Melepas Sapari, Melanjutkan Ludruk

Melepas Sapari, Melanjutkan Ludruk

Nasional | jawapos | Minggu, 9 Oktober 2022 - 09:04
share

Ketika iklan serial Loro Ati muncul di TV, dan saya mendapati wajah pasangan Kartolo-Tini di situ, langsung muncul pertanyaan: Sapari-nya mana? Belakangan, rupanya Sapari muncul di trailer Loro Ati versi layar lebar. Itu membuat saya bersorak. Sampai kemudian kabar duka itu datang.

TANPA mengurangi hormat terhadap nama-nama legenda lainnya, bagi saya tak ada Kartolo tanpa Sapari. Bersama Munawar, ketiganya adalah triumvirat ludruk di kepala saya. Dan setelah kepergiannya, menyusul Munawar yang mati muda, kini kita (nyaris) hanya punya Kartolo.

Kepergian Sapari membawa pergi sebagian kenangan saya atas ludruk. Tapi, puji syukur, ia juga menggugah sebagian yang lain. Sapari membawa saya pada Jaran Putih Mayang Seto, salah satu lakon ludruk (dalam bentuk kaset) paling awal yang saya simak di masa kanak-kanak. Karena lakon itulah, dan karakter yang dimainkannya, bagi saya Sapari lebih identik dengan sebutan Sersan Sapari dibanding Cak Sapari. Gambaran bahwa serdadu Belanda konyol dan bodoh yang lama saya percayai sepenuhnya tanggung jawab Sersan Sapari. Betapa tidak konyol: seorang serdadu meneriakkan kata Amblas! untuk menandai kematiannya sendiri.

Sersan Sapari mati di tangan Bambang Sutejo, tokoh utama Jaran Putih Mayang Seto yang diperankan Kartolo. Tapi, bahkan ketika bukan lagi seorang sersan Belanda, Sapari (sebagaimana juga Munawar) nyaris selalu menjadi korban Kartolo. Dalam lakon dagelan Dalang Gersang, misalnya, Sapari adalah rekan yang sial akibat dalang yang dibantunya, Kartolo, tidak cukup persiapan. Branjang Kabel, sebuah pelesetan atas kisah pakem ludruk Raden Branjang Kawat, barangkali menjadi sedikit dari kesempatan Sapari untuk membalas Kartolo. Muncul tiba-tiba di adegan sebagai Branjang Kawat, Sapari membuat Kartolo dan Munawar kalang kabut karena mesti memainkan banyak peran berbeda dalam satu waktu.

Kini Sapari telah tiada amblas ke surga tempat Tuhan menempatkan orang-orang lucu yang mendahuluinya: Munawar, Basman, Sokran, dll. Di televisi, Kartolo tampak terpukul. Kita juga. Dan kehilangan tokoh besar seperti Sapari, kekhawatiran lama itu menyeruak kembali: Bagaimana masa depan ludruk?

***

Sebagai penggemar ludruk, saya punya kekhawatiran yang sama. Tapi pengalaman dan sedikit amatan memberi saya semacam keyakinan: ludruk akan tetap hidup.

Tak termasuk orang yang menekuni atau mengikuti ludruk dari dekat, saya adalah pemuja dari kejauhan. Ludruk bagi saya nyaris sepenuhnya audio. Dalam lemari di kepala saya, ludruk bersisian dengan sandiwara radio yang kebetulan berjaya di masa bersamaan. Nama-nama seniman ludruk (Kancil, Markuwat, Kartolo Cs, Sidik Cs, dll), kelompok/institusi (Ludruk RRI Surabaya, Suzanna Baru, Baru Budi, dst) jika bukan dari kaset, saya kenali dari radio. Ludruk panggung adalah pengalaman yang sangat jarang sekaligus samar. Itu pun terbatas pada rombongan kecil dengan perlengkapan dan kemampuan seadanya yang berkeliling dari kampung ke kampung sambil jualan obat. Tapi justru dengan pengalaman seperti itu saya merasa relevan bicara tentang kelanjutan hidup ludruk.

Ludruk adalah sebuah ritus modernitas, demikian kata Indonesianis James Peacock. Ketika semua sepakat bahwa tonggak awal sejarah ludruk adalah Cak Durasim, itu menegaskan kesenian ini adalah anak kandung modernitas, sebagaimana film dan fotografi. Alih-alih menjaga atau melestarikan, ludruk pada dasarnya menawarkan perubahan, mendobrak, mengajak kepada yang bergerak maju. Jauh dari istana dan secara alami berjarak dari kekuasaan (meski tak selalu bisa menghindarinya), ludruk identik dengan pemberontakan, gugatan, atau yang paling lemah ejekan terhadap otoritas.

Ludruk punya lakon-lakon pakem. Namun, tak seperti wayang kulit atau ketoprak yang lebih hitam putih, ludruk dipenuhi sosok-sosok yang secara moral abu-abu, dan nyaris sepenuhnya anti kemapanan. Jika bukan vigilante (Joko Sambang, Sawunggaling, Bambang Sutejo, Sogol), para pahlawan ludruk adalah bromocorah (Sakerah, Sarip, Raden Branjangkawat) karakter-karakter yang kesemuanya cocok dengan definisi Bandit Sosial ala Hobsbawm. Meski kaya dengan kisah dongeng dan legenda, ludruk membedakan diri dengan seni panggung tradisional lain lewat cerita-cerita kontemporer yang aktual dan sehari-hari. Kisah cinta yang pahit, hubungan orang tua-anak yang sulit, konflik rumah tangga yang pelik, dan thriller konspirasi yang rumit, saya cerap kali pertama dari cerita-cerita ludruk, selain dari film.

Peacock bersaksi, secara umum ludruk lebih bersetia kepada penontonnya dibanding dengan ideologi (kesenian maupun politik) tertentu. Saya memberanikan diri bilang bahwa ludruk muncul dari rakyat untuk dinikmati rakyat. Alih-alih adiluhung dan sakral, ludruk selalu lebih bersifat industrial dan massal. Ia pop. Seperti budaya pop lainnya, ia seharusnya punya keluwesan; dan ludruk memang punya keluwesan. Di situlah kekuatan ludruk.

Ludruk yang memapar saya dan generasi saya, yang direkam di studio-studio di Surabaya pada dekade 80-an dan dinikmati dengan cara didengarkan, jelas berbeda dari ludruk awal 60-an yang diteliti Peacock yang sepenuhnya panggung. Dan ludruk awal 60-an yang semarak oleh persaingan politik dan ideologi itu jelas berbeda dengan ludruk ala Cak Durasim di masa kebangkitan kebangsaan. Tak diragukan, ludruk terus berubah.

Jika bisa diperdengarkan, tidakkah mungkin ludruk bisa diaudiovisualkan? Tentu saja, dan itu toh sudah dilakukan.

Sejak lama ludruk akrab dengan layar televisi, sebagaimana juga bentuk-bentuk pertunjukan tradisional lain di Indonesia, seperti ketoprak, dagelan Mataraman, wayang kulit, wayang wong, hingga lenong. Saya masih ingat demam Ludruk Sayembara di TVRI Surabaya awal 90-an, sebuah tayangan berkerangka ludruk yang mengadopsi pola film miniseri. Di masa yang sama, Depot Jamu Kirun, meskipun disajikan sebagai acara lawak, jelas merupakan kelanjutan tradisi ludruk dagelan yang dilayarkacakan. Sebuah sinetron lepas produksi TVRI Pusat Jakarta, Oh Sri, Sri (nomine Festival Sinetron Indonesia 1994), bukan hanya berkisah tentang pemain ludruk, tapi juga punya napas dan ciri ludruk.

Pada masa internet ini, ludruk bisa ditemukan di platform apa pun, baik dalam bentuk yang masih mendekati asli maupun yang sudah termodifikasi. Lakon-lakon lama Kartolo Cs yang diproduseri Nelwan Subuhadi terabadikan dan terus bisa dinikmati dalam format MP3, video-video audio di YouTube, maupun di Spotify. Sementara lawakan Cak Percil, guyonan Cak Silo, dan fenomena Woko Channel yang ditonton jutaan orang itu, disengaja atau tidak, saya pikir adalah hasil modifikasi atas ludruk.

Dalam kacamata pengarang seperti saya, upaya-upaya seperti yang pernah dilakukan sastrawan Djamil Suherman dengan menovelkan legenda Sarip Tambakoso (lihat Sarip Tambakoso: Kisah Kasih Seorang Ibu, 1985) adalah cara lain mengawetkan dan melanjutkan ludruk. Melanjutkan usaha Djamil atau tidak, pengaruh ludruk yang ditunjukkan dalam prosa dan puisi Dadang Ari Murtono, misalnya, jelas perlu disambut. Walau masih terbatas sebagai percobaan interteks yang kabur, dua novel terakhir saya, Dawuk (2017) dan Anwar Tohari Mencari Mati (2021), adalah juga homage untuk ludruk.

***

Ludruk lahir sebagai seni pertunjukan panggung. Menggeser mediumnya berisiko mengubah-hilangkan elemen-elemen intinya: iringan live musiknya, ngremo-nya, jula-juli dan parikannya, akting pemainnya, dan yang paling mahal dan substansial adalah interaksi pemain dengan penontonnya. Karena itu, seseorang, atau sekelompok orang, yang punya kemampuan dan hasrat, mesti terus memelihara bentuk asli ludruk. Komunitas teater saya rasa paling berhak dan paling mungkin untuk melakukannya. Namun, itu tak menjadikan usaha-usaha yang lebih inovatif dan adaptif, bahkan jika itu parsial, oleh siapa pun, tak bisa dilakukan. Kebudayaan, seperti kehidupan, terus bergerak; dan berubah.

Pita kaset telah mengabadikan nama-nama dan lakon-lakon ludruk hingga berpuluh-puluh tahun sejak ia direkam. Kamera film, saya yakin, kelak akan membuat Sapari, Kartolo, dan Tini, pun roh ludruk yang melekat pada lagak-lagu mereka, berusia lebih panjang dari umur mereka. Jika saya Bayu Skak, homage terhadap ludruk di film Yowis Ben dan Loro Ati akan saya lanjut dengan mengadaptasi satudua lakon dagelan Kartolo Cs ke serial TV atau layar lebar. Atau, jika mau membuat universe ala Marvel dan DC, tokoh-tokoh pendekar yang pernah dimainkan Kartolo (Joko Sambang, Sawunggaling, Ronggo Janur, dan Bambang Sutejo) adalah pilihan yang lebih dari sekadar menarik. Bukan hanya lebih membumi, kisah-kisah itu adalah sumur ilham yang tak akan kering. Dan sumur ilham ini tentu saja terbuka untuk para pengarang, komikus, komika, animator, musisi, dst.

Melanjutkan ludruk, dengan berbagai cara, adalah cara terbaik melepas Sapari pergi. Saya kira. (*)

MAHFUD IKHWAN , Penulis asal Lamongan

Topik Menarik