Moralitas Politik dalam Islam 24 Tak Menelantarkan Warga Non Muslim

Moralitas Politik dalam Islam 24 Tak Menelantarkan Warga Non Muslim

Nasional | BuddyKu | Selasa, 29 November 2022 - 06:00
share

Menelantarkan orang atau masyarakat merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Seorang pemimpin tidak boleh membeda-bedakan anggota masyarakatnya berdasarkan subyektifitas dirinya sebagai pemimpin. Termasuk mendiskreditkan etnik atau agama tertentu.

Sebuah riwayat dari Asma binti Abu Bakar yang menanyakan prihal ibunya yang non-muslimah kepada Nabi, apakah boleh bersilaturrahim dengannya, lalu dijawab oleh Nabi: Sambutlah ibumu dan bersilaturrahimlah dengannya. (H.R. al-Hakim). Seperti kita ketahui, ibu Asma saat itu masih musyrik. Masih banyak keluarga Nabi yang juga masih musyrik, termasuk kakeknya sendiri, Abdul Muthalib, yang hingga wafatnya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi luar biasa respeknya Nabi, sang cucu, terhadapnya.

Dalam kesempatan lain, Aisyah menceritakan suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: Assamu alaikum (Kebinasaan bagimu). Memang sepintas kedengaran dengan kata Assalamu alaikum (keselamatan bagimu). Aisyah menjawabnya: Wa alaikumussam wallanah (kebinasaan dan laknat Allah bagimu). Nabi menegur Aisyah, isterinya, dengan mengatakan: Pelan-pelan wahai Aisyah, sesungguhnya Allah Swt menyukai kelembutan di dalam setiap persoalan. Aisyah menjawab: Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang mereka katakana kepadamu?. Nabi menjawab: Kamu sudah menjawab mereka dengan Wa alaikumussam.

Dua kasus di atas cukup menjadi bukti bagaimana Nabi teladan umat Islam begitu ramah dan lembut memperlakukan orang-orang non-muslim. Ibunya Asma, sang mertua Nabi diminta untuk memperlakukan secara terhormat dan manusiawi kepada ibunya, sungguhpun ia seorang non-muslim. Bahkan Nabi meminta agar sering mendatangi untuk bersilaturrahim dengannya. Sekalipun berbeda agama, kalau kerabat tetap harus berprilaku baik dan respek terhadap mereka. Agama tidak boleh menjadi jarak antara satu sama lain. Yang penting di sini ada saling pengertian.

Kisah kedua, nyata-nyata kelompok non-muslim yang bertamu kepada Nabi menunjukkan itikad kurang baik, mendoakan Nabi binasa, lalu Aisyah membalasnya dengan kalimat sepadan. Nabi bukannya menegur tamu yang kurang terpuji itu tetapi malah menegur isterinya agar tetap bersikap lemah lembut terhaap tamu. Nabi menyadari betul apa arti kemanusiaan dan bagaimana cara menaklukkan jiwa yang keras. Nabi sering membalas orang yang selalu melancarkan serangan dengan cara-cara lembut, dan ternyata hasilnya sangat menakjubkan, orang-orang yang menyerang Nabi itu takluk dengan kelembutan Nabi. Seandainya Nabi melawannya dengan kekerasan yang sama maka tentu tidak bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Itulah pelajaran kepribadian dari Nabi.

Jika setiap kekerasan dihadapi dengan kekerasan, jika setiap cemoohan dibalas dengan cemoohan, dan jika setiap penghinaan dibalas dengan penghinaan, maka ketegangan akan mewarnai kehidupan kita. Kadang-kadang kita memang harus menempatkan diri kita sebagai kakak yang kadangkala harus mengalah terhadap adik. Jika ada orang menghina kita, anggaplah mereka itu adik dan kita sebagai kakak. Pada akhirnya sang adik akan lebih membutuhkan figure sang kakak. Yang menjadi masalah kalau tidak ada yang mau menjadi kakak, semuanya mau menjadi adik. Mari kita berupaya agar kita semua menjadi kakak, supaya kehidupan di dalam berbangsa dan bermasyarakat tentram adanya.

Topik Menarik