Utang BLBI Dikorupsi Konglomerat, Kok Rakyat yang Tanggung Bunganya?

Utang BLBI Dikorupsi Konglomerat, Kok Rakyat yang Tanggung Bunganya?

Nasional | law-justice.co | Senin, 15 Agustus 2022 - 06:37
share

Pemerintah hingga saat ini masih harus terus menanggung bunga dan pokok utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998 silam.

Mengutip Kompas, Senin (15/8/2022), Adapun bantuan likuiditas itu digelontorkan Bank Indonesia untuk membantu perbankan Indonesia yang sekarat dalam krisis keuangan tahun 1997-1998. Belakangan banyak konglomerat pemilik bank menyelewengkan uang BLBI dan sebagian lagi kabur ke luar negeri menghindari perkara hukum.

Selain membayar cicilan pokok, pemerintah juga harus membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang dinegosiasikan.

"Pemerintah selain membayar pokoknya (utang BLBI), juga membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang dinegosiasikan. Jelas pemerintah menanggung bebannya hingga saat ini," kata Sri Mulyani dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 27 Agustus 2021.

Untuk mengurangi atau mengompensasi utang tersebut, akhirnya pemerintah memburu para obligor atau debitur yang terindikasi menjadi penerima BLBI. Pemerintah meminta para obligor dari bank yang mendapat BLBI mengembalikan utangnya.

Awal mula BLBI
Utang BLBI sendiri muncul di tahun 1998, saat Indonesia mengalami krisis keuangan hebat yang menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan likuiditas.

Nilai tukar rupiah yang ambruk di tangan dolar Amerika Serikat membuat perekonomian rakyat morat-marit. Kondisi ini menyebabkan situasi politik pemerintahan Soeharto tidak stabil.

Pemerintah melalui BI (saat BI belum jadi lembaga independen) kemudian mengucurkan dana pinjaman dalam bantuk bantuan likuiditas yang bernama BLBI.

Yang jadi masalah, uang yang dikucurkan pemerintah kepada para konglomerat pemilik bank itu bukan uang gratis yang turun dari langit atau dicetak oleh BI.

Dana untuk BLBI didapatkan pemerintah dengan melakukan penjaminan atau blanket guarantee kepada seluruh bank-bank di Indonesia kala itu.

Bantuan likuiditas itu dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh pemerintah. Sampai saat ini, SUN masih dipegang oleh BI. Di mana dengan keberadaan SUN tersebut, tentunya pemerintah harus membayar bunga utang BLBI tersebut hingga sekarang.

Kala itu, talangan dana ini diberikan pemerintah kepada 48 bank komersial yang bermasalah saat itu. Di antaranya adalah Bank Central Asia (BCA) yang dulunya milik Sudono Salim, Bank Umum Nasional milik Mohamad Bob Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono.


Dirut Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim pada konferensi pers merger 5 bank di hotel Sahid (19/11). Merger diyakini akan melahirkan sinergi kuat, bank tahan banting. Jika sinergi berjalan sempurna, semua masalah termasuk kredit macet dapat diatasi. Bank yang akan melakukan merger antara lain Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Tiara, Bank Sahid Gajah Perkasa (SGP), dan Bank Dewa Rutji.


Lalu Bank Yasin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana, Bank Papan Sejahtera milik Hasjim Djojohadikusumo, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.

Total dana talangan BLBI yang dikeluarkan sebesar Rp 144,5 triliun. Namun 95 persen dana tersebut atau Rp 138,442 triliun ternyata diselewengkan, skandal ini dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.

Masuk tahun 2022, artinya pemerintah sudah membayar bunga BLBI selama 23 tahun. Sementara utang BLBI baru akan berakhir pada tahun 2033.

Dikutip dari laman resmi Kemenkeu, setiap tahun, pemerintah harus membayar sekitar Rp 80 triliun rupiah untuk cicilan pokok dan bunga obligasi itu untuk menyelamatkan bank bermasalah milik para konglomerat tersebut.

Beban APBN tersebut tentunya berdampak langsung kepada seluruh rakyat karena harus ikut menanggungnya. Pembayaran bunga sebesar itu membuat ruang APBN semakin sempit.

Ini lantaran dana yang dipakai pemerintah untuk membayar bunga obligasi BLBI, seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lain seperti subsidi listrik ataupun BBM.

Selama ini, lanjut dia, pemerintah menyiasati pembayaran pinjaman obligasi dengan cara reprofiling atau menerbitkan obligasi baru dengan tenor yang lebih panjang.

Dengan kata lain, bunga utang BLBI dibayar dengan penerbitan utang lainnya. Itu sebabnya, beberapa kalangan menyebut adalah utang bunga BLBI sebagai utang haram karena belakangan jadi sumber korupsi sehingga tidak layak menjadi tanggungan seluruh bangsa.

Selain melalui penerbitan utang baru, pemerintah sejauh ini juga masih mengandalkan penjual aset yang disita dari para obligor BLBI untuk meringankan beban APBN tersebut.

Utang BLBI dihapus


Sementara itu, pemerintah diminta menghentikan pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI. Alasannya, pembayaran itu menyedot anggaran untuk rakyat.

Menurut Staf Ahli Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hardjuno Wiwoho, seharusnya anggaran pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Terlebih, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga sudah mengingatkan 800 juta jiwa penduduk dunia terancam kelaparan dan subsidi BBM di Indonesia sudah mencapai Rp502 triliun.

Ini seharusnya jadi peringatan, kalau terus dipakai untuk hal tidak penting bisa menjadi ancaman anak cucu kita, ujarnya dikutip dari Kompas TV.


Oleh karena itu, sudah saatnya Presiden Jokowi menunjukkan kekuatan kepada konglomerat-konglomerat yang selama ini mengangkangi negara dengan menikmati bunga rekap hingga Rp 50-an triliun per tahun yang diambil dari APBN.

Pajak rakyat dipakai untuk membayar bunga selama 23 tahun sejak 1999 yang bank-banknya hari ini sudah jadi bank raksasa semua. Sampai kapan dibiarkan, ucap Hardjuno.

Hardjuno menilai jika pajak rakyat terus dibiarkan untuk membayar beban subsidi bunga obligasi rekap sampai 2043 jelas sangat tidak adil karena angkanya bernilai total Rp 4.000 triliun.

Jumlah yang fantastis sekali. Ini sangat berbahaya, apalagi tingkat kemiskinan hari ini masih dua digit dan ancaman kelaparan di depan mata, tuturnya.

Ia berpendapat, ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi situasi ketidakpastian. Apalagi, saat ini semua negara dalam tekanan keuangan hebat. Sebab, anggaran besar untuk pandemi Covid-19 kemarin berasal dari utang.

Topik Menarik