Tolak UU Sumbar, Aliansi Mentawai: Tidak Mencakup Seluruh Budaya!

Tolak UU Sumbar, Aliansi Mentawai: Tidak Mencakup Seluruh Budaya!

Nasional | law-justice.co | Rabu, 3 Agustus 2022 - 09:34
share

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Sumbar) yang disahkan DPR pada 30 Juni lalu ditolak Aliansi Mentawai Bersatu.

Ketua Aliansi Mentawai Bersatu, Yosafat Saumanuk mengatakan bahwa pihaknya menilai UU tersebut bermasalah lantaran tidak memuat pasal mengenai kebudayaan asli Minangkabau secara menyeluruh.

Kata dia, UU Sumbar disebut hanya menjelaskan satu kebudayaan mayoritas yaitu budaya Minangkabau. Padahal, Sumbar memiliki 19 kabupaten/kota dengan kebudayaan yang beragam.

"Meskipun budaya kami adalah budaya minoritas, tapi kami bagian dari Sumbar dan hal itu diakui secara geografis dan administrasi daerah," katanya seperti melansir cnnindonesia.com.

Dalam penolakan itu, aliansi menyoroti pasal 5 huruf C yang menjelaskan perihal adat dan budaya Minangkabau yang didasari pada nilai falsafah Islam.

Beleid pasal itu berbunyi: Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara`, syara` basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku sesuai dengan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.

Yosafat berujar pasal tersebut secara jelas tidak memuat kebudayaan Sumbar lain seperti kebudayaan Arat Sabulungan atau kebudayaan lokal Mentawai. Hal itu menurutnya dapat mematikan secara perlahan kebudayaan Mentawai.

Dia menjelaskan budaya lokal Mentawai berbeda dengan budaya Minangkabau. Apabila rumah adat Minangkabau dikenal dengan istilah Rumah Bagonjong, di Mentawai rumah adat disebut dengan Uma. Uma pun tidak memiliki desain menyerupai tanduk kerbau seperti rumah adat Minangkabau.

Selain itu, hal lain yang berbeda dari Mentawai yakni keberadaan Sikerei sebagai tabib, kebudayaan Patiti atau merajah/menato tubuh, dan keadaan sosial budaya lainnya.

Menurut Yosafat, pemerintah mestinya mengakui keberagaman kebudayaan Sumbar karena hal itu dilindungi oleh UUD 1945.

Perlindungan itu tertuang dalam Pasal 18B tentang kewajiban negara untuk mengakui dan menghormati hukum adat dan hak tradisional secara setara dengan masyarakat lainnya.

Oleh sebab itu, aliansi pun mendesak DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Sumbar tersebut dengan menambahkan dan mengakomodir keberadaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu karakteristik Provinsi Sumatera Barat.

Mereka juga meminta agar DPR menyampaikan permintaan maaf atas kelalaiannya dalam mencantumkan kebudayaan-kebudayaan Sumbar lain di dalam undang-undang tersebut.

"Mendesak DPR RI untuk meminta maaf karena lalai menghargai, menghormati, dan melindungi keberadaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu keberagaman dari Provinsi Sumbar," kata Yosafat.

Selain aliansi masyarakat, Mantan Bupati Mentawai, Yudas Sabaggalet, juga turut memprotes UU Sumbar. Yudas mengatakan Kabupaten Mentawai sudah ada sejak Indonesia Merdeka. Namun karena UU tersebut, Mentawai seolah-olah tidak pernah ada.

"Kami meminta keadilan akan UU tersebut dengan menambahkan satu pasal untuk Mentawai atau lain sebagainya," ujarnya.

Topik Menarik