Kisah Pilu Ronggolawe, Prajurit Pemberani Majapahit tapi Berakhir Tragis

Kisah Pilu Ronggolawe, Prajurit Pemberani Majapahit tapi Berakhir Tragis

Nasional | BuddyKu | Senin, 6 Februari 2023 - 05:44
share

Kuda-kuda terbaik dari Sumbawa, berdiri dengan gagah di hadapan Raden Wijaya. Ada sebanyak 27 ekor kuda yang berhasil dibawa menyeberangi lautan dengan ombak yang ganas, hingga sampai di wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri, di bawah kekuasaan Jayakatwang.

Putra Arya Wiraraja, yang berhasil membawa kuda-kuda gagah tersebut, dan mempersembahkannya kepada Raden Wijaya untuk menjadi kendaraan perang menghadapi Kerajaan Kediri. Berkat pengorbanan tersebut, Raden Wijaya menganugerahkan nama Ronggolawe untuk putra Arya Wiraraja.

Kesetiaan Ronggolawe kepada pendiri Kerajaan Majapahit tersebut, tak perlu dipertanyakan lagi. Ronggolawe bersama ayahnya yang saat itu menjabat Bupati Songenep atau Sumenep di Pulau Madura, datang membantu Raden Wijaya yang sedang membuka Hutan Tarik. Dari hutan itulah, akhirnya beridi Kerajaan Majapahit.

Saat pasukan di bawah komando Raden Wijaya, bekerjasama dengan pasukan Mongol, menyerang Kerajaan Kadiri, Ronggolawe turut berada dalam pasukan tersebut. Ronggolawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur Kediri, bahkan berhasil membunuh Sagara Winotan, yang merupakan pemimpin benteng tersebut.

Dalam Kidung Ronggolawe, setelah Kediri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan, Ronggolawe diangkat sebagai Bupati Tuban, yang merupakan pelabuhan utama di wilayah timur Pulau Jawa.

Namun, Ronggolawe tidak puas karena merasa ia seharusnya mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Ronggolawe semakin kesal setelah Nambi diangkat sebagai rakryan patih, jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan di bawah raja.

Posisi rakryan patih seharusnya diserahkan kepada Lembu Sora, yang dinilai Ronggolawe jauh lebih berjasa daripada Nambi. Lembu Sora, yang merupakan paman Ronggolawe, ternyata tidak sepakat dengan sikap keras Ronggolawe. Lembu Sora kemudian menasihati Ronggolawe, agar memohon maaf kepada Raja Majapahit. Namun, Ronggolawe enggan dan memilih pulang ke Tuban.

Pararaton menyebut, pemberontakan Ronggolawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik tahta.

Dalam Nagarakertagama, Raden Wijaya meninggal dunia, digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Namun Nagarakertagama juga mengisahkan, pada tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau "raja muda" di istana Daha.

Di Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Ronggalawe, dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ronggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.

Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakartagama (2006), mengutip Kidung Ronggolawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ronggalawe terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang.

Atas perintah Raden Wijaya, Nambi ditemani Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit, menuju Tuban, untuk menghukum Ronggolawe. Di Tuban, Ronggolawe yang mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya, ia segera mempersiapkan diri.

Ronggolawe membawa pasukannya untuk menghadang rombongan Nambi di Sungai Tambak Beras. Terjadilah peperangan sengit. Ronggolawe berhasil menikam kuda yang ditunggangi Nambi, namun Nambi masih selamat.

Kebo Anabrang, panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ronggolawe dari tiga penjuru arah mata angin, yakni dari timur, barat, dan utara. Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ronggolawe.

Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras. Melihat Ronggolawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.

Pertarungan satu lawan satu tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ronggolawe.

Ronggalawe akhirnya mengembuskan napas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri. Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ronggolawe adalah keponakan tercintanya.

Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati. Kebo Anabrang dan Ronggolawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras, hingga terjadi banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.

Mendengar kabar Ronggolawe gugur di Sungai Tambak Beras, dua istri Ronggalawe, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga dilanda duka cita mendalam. Bahkan, akibat tak kuat menahan kepiluan, keduanya sampai pingsan.

Saat tersadar dari pingsan, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga langsung mengungkapkan niat untuk menempuh jalan Sati. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih. Ritual kematian dengan cara membakar diri, atau menusukkan keris pada tubuh sendiri. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami.

Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggalawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati, seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R. Ranggawirawangsa.

Kabar kematian Ronggalawe dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit di aliran Sungai Tambak Beras, membuat semua berduka. Di Kabupaten Tuban. Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Banyak Wide, ayah Ronggalawe sontak terdiam sekaligus tertunduk lesu.

Yang ia ingat, Ronggalawe adalah satu-satunya putra, yang di pundaknya ia menaruh harapan tinggi. Cita-cita dan kebesaran. Adipati Ronggalawe layak menerima pengharapan itu. Sosok, kepandaian, keberanian sekaligus jiwa ksatria Raden Soreng (nama kecil Ronggalawe) disegani lawan maupun kawan.

Teringat jasa besar Ronggalawe yang ikut mendirikan Kerajaan Majapahit. Bersama Lembu Sora, dan Nambi serta para loyalis Raden Wijaya lain, Lawe bertempur habis-habisan mengusir ratusan ribu prajurit Khubilai Khan. Ronggalawe bersama Raden Wijaya juga berperang melawan pasukan Kediri.

Di saat Raden Wijaya masih dikejar-kejar pengikut Jayakatwang, Adipati Sumenep, Banyak Wide juga yang menjadi pelindungnya. Di Kadipaten Sumenep, menantu Raja Kertanegara itu bersembunyi. Atas saran Banyak Wide juga, Raden Wijaya memperoleh Hutan Tarik yang kelak berdiri Kerajaan Majapahit.

Banyak Wide hanya bisa tertegun dan merenung. Ronggalawe, putranya telah gugur secara tragis. Mati dengan cap sebagai pemberontak karena melawan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang ia pernah ikut mendirikannya.

Sementara usai menyatakan tekad berbela pati menyusul suami (Ranggalawe), Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga, langsung meminta restu Ki Ageng Palandhongan, ayahnya. Kaki Ki Ageng Palandhongan dan istri, dicium sekaligus memohon pamit.

Melihat suasana duka yang berlarut-larut itu, Arya Adikara atau Banyak Wide, mencoba mencairkan suasana. "Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka. Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.

Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggalawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.

Kuda Anyampiani, putra Ronggalawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raja Wijaya. Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam. Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggalawe sudah seperti saudara.

"Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raja Wijaya kepada Banyak Wide. Jenazah Ronggalawe disemayamkan di tengah balairung yang luas. Selembar kain hijau menutupinya. Raja Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggalawe melihat jenazah suaminya.

Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggalawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.

Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing -masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggalawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggalawe beserta kedua istrinya.

Ketiga jenazah dibakar di sebuah pancaka, yang kemudian abunya dilarung ke samudera. "Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ranggalawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ranggalawe.

(eyt)

Topik Menarik