelah 181 tahun, tongkat itu dikembalikan oleh keturunan Baud ke Indonesia pada tahun 2015. Ada anggapan bahwa siapa pun yang pernah memegang tongkat Kiai Cokro akan menjadi pemimpin.

Dalam sejarah Mataram Islam ternyata bukan Kiai Cokro yang menyebabkan pemegangnya menjadi pemimpin atau raja, tetapi pusaka terkenal yang bernama tombak "Kanjeng Kiai Plered". Mengapa demikian?

Tombak Kiai Plered rupanya dijadikan sipat kandel untuk mengawali sebuah dinasti (keturunan) raja Mataram dan penerusnya yaitu dinasti Senapati, dinasti Pangeran Puger, dan dinasti Pangeran Mangkubumi. Mereka bertiga semestinya tidak menjadi raja karena tidak mempunyai garis lurus pengganti raja sebelumnya.

Dengan menguasai tombak hebat itu, mereka dapat mewujudkan mimpinya menjadi pemimpin pada masanya. Kisah ini dilansir dari buku yang berjudul Suksesi Takhta Mataram Antara Perang Dan Damai 1586-1755 (2021) terbitan LKiS, tulisan Lilik Suharmaji.

Mari kita lihat kisah-kisah itu.

Kisah pertama, saat terjadi pemberontakan Arya Penangsang terhadap Demak sekitar tahun 1546. Sultan Adiwijaya raja Pajang yang masih menantu Sultan Trenggana terlibat perselisihan dengan Arya Penangsang.

Sultan Pajang membuat sayembara, barang siapa dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan diberi tanah perdikan yaitu Pati dan Hutan Mentaok. Untuk itulah Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Mertani, dan Ki Penjawi tampil untuk menghadapi Arya Penangsang yang terkenal sakti karena Arya Penangsang siswa kesayangan Sunan Kudus.

Dalam menghadapi perang berkuda di tepi Bengawan Sore, Ki Pemanahan memberikan perintah kepada putranya yang bernama Danang Sutowijoyo yang kelak bernama Senapati menghadapi Arya Penangsang.

Sebagai upaya untuk menahan gempuran Arya Penangsang, Ki Pemanahan memberikan tombak Kanjeng Kiai Plered kepada Danang Sutowijoyo. Benar saja akhirnya Arya Penangsang dapat dibinasakan.

Sultan Adiwijaya memenuhi janjinya memberikan wilayah Pati kepada Ki Penjawi dan setelah melalui peristiwa rumit, Ki Pemanahan mendapatkan Hutan Mentaok yang kemudian menjadi Mataram.

Kelak Senapati setelah mendapatkan tombak Kiai Plered pascameninggalnya ayahandanya Ki Ageng Pemanahan, dengan berbagai ujian berat menjadi raja pertama Mataram Islam.

Kisah kedua, saat terjadi pemberontakan Trunajaya yang menggempur habis-habisan Keraton Plered pada tahun 1677 yang menyebabkan Amangkurat I harus menyingkir ke barat bersama Putra Mahkota dan adiknya Pangeran Puger.

Setelah dirasa aman dalam pelarian, Amangkurat I memerintahkan Putra Mahkota merebut kembali Keraton Plered yang diduduki oleh Trunajaya. Putra Mahkota adalah sosok pangeran yang penakut sehingga Putra Mahkota tidak bersedia memenuhi perintah ayahandanya. Alasan yang diberikan Putra Mahkota dia ingin menemani ayahandanya yang sedang sakit di pelarian.

Tentu saja Amangkurat I kecewa dengan sikap penakutnya Putra Mahkota yang kelak menjadi Amagkurat II itu. Untuk itulah Amangkurat I kemudian memerintahkan kepada Pangeran Puger, adik Putra Mahkota untuk merebut Plered dari Trunajaya. Mendapat perintah itu, Pangeran Puger bersedia.

Kesediaan Pangeran Puger ini membuat Amangkurat I bangga sehingga memberikan pusaka keraton yaitu tombak Kanjeng Kiai Plered sebagai bekal. Kelak sebagai pemegang Kiai Plered, Pangeran Puger dapat menjadi raja Mataram setelah menggusur keponakannya sendiri yang bernama Amangkurat III. Pangeran Puger setelah menjadi raja memakai gelar Sunan Paku Buwono I.

Kisah ketiga, dalam Perang Giyanti (1746-1755). Saat itu, Pangeran Mangkubumi sakit hati kepada ucapan Gubernur Jenderal van Imhoff yang mengatakan bahwa Mangkubumi jangan serakah untuk menerima 3.000 cacah dari raja sebagai hadiah karena dapat mengalahkan pemberontakan Mas Said di Sokowati (sekarang Sragen).

Ucapan penghinaan itu membuat sangat malu Pangeran Mangkubumi karena diucapkan di paseban (pertemuan) yang dihadiri banyak nayaka di Kerajaan Mataram Islam. Malam harinya pada 19 Mei 1746 Pangeran Mangkubumi meninggalkan Keraton Surakarta. Sebelum berangkat, sorenya Mangkubumi menemui Sunan Paku Buwono II yang masih kakak lain ibu.

Setelah minta izin akan meninggalkan keraton, Sunan Paku Buwono II yang memang menyayangi adiknya itu memberikan keris Kanjeng Kiai Joko Piturun, uang sebesar 3.000 gulden dan pusaka tombak Kanjeng Kiai Plered sebagai sipat kandel untuk menghadapi Kompeni Belanda.

Benar saja setelah memegang senjata itu Pangeran Mangkubumi dengan melalui perjuangan yang berat melawan VOC, kelak menjadi raja dengan mendirikan kerajaan baru yang bernama Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal atau disingkat Sultan Hamengku Buwono I.

Topik Menarik