Kaleidoskop 2022: Perang Rusia-Ukraina dan Dampaknya terhadap Geopolitik
JAKARTA, iNews.id Sudah lebih dari 10 bulan Rusia melancarkan agresi militernya di Ukraina. Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda perang antara dua negara bekas Uni Soviet itu bakal berakhir.
Agresi militer Rusia dimulai setelah Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) meminta bantuan Moskow untuk membela diri dari serangan pasukan Kiev. DPR dan LPR adalah dua entitas politik yang ingin memisahkan diri dari Ukraina.
Dua entitas tersebut mengendalikan sebagian wilayah Donbasyang berada di bagian timur Ukraina dan mayoritas didiami oleh penduduk penutur bahasa Rusia. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, mereka kerap kali mengalami penindasan selama bertahun-tahun di bawah rezim Kiev yang berhaluan Nazi.
Selain untuk melindungi DPR dan LPR, Rusia sejatinya juga punya kepentingan lain saat melancarkan agresi militer di Ukraina. Moskow menganggap kecenderungan Ukraina untuk berkiblat ke Barat dan ambisi Kiev bergabung dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantink Utara) sebagai ancamanya nyata bagi kedaulatan Rusia.
Karena itulah, Rusia mengklaim tujuan dari agresiyang para pejabat Kremlin menyebutnya dengan istilah operasi militer khususitu adalah untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina. Oleh beberapa analis, agresi Rusia di Ukraina dipandang sebagai serangan terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Rusia menyatakan, operasi khususnya tersebut hanya menyasar fasilitas militer yang ada di Ukraina. Moskow pun telah berulang kali membantah menargetkan warga sipil saat melancarkan serangannya. Namun fakta berkata lain. Sejak pasukan Rusia mulai menyerang negeri tetangganya itu pada 24 Februari, banyak nyawa warga yang melayang.
Data yang dihimpun Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dari 24 Februari hingga 27 Desember 2022 menunjukkan, terdapat 17.831 warga sipil yang menjadi korban perang Rusia-Ukraina. Perinciannya, 6.884 orang meninggal dunia, sedangkan sebanyak 10.947 lainnya luka-luka.
Amerika Serikat dan para sekutunya, termasuk Uni Eropa, telah menerapkan berbagai macam sanksi terhadap Rusia, dengan harapan Moskow akan kehilangan sumber pendapatan untuk mendanai perangnya sehingga konflik pun dapat berakhir. Namun, harapan itu tampaknya masih jauh panggang dari api, walau ekonomi Rusia memang terpukulbukan saja akibat sanksi yang bertubi-tubi dari Barat, tetapi juga karena kebijakan Putin sendiri.
Harga minyak melambung
Dampak perang tidak hanya berdampak pada dua negara rumpun Slavia itu. Secara global, pengaruh agresi militer Rusia di Ukraina juga menyebabkan gangguan terhadap aspek ekonomi dan sosial-politik global.
Harga rata-rata minyak mentah dunia (Brent, Dubai, dan WTI) melambung tinggi, mencapai 116,8 dolar AS per barel pada Juni 2022 (data IndexMundi). Harga bahan bakar lainnya seperti gas alam cair (LNG), juga mengalami kenaikan di Eropa karena kelangkaannya di pasar Eropa. Sementara Moskow mengurangi pasokan gasnya yang selama ini mengalir lewat jaringan pipa yang menghubungkan Rusia ke Benua Biru.
Negara-negara yang sudah memiliki komitmen kuat terhadap energi terbarukan, seperti Jerman misalnya, terpaksa kembali menggunakan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energinya. Bahkan, beberapa pembangkit batu bara yang sudah ditutup sebelumnya di negara itu, kini beroperasi lagi. Langkah tersebut mencederai cita-cita Berlin untuk menyetop 100 persen penggunaan energi fosil itu sepenuhnya pada 2030.
Sementara negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Amerika Serikat, terpaksa melepaskan cadangan minyak mentahnya demi mengatasi kelangkaan energi sebagai imbas dari Perang Rusia-Ukraina. Pada April lalu misalnya, Tokyo mengumumkan pelepasan cadangan minyak terbesar sepanjang sejarah negeri samurai itu, yakni mencapai 15 juta barel. Sementara Amerika Serikat pada periode yang sama melepaskan sebanyak 60,5 juta barel dari Strategic Petroleum Reserve (SPR) alias Cadangan Minyak Strategis-nya.
Secara total, negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) atau Badan Energi Internasional, termasuk AS dan Jepang, sepakat untuk merilis stok cadangan minyak sebanyak 180 juta barel dari gudang penyimpanan mereka. Dengan begitu, mereka berharap kenaikan harga minyak di pasar global bisa ditekan.
Konsolidasi Barat vs Rusia
Perang di Ukraina saat ini sejatinya tidak saja melibatkan dua negara bekas Uni Soviet. Ada intervensi pihak ketiga dalam konflik itu. Seperti disinggung sebelumnya, negara-negara Barat, terutama AS dan sekutu NATO-nya, telah mengambil posisi membeking Ukraina. Mereka menggelontorkan banyak uang dan persenjataan untuk menyokong Kiev melawan gempuran Moskow. Berbagai peralatan militer pun mereka kirim ke Ukraina, mulai dari barang-barang yang sudah usang hingga yang canggih seperti FIM-92 Stinger dari AS dan rudal Starstreak kiriman Inggris.
Sampai sejauh ini, krisis Ukraina tampaknya telah membuat negara-negara Barat semakin terkonsolidasi. Agresi Rusia mendorong mereka untuk bersatu. Karenanya, tidak heran jika sebagian analis militer menilai perang di Ukraina saat ini bukanlah antara Kiev melawan Moskow, melainkan Barat versus Rusia. Ukraina hanya menjadi arena pertempuran bagi NATO dan Rusia.
Jika ditelusuri lagi sejarahnya, NATO didirikan negara-negara Barat untuk melawan Uni Soviet dan membendung pengaruh komunisme secara global. Namun, Uni Soviet membuarkan diri pada akhir 1991. Sejak itu, Rusia mengambil peran sebagai representasi negara komunis tersebut di Dewan Keamanan PBB.
Agresi Rusia di Ukraina juga menyebabkan sedikit perubahan pada arsitektur keamanan di Eropa. Swedia dan Finlandia memutuskan untuk bergabung ke dalam NATO. Padahal, selama era Perang Dingin, dua negara Nordik itu selalu mengambil posisi netral. Keputusan mereka itu dilatarbelakangi oleh rasa terancam mereka atas tindakan Moskow menyerang Ukraina.
Sementara di lain pihak, Rusia pun terus memperkuat pengaruhnya di Belarusiasalah satu negara yang menadi penyangga antara negeri beruang merah dan Eropa Barat. Moskow pun memasok berbagai persenjataan canggih ke Minsk. Baru-baru ini, Rusia dilaporkan mengirimkan sistem pertahanan udara S-400 dan sistem rudal Iskander ke Belarusia. Lewat langkah tersebut, Moskow ingin meningkatkan efektivitas pertahanan udara bersama kedua negara.
Terganggunya rantai pasokan global
Krisis Ukraina juga menyebabkan terganggunya rantai pasokan global. Dampak tersebut antara lain berlaku pada pengiriman bahan makanan di Laut Hitam. Sejak Rusia menggempur Ukraina, kegiatan ekspor gandum dan biji-bijian lewat jalur laut itu sempat terhenti selama beberapa bulan.
Pada 22 Juli 2022, atas mediasi oleh Turki dan PBB, Rusia dan Ukraina akhirnya menandatangani kesepakatan penting di Istanbul. Kedua negara bekas Soviet itu setuju untuk membuka kembali berbagai pelabuhan Ukraina di Laut Hitam. Dengan begitu, Kiev dapat mengekspor lagi jutaan ton gandum dan biji-bijian lainnya yang telah terjebak di gudang-gudang penyimpanan Ukraina selama agresi militer Rusia.
Kesepakatan tersebut bernilai penting, karena dapat mengurangi krisis pangan global. Apalagi, Ukraina adalah salah satu eksportir gandum terbesar di dunia. Produksi gandum negara itu cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi 400 juta orang per tahun.
Krisis Ukraina juga menyebabkan gangguan pada pasokan pupuk global. Di beberapa negara, harga pupuk naik berkali-kali lipat karena langka. Hal itu memberatkan para petani. Selama ini, Rusia memang dikenal sebagai negara penghasil bahan pupuk utama di dunia.
Topik Menarik

Kementerian Agama Gelar Sidang Isbat 1 R...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 17:19

Link Live Streaming Sidang Isbat Awal Pu...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 17:37

PBNU Akan Mengikuti Ketetapan Sidang Isb...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 17:24

Link Live Streaming Sidang Isbat Ramadan...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 15:17

Mengaku Polisi, Remaja di Bitung Cabuli ...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 15:17

Kemenag Belum Bisa Pastikan Awal Ramadan...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 18:25

Malam 1 Ramadan 144 H, Satpol PP Jakbar ...
nasional | BuddyKu Rabu, 22 Maret 2023 - 21:19
