Tragedi Kanjuruhan: Prahara Jargon Presisi
KAPOLRI Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengumumkan hasil penyidikan sementara tragedi Kanjuruhan yang terjadi setelah laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10) menjelang tengah malam lalu. Ada enam tersangka kendati mereka belum ditahan.
Mereka adalah direktur utama PT LIB, ketua panitia pelaksana pertandingan, dan security officer. Lalu, Kabagops Polres Malang Kompol WS, Danki Brimob Polda Jawa Timur AKP H, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP BS.
Kapolri juga mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat (FH) dalam tragedi yang menelan 131 korban tewas itu. FH dimutasi sebagai Pamen SSDM Polri.
Serangkaian langkah tanggap Polri, bagaimanapun, harus diapresiasi. Apalagi, dua anggota mereka juga kehilangan nyawa. Tentu Polri wajib dan harus menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarganya termasuk bagi anggotanya sendiri.
Presiden Joko Widodo sampai terbang ke Malang untuk mengetahui duduk masalah peristiwa ini. Tim gabungan independen pencari fakta juga dibentuk. Presiden mendapati sarana stadion yang minim, pintu yang terkunci, dan penggunaan gas air mata.
Ujian Tahun Kedua
Tahun 2022 ini adalah tahun kedua bagi Jenderal Sigit yang dilantik pada 27 Januari 2021. Sigit awalnya dianggap menjanjikan perubahan besar pada institusi yang dia pimpin. Seperti jargon Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang dia dengungkan.
Namun sayang, alih-alih menghadirkan perubahan substantif, di tahun keduanya ini, mantan ajudan presiden tersebut malah harus menghadapi dua badai berurutan yang merontokkan energi dan kepercayaan publik.
Badai yang merupakan ujian leadership bagi Sigit sebagai nakhoda kapal besar dengan muatan lebih dari 450 ribu personel itu. Dia tidak boleh terpeleset dan salah. Karena kalau itu terjadi, yang menjadi korban bukan hanya dirinya sendiri, tapi kapal yang dia pimpin bisa karam. Bisa kandas.
Badai yang pertama kasus mantan Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo (yang kini telah dipecat dengan tidak hormat) karena terlibat pembunuhan Brigadir Yosua. Dalam kasus Duren Tiga yang memalukan ini, ada hampir 100 polisi yang diperiksa dan beberapa menjadi tersangka.
Lalu disusul badai Kanjuruhan yang dipicu rangkaian tembakan gas air mata. Sigit mengakui ada 11 gas air mata yang ditembakkan ke arah suporter yang masuk lapangan dan ke arah tribun.
Dua badai itulah yang seharusnya bisa Sigit dan jajarannya baca dan prediksi dengan lebih detail bagaimana mencegahnya bila akan datang dan bagaimana mengatasinya bila datang.
Apalagi, Sigit telah mendengungkan jargon prediktif yang menjadi mantra pertamanya dalam melangkah, lalu responsibilitas sebagai langkah berikutnya, kemudian transparansi.
Manajemen Internal
Menurut Sigit, sudah 31 anak buahnya yang diperiksa dalam kasus Kanjuruhan.
Meski dikatakan tidak menutup kemungkinan jumlah yang diperiksa akan bertambah, amatlah jelas bila pencopotan dan pemidanaan itu sejauh ini belum cukup. Sebab, belum jelas betul mengapa yang dipidana hanya tiga orang jika yang lain juga menjadi terduga pelanggar.
Juga termasuk mengapa jika menjadi pelanggar AKBP FH dimutasi ke biro SSDM Polri yang merupakan satuan kerja (satker) prestisius di internal Polri. Mengapa dia tidak diparkir sementara di pos lain yang tidak berkaitan dengan dapur Polri.
Lebih jauh lagi tanpa bermaksud membela berapa banyak lagi polisi lapangan yang harus (sepertinya) diperlakukan tegas dan dicopot karena salah bertindak dari suatu kegiatan yang sebenarnya bisa direncanakan dan diprediksi? Dari suatu kegiatan yang sudah diterbitkan izin keramaiannya.
Jelas ada kesalahan fundamental dan benang merah di antara keduanya, yakni kegagalan manajemen di internal polisi dalam mengelola pekerjaan profesinya. Kegagalan pada tataran operasional hanya refleksi dari kegagalan pada tataran pengelolaan organisasi dan sumber daya.
Kesalahan penerapan prinsip manajerial ini terjadi dari hulu sampai ke hilir. Di semua aspek dan lini yang mengakibatkan buruknya kinerja dan profesionalitas, rendahnya integritas, sehingga terjadi disorientasi tugas polisi.
Gawatnya, bila keadaan ini tidak segera dibenahi, sangat mungkin terjadi kegagalan lebih besar di kemudian hari. Sesuatu yang tentu tidak kita inginkan sebagai masyarakat yang merupakan konsumen utama Polri.
Pembenahan dari Mana?
Kalau aspek manajemen internal yang buruk, yang salah adalah manajernya. Ingat, organisasi polisi berbeda dengan organisasi perusahaan karena di Polri berlaku sistem hierarki berjenjang. Artinya, kesalahan yang dilakukan manajer tingkat bawah hakikatnya akibat ketidakcakapan top manager.
Dalam hal ini bisa sampai level Kapolda Jatim, atau bahkan Kapolri, yang menempatkan dan memilih FH saat yang bersangkutan belum punya pengalaman sebagai Kapolres di wilayah lain. (Di masa lalu Kapolres Malang selalu diisi perwira berpengalaman dengan jam terbang cukup).
Bahkan, saat maut menari-nari di Kanjuruhan, Kapolri sebenarnya juga berada di Jawa Timur. Dia sedang menghadiri satu acara di Probolinggo sekitar 180 km dari Kanjuruhan bersama pejabat utama Mabes Polri dan Kapolda Jatim.
Mereka memilih datang ke sana karena pasti yakin tidak ada hal serius yang akan terjadi di Kanjuruhan. Keyakinan itu ternyata berbuah kepahitan.
Polisi adalah organisasi dinamis yang harus responsif dengan dinamika masyarakat. Tidak cukup hanya bermodal jargon, apalagi hanya diteriakkan saat berpose foto.
Sudah saatnya menghilangkan pola manajemen yang mengedepankan simbol, jargon, dan kamuflase karena semua itu rawan dianggap sebagai kepalsuan dan kebohongan. Prestasi polisi diukur dari apa yang dirasakan dan terpenuhinya harapan masyarakat akan rasa aman, adil, dan pelayanan prima termasuk oleh suporter (yang tidak anarkistis) yang datang membayar ke stadion sehingga berhak atas rasa aman dan nyaman.
Rakyat tidak perlu dipameri lagi dengan survei kepuasan publik. Sebab, bisa jadi itu adalah alat kebohongan bin kepalsuan yang bisa dikondisikan. Sudah saatnya polisi bekerja benar bukan modal survei yang melenakan.
Kanjuruhan harus menjadi pengingat. Arwah mereka yang hilang jangan sampai sia-sia. Tapi, harus menjadi titik perbaikan dalam segala dimensi. Termasuk kembalinya marwah Polri hingga tidak ada artis yang sampai-sampainya berani ngeprank. Masih banyak polisi baik yang berprestasi.
Tidak ada sepak bola seharga nyawa. Tidak ada negara tanpa polisi.
Salam Satu Jiwa! (*)
*) Mantan jurnalis pos Mabes Polri, pengarang buku Jalan Presisi Kapolri: Aksi, Refleksi, Pandemi dan Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan










