Kontroversi Seputar Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Cipta Kerja

Kontroversi Seputar Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Cipta Kerja

Nasional | BuddyKu | Selasa, 21 Maret 2023 - 15:33
share

Jakarta - DPR RI akan mengesahkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja pada hari ini, Selasa, 21 Maret 2023. Keputusan ini diambil setelah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan atas RUU Perpu Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna ke-19 dalam masa sidang IV tahun 2022-2023. Sebelumnya, Perpu Cipta Kerja telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Jumat, 30 Desember 2023.

Namun, keputusan ini tetap mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Beberapa pihak mengecam keputusan Jokowi menerbitkan beleid tersebut, sementara pemerintah mengklaim bahwa Perpu ini telah berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK Nomor 38/PUU7/2009. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global terkait ekonomi.

Beberapa kalangan juga menyoroti kontroversi ihwal Perpu Cipta Kerja. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai bahwa Jokowi telah melakukan pelecehan terhadap putusan dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK). Denny menyimpulkan bahwa Perpu Cipta Kerja memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa dan menegasikan Putusan MK Nomor 91.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menilai bahwa omnibus law itu tidak sesuai dengan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya. AHY juga menyoroti terbatasnya pelibatan publik dan sejumlah elemen masyarakat sipil dalam proses revisi, serta tidak adanya argumen kegentingan yang tampak dalam Perpu tersebut.

Perpu Cipta Kerja yang diumumkan pada November 2020 memicu pertentangan keras dari serikat pekerja di Indonesia. Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, mengkritik sejumlah poin dalam Perpu tersebut yang dianggap tidak pro dan merugikan buruh.

Salah satu poin yang menjadi perhatian serikat pekerja adalah terkait outsourcing. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, poin outsourcing sudah jelas diberlakukan hanya pada sektor tertentu seperti security, cleaning service, pertambangan, dan cathering. Namun, dalam Perpu Cipta Kerja, pembatasan outsourcing nggak jelas dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) selanjutnya.

Poin lain yang disoroti adalah mengenai tenaga kerja asing (TKA). Perusahaan yang membutuhkan TKA hanya perlu menyampaikan kebutuhannya ke Kementerian terkait, setelah itu TKA akan didatangkan. Hal ini berbeda dengan peraturan dulu yang memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKA, seperti memiliki keahlian, bukan tenaga kasar, dan wajib berbahasa Indonesia.

Masalah lain yang disoroti adalah hilangnya upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). UMSK menjadi penting untuk membedakan sektor perusahaan yang ada. Selain itu, Mirah juga menyoroti pasal pesangon dan status karyawan kontrak. Belum lagi ketentuan istirahat mingguan selama 1 hari dalam 6 hari kerja.

Di sisi lain, kontrak buruh yang semula dibatasi 3 tahun menjadi 5 tahun dan bisa terus diperpanjang. Mirah berujar, aturan ini pada praktiknya akan kacau. Jaminan sosial juga tidak didapatkan ketika buruh terus menerus berstatus menjadi karyawan kontrak.

Ada tiga hal yang paling kami soroti. Tidak adanya kepastian upah, tidak ada kepastian status pekerjaan, dan tidak ada kepastian jaminan sosial dalam Perpu Cipta Kerja, ucap Mirah. Kami butuh jaminan, kepastian buruh untuk dapat upah layak berkeadilan, kepastian mendapat status pekerja tetap, dan kepastian jaminan sosial yang layak.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja dan keberlangsungan usaha. Menurut Ida, substansi ketenagakerjaan dalam Perpu ini merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja. Beberapa substansi yang disempurnakan, antara lain adalah ketentuan alih daya atau outsourcing, penghitungan upah minimum, penggunaan terminologi disabilitas yang sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur waktu istirahat pekerja, dan pemanfaatan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Namun, pengkampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Uli Arta Siagian, mengkritik Perpu Cipta Kerja karena mereduksi makna Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Menurut Uli, Amdal menjadi salah satu instrumen paling penting untuk mengetahui dampak dari aktivitas yang akan dilakukan, sehingga dapat diketahui langkah-langkah mitigasinya. Namun, dengan Perpu Cipta Kerja, Amdal hanya menjadi pelengkap, bukan syarat wajib untuk izin lingkungan. Hal ini membuat dampak buruk terhadap lingkungan akibat aktivitas ekonomi berbasis risiko tinggi sulit diminimalisir. Uli juga menyoroti aturan dalam penyusunan Amdal yang mempersempit keterlibatan penyusunan Amdal dengan hanya melibatkan pihak-pihak yang terdampak langsung, sementara pemerhati lingkungan, organisasi lingkungan, dan pihak lain yang tidak terdampak langsung tidak dapat terlibat. Aturan ini berbeda dengan UU Nomor 32 Tahun 2003 yang mengatur tentang Amdal dan keberadaan Komisi Penilai Amdal.

Topik Menarik