Apa yang Dilakukan Pemerintah saat Banjir Melanda Batavia pada 1918?

Apa yang Dilakukan Pemerintah saat Banjir Melanda Batavia pada 1918?

Nasional | BuddyKu | Jum'at, 2 Desember 2022 - 09:30
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Banjir tidak lagi menjadi cerita lama bagi warga Jakarta. Masyarakat yang tinggal di pemukiman dengan status sosial dari kalangan atas hingga bawah bisa jadi pernah mencicipi rasanya terdampak banjir.

Salah satu banjir yang tercatat nyaris melumpuhkan ibukota terjadi pada Januari 2013. Kala itu air dari Pintu Air Manggarai yang biasanya dilarikan ke kanal banjir barat tumpah hingga Bundaran Hotel Indonesia setelah menjebol Tanggul Latuharhari.

Begitu pula saat Belanda masih menduduki Batavia. Banjir juga memusingkan para gubernur jenderal Belanda seperti JP Coen yang gagal mengatasi banjir. Kala itu banyak penduduk tinggal di atap rumah menunggu air surut.

Dalam menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda jauh lebih baik dari masa kini. Para lurah saat itu ditugaskan agar betul-betul mengawasi kebersihan.

Upaya penanganan banjir di Jakarta sesungguhnya sama tuanya dengan usia kota Jakarta sendiri. Jakarta yang didirikan oleh JP Coen pada awal abad 17 dengan nama Batavia, yang dibangun dengan konsep kota air ( waterfront city ) mirip dengan negeri Belanda, merupakan kota yang akrab dengan permasalahan banjir.

Saat itu Batavia memang dirancang dengan kanal-kanal seperti kota-kota di Belanda. Secara historis, semenanjung dan teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai-sungai Cisadane, Angke, Ciliwung, dan Bekasi pada musim hujan.

Pertumbuhan pemukiman dan perkotaan yang tidak terkendali di sepanjang aliran sungai, tidak berfungsinya kanal-kanal dan tidak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut hingga menyebabkan Jakarta dan kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir.

Berdasarkan catatan sejarah banjir, ketika Jakarta masih disebut Batavia, kota ini sudah beberapa kali dilanda banjir, antara lain pada tahun 1621, 1654, 1873, dan pada tahun 1918 pada masa pemerintah kolonial Belanda (Rosyidie, 2013).

Sejak Februari 1918, banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan kota Batavia lumpuh. Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Tambora, dan Grogol, rata-rata ketinggian air hingga mencapai dada orang dewasa. Banjir merendam rumah-rumah penduduk bumiputera, bahkan daerah di sekitar Monas sekarang pernah dijadikan sebagai tempat pengungsian banjir.

Belajar dari pengalaman itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai melakukan berbagai pembenahan sistem pengendali banjir. Selain membangun beberapa infrastruktur baru, proyek pembangunan Kali Grogol dan Pintu Air Manggarai yang dilengkapi dengan saluran banjir kanal barat diteruskan kembali (Wati, 2020).

Lumrah saja jika slogan Batavia kala itu berbunyi Dispereert niet yang berarti jangan putus asa, termasuk dalam menangani banjir yang akan menjadi permasalahan langganan kota ini.

Penulis: Gladys CD
Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Referensi

Wati, Seni. 2020. Pembangunan Kanal dan Pertumbuhan Sosial-Ekonomi di Batavia Tahun 1918-1933. Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol.11, No.1, hlm.129-140.

Rosyidie, Arief. 2013. Banjir: Fakta dan Dampaknya, serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.24, No.3, hlm. 241-249.

Topik Menarik