Apakah Konstitusi Mengatur Sistem Pemilu? Simak Penjelasannya

Apakah Konstitusi Mengatur Sistem Pemilu? Simak Penjelasannya

Nasional | jawapos | Rabu, 4 Januari 2023 - 13:58
share

JawaPos.com Sistem pemilu antara proporsional terbuka atau tertutup, tengah menjadi perdebatan. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril menyatakan, konstitusi tidak mengatur terkait sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup.

Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia, kata Oce Madril dalam keterangannya, Rabu (4/1).

Dia mengungkapkan, terdapat implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan mencoblos gambar calon anggota legislatif (caleg) menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.

Hal ini yang menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi. Menurut Oce,

banyak riset telah menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar atau bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.

Karena itu, biaya politik tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk mengakomodir berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Sehingga, para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan juga dengan satu partai, yang juga memicu terjadinya konflik.

Oleh karena orientasi meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi, lanjut Oce Madril yang juga merupakan pegiat antikorupsi.

Pemilu yang berbiaya mahal, kata Oce, berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara. Karena,

modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu.

Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik, dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.

Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (mencoblos partai) kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata, ujar Oce.

Ramainya pendapat soal sistem pemilu ini bermula diungkapkan Ketua KPU RI Hasyim Asyari. Dia menyebut,terbuka kemungkinan Pemilu 2024 akan diterapkan sistem proporsional tertutup. Sehingga, pemilih hanya akan memilih partai politik bukan lagi caleg.

Hasyim menyatakan, sistem itu berpotensi diberlakukan jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan UU Pemilu yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka, menjadi tertutup.

Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup, ucap Hasyim di kantor KPU RI, Kamis (29/12) lalu.

Karena itu, Hasyim meminta para elite politik untuk menahan diri tidak memanfaatkan alat peraga kampanye sebelum jadwalnya. Sebab, ke depan dimungkinkan tidak ada lagi daftar caleg.

Maka dengan begitu menjadi tidak relevan misalkan saya mau nyalon pasang gambar-gambar di pinggir jalan, jadi enggak relevan. Karena namanya enggak muncul lagi di surat suara, ucap Hasyim.

Enggak coblos lagi nama-nama calon. Yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu, pungkasnya. (*)

Topik Menarik