Sulit Tapi Realistis Solusi 2 Negara Untuk Israel amp Palestina

Sulit Tapi Realistis Solusi 2 Negara Untuk Israel amp Palestina

Nasional | BuddyKu | Rabu, 30 November 2022 - 11:35
share

Catatan: Muhammad Rusmadi

Kepala Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka

Pidato Perdana Menteri Israel, Yair Lapid di Majelis Umum PBB ke-77 pada 22 September 2022 harus dicatat dengan tinta tebal. Dalam pidatonya, mantan jurnalis, penulis, presenter TV dan pembaca berita itu secara tegas mendukung Solusi Dua Negara bagi Palestina dan Israel.

Solusi Dua Negara merupakan salah satu opsi solusi konflik IsraelPalestina, yang menyerukan dibentuknya dua negara Palestina, berdampingan dengan negara Israel. Meski hingga kini kedua belah pihak belum menyepakati perbatasan antarnegara masing-masing.

Perjanjian dengan Palestina, berdasarkan dua negara untuk dua bangsa, adalah hal yang tepat untuk keamanan Israel, ekonomi Israel, dan masa depan anak-anak kita, kata Perdana Menteri Israel ke-14 itu.

Terlepas dari semua hambatan, hari ini sebagian besar orang Israel mendukung visi solusi dua negara ini, kata Lapid, yang baru saja diangkat menjadi PM Israel pada 1 Juli 2022 lalu ini. [Israeli Prime Minister Yair Lapid backs two-state solution, middleeasteye.net, 22 September 2022]

Pernyataan orang nomor satu di Israel ini sebenarnya muncul di tengah masih banyaknya penolakan oleh warga Israel sendiri. Bahkan laporan Middle East Eye (MEE) --situs web berita online berbasis di London yang meliput peristiwa di Timur Tengah dan Afrika Utara-- edisi 26 September 2022 memberi judul, Most Israelis do not support a two-state solution, new poll shows !

Karena menurut jajak pendapat terbaru oleh Israel Democracy Institute -- sebuah pusat penelitian dan aksi independen yang didedikasikan untuk memperkuat fondasi demokrasi Israel di Yerusalem pada September 2022-- melibatkan 753 responden menunjukkan, 58 persen orang Yahudi Israel menentang Solusi Dua Negara, 11 persen ragu-ragu. Hanya 32 persen orang Israel yang mendukung solusi ini, sebagai sarana menyelesaikan konflik Israel dengan Palestina.

Jajak pendapat itu dilakukan hanya satu hari setelah Perdana Menteri Israel Yair Lapid mengatakan dalam pidatonya di Majelis Umum PBB bahwa mayoritas warga Israel mendukung solusi dua negara.

Terlepas dari masih tingginya penolakan terhadap solusi ini di internal Israel, hal ini tak boleh mematahkan perjuangan untuk menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel. Karena minimal secara resmi, negara Israel telah menyatakan dukungannya melalui pernyatan Lapid di atas.

Bahkan pemerintahan AS, yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Israel, Joe Biden berulang kali juga telah menegaskan dukungannya pada solusi ini. Misalnya seperti dikutip Reuters , 14 Juli 2022, In Israel, Biden repeats U.S. support for two-state solution.

Lalu pada 1 September 2022 dikutip timesofisrael.com, At UN, Biden reaffirms commitment to two-state solution for Israelis, Palestinians. Terakhir pada 13 Oktober 2022, middleeasteye.net melaporkan dengan judul Two-state solution highlighted in Bidens national security strategy.

Artinya, di tengah kecamuk panjang Israel-Palestina ini, selalu muncul harapan. Apalagi, perang dan kekerasan takkan pernah bisa jadi solusi. War is never a solution; it is an aggravation, kata Benjamin Disraeli (1804 1881), negarawan Inggris dan mantan Perdana Menteri Britania Raya.

Karena pastinya, hanya yang kuat sajalah yang akhirnya menang, tanpa melihat, siapa yang benar dan yang salah. War does not determine who is right - only who is left, lanjut Bertrand Arthur William Russell (18721970), filsuf dan intelektual Inggris.

Hingga akhirnya, menang dan kalah hanya soal waktu saja, bisa bergonta-ganti. Tapi di saat yang sama, korban, penderitaan, kesengsaraan, kehancuran akan terus berlanjut.

Sayangnya, dalam konflik panjang sepanjang sejarah manusia antara Israel-Palestina, terus diwarnai kekerasan yang belum berakhir. Hingga hari ini, bahkan sudah masuk ke 105 tahun! Setidaknya sejak Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917, yang dipandang sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina. Deklarasi inilah yang bisa dibilang, sebagai pemicu konflik Palestina-Israel hingga hari ini.

Bahkan di kubu Palestina, selain ada Fatah yang memilih jalur diplomasi, juga ada Hamas, yang tetap memilih jalan perang melawan Israel, meski dengan segala keterbatasan mereka.

Nyaris tak bisa dihitung, sudah berapa kali antara gencatan senjata dan pecahnya kembali konflik selama 100 tahun terakhir ini. Bagi jurnalis yang terus mengikuti peristiwa ini, boleh jadi akan mudah merasa bosan, lelah, mungkin juga putus asa. Karena perdamaian yang seolah tak pernah terlihat.

Tapi sekali lagi, perjalanan panjang diplomasi untuk mencapai terwujudnya Solusi Dua Negara Palestina yang berdampingan dengan Israel, tak boleh kenal kata menyerah. Meski di tengah kecamuk konflik, optimisme itu juga selalu ada, baik dari kalangan Palestina maupun Israel sendiri. Ini pulalah yang harus terus harus membuat media massa tetap punya harapan untuk terus mengikuti dan mengabarkan kepada dunia internasional, dalam kerangka upaya membantu mendamaikan negara anak-anak Ibrahim atau Abraham ini. (*)

Topik Menarik