Mengapa Soekarno Ngotot Ingin Membangun Monas?
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Kalau penyair Chairil Anwar menyatakan, Aku ingin hidup 1.000 tahun lagi, maka Bung Karno ketika membangun Monumen Nasional menyatakan, Monumen ini akan tahan selama 1.000 tahun. Ia melakukan pemancangan tiang pertama Tugu Nasional (Monas) pada 17 Agustus 1961.
Biaya untuk membangun monumen yang begitu monumental itu hanya Rp 7 miliar. Padahal, sekarang harga rumah mewah di kawasan elite, seperti Pondok Indah, Simpruk, Pluit, Kemang dan Bumi Serpong Damai, di atas belasan miliar rupiah.
Tapi, biaya Monas sebesar itu pada tahun 1960-an nilainya pada 2022 sama dengan Rp 266 triliun. Tahun 1960-an, satu dolar AS nilainya hanya Rp 125. Namun, kala itu yang jadi ukuran biaya bukan dolar, tetapi emas. Kalau nilai dolar terhadap rupiah sekarang Rp 14.000, dan harga emas Rp 900 ribu per gram, maka diperkirakan ketika Monas dibangun harga emas berkisar Rp 25 per gram.
Monas kini masih menjulang di Lapangan Merdeka pusat kota Jakarta. Ketinggian pelataran puncaknya mencapai 115 meter. Sedang lidah api kemerdekaan, yang terbuat dari 14,5 ton perunggu dengan lapisan emas murni seberat 35 kg, memiliki ketinggian 14 meter.
Monas dibangun pada tahun 1961-1965 (era Presiden Soekarno), dengan pembiayaan dari sumbangan masyarakat. Kita membangun Tugu Nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap, seluruh bangsa Indonesia membantu pembangunan Tugu Nasional itu, seru Bung Karno.
Seruan itu mendapat tanggapan positif dari masyarakat dengan berbagai cara meyalurkan bantuan. Setelah Soekarno turun tahta, pembangunan Monas dibiayai oleh Setneg dan kemudian APBN.
Di Ruang Proklamasi, enam meter di bawah permukaan tanah Monas, kita dapat mendengarkan kembali suara Bung Karno ketika atas nama bangsa Indosnesia membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB. Ruangan itu dilapisi emas dengan berat total 22 kg.
Menurut keterangan, Bendera Pusaka yang sebelumnya disimpan di Istana Negara ditempatkan di Monas berdekatan dengan Ruang Proklamnasi. Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang menyerahkan Bendera Pusaka pada 20 Mei 2007, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
Bendera Pusaka dikibarkan pertama kali ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Bendera berukuran 178 X 274 Cm itu dijahit oleh Ibu Fatmawati, pada pertengahan Oktober 1944, di kediamannya, Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dalam waktu dua hari.
Bendera Pusaka itu dikibarkan terakhir kali pada 17 Agustus 1968. Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan selanjutnya, agar tidak rusak, bendera ini tidak dikibarkan lagi, hanya disertakan saja. Yang dikibarkan duplikatnya, dibuat dari sutera alam asli Indonesia. Bagian berwarna merah dan putih tidak disambung dengan jahitan, melainkan merupakan satu kesatuan.
Istriku telah menjahit sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera resmi yang pertama dari Republik, tutur Bung Kanro.
Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang. Aku berdoa dalam hati, kalau pun ia turun lagi, maka ia hanya akan turun melalui tujuh puluh dua juta mayat dari bangsaku yang bergelimpangan. Kami takkan melupakan semboyan revolusi, Sekali Merdeka Tewtap Merdeka, tutur Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Khusus mengenai bangunan-bangunan di Jakarta yang pada masanya banyak dikecam sebagai proyek mercu suar, Bung Karno berkata, Tidak, saudara-saudaraku. Kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini, karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman. (Pidato Bung Karno saat pemancangan pondasi Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961).
Lapangan Monas dibuat pada zaman pendudukan Napoleon oleh gubernur jenderal Herman Daendels (1808-1811) dengan nama Champ de Mars bertepatan dengan pemindahan kantor-kantor pemerintahan dan kompleks militer dari Kota Lama di Pasar Ikan ke Weltevreden. Di samping membangun kantor-kantor pemerintahan, Daendels yang dapat julukan anak revolusi Prancis juga membangun komplek militer (tangsi Batalion X), Lapangan Banteng, rumah sakit militer (kini RSPAD Gatot Subroto), dan Sociatet Harmoni (kini bagian dari Sekneg).
.
TONTON VIDEO PILIHAN:
.
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Inggris dan Belanda Berperang untuk Perebutkan Pulau Jawa
> Savefrom.net, Download Video TikTok dan Lagu MP3 dari YouTube: Gratis dan Mudah tanpa Watermark
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja
> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab
> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan
> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.










