Sandal Jepit

Sandal Jepit

Nasional | jawapos | Minggu, 17 Juli 2022 - 10:23
share

Sebagian masyarakat Indonesia kaget alang kepalang ketika tiba-tiba beredar kabar bahwa polisi melarang pengendara motor memakai sandal jepit. Alasannya, berkendara memakai sandal jepit rawan celaka ketika terjadi kecelakaan kecil. Permukaan telapak kaki tidak terlindungi dengan baik.

MASYARAKAT pantas kaget karena banyak dari mereka ketika berkendara dengan memakai sandal jepit aman-aman saja. Di samping itu, sandal jepit merupakan alas kaki paling populer di Indonesia. Harganya amat terjangkau juga amat simpel pemakaiannya.

Kabar tentang polisi melarang penggunaan sandal jepit saat berkendara sempat membuat heboh. Polisi tampaknya merasa tidak nyaman dituduh membuat larangan yang tidak berdasar tersebut. Kapolri pun sampai turun tangan. Ia menyampaikan bahwa hal tersebut bukanlah larangan, melainkan hanya imbauan. Mengapa perlu Kapolri langsung yang turun tangan? Mungkin karena sandal jepit identik dengan rakyat kecil. Jangan sampai rakyat kecil membuat berisik hanya gara-gara masalah sandal jepit, bisa memalukan bangsa.

Penolakan masyarakat terhadap imbauan memakai sandal jepit saat naik sepeda motor cukup menarik dan unik. Polisi tentu saja memiliki argumen yang kuat saat mengeluarkan imbauan tersebut. Mereka memiliki data mengenai orang-orang yang celaka gara-gara naik motor dengan hanya beralas sandal jepit. Sandal jepit di mata polisi bukanlah alas kaki yang aman dan tepat untuk dipakai saat mengendarai sepeda motor, sekalipun sandal jepit merupakan perlengkapan yang paling banyak dipakai masyarakat Indonesia.

Popularitas sandal jepit di Indonesia jika dirunut dari sejarah dan fungsi awalnya bisa dikatakan merupakan sebuah anakronisme. Sebuah benda yang salah tempat dalam pemanfaatannya.

Berbagai informasi menyebutkan bahwa sandal telah dipakai manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sandal merupakan alas kaki yang paling tua. Masyarakat Mesir Kuno memakai sandal yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang dianyam. Namun, sandal yang paling populer, misalnya yang dipakai masyarakat Romawi Kuno, terbuat dari kulit hewan karena dianggap lebih awet.

Yael Young dalam tulisannya di jurnal Nature untuk bidang Humanities and Social Sciences Communications, 12 Agustus 2020, menyebutkan bahwa sandal merupakan pakaian yang sudah sangat populer sejak zaman Yunani Kuno. Masyarakat Eropa dalam keseharian memakai sandal untuk menahan hawa dingin saat musim dingin yang ekstrem. Peninggalan sejarah Mesir Kuno juga memperlihatkan bahwa masyarakat telah memakai sandal, tentu saja bukan untuk cuaca dingin, melainkan untuk menahan cuaca panas yang pada bulan tertentu juga sangat ekstrem.

Walaupun bentuk sandal jepit telah ditemukan di Eropa pada masa kuno, popularitas sandal jenis ini baru dimulai di Jepang pada tahun 1930-an. Sandal jepit di Jepang terbuat dari karet yang ringan sehingga berharga murah. Sandal jenis ini dipopulerkan tentara Amerika Serikat saat pulang bertugas di Jepang tahun 1950-an. Mereka membawa sandal jepit, yang kemudian populer di Amerika Serikat untuk dipakai ke pantai atau untuk keperluan ke kamar mandi.

Masyarakat Indonesia mengenal sandal jepit ketika produsen Jepang mulai memasarkan produk mereka di sini. Sandal jepit paling awal yang populer di Indonesia bermerek Daimatu. Dan saat itu harganya cukup mahal.

Sandal jepit merupakan sandal dengan konsep kesetaraan gender. Dengan bentuknya yang sederhana, hanya berupa sol yang disambung dengan tali berbentuk huruf V, sandal ini bisa dipakai pria maupun wanita.

Nah, karena saat awal sandal ini di Indonesia masih berharga lumayan mahal, maka dianggap sebagai barang setengah mewah. Tempat pemakaiannya pun bergeser. Jika di negara asalnya sandal ini hanya dipakai ke kamar mandi dan ke pantai, di Indonesia dipakai untuk keperluan yang lebih luas. Bahkan ketika sandal jepit tidak lagi dimonopoli Daimatu, alas kaki ini dipakai pula untuk berangkat kuliah.

Pemakaian sandal jepit yang keluar dari relnya tentu saja mengikuti cara berpikir dan bertindak khas sebagian masyarakat Indonesia. Yaitu kurang mengenal fungsi-fungsi khusus. Cara berpikir sebagian orang Indonesia adalah menjadikan segala sesuatu bersifat dan berfungsi umum.

Ada banyak contoh, salah satunya penggunaan kertas tisu. Di negara-negara yang masyarakatnya membersihkan kotoran badan dengan kertas tisu, bentuk kertas tisu dibuat berbeda-beda. Kertas tisu untuk membersihkan kotoran sehabis buang air besar dikemas dengan cara digulung.

Nah, di Indonesia tisu gulung ternyata dipakai di warung-warung untuk keperluan mengeringkan tangan sehabis cuci tangan. Orang dari Eropa yang bersantap di warung kaki lima di Indonesia tentu saja akan tersenyum kecut karena saat makan disandingi tisu toilet.

Ada banyak tindakan yang dilakukan kita yang menggambarkan bahwa kita memang tidak bisa berpikir dan bertindak khusus. Trotoar yang semestinya untuk jalan kaki dipakai juga untuk parkir, jualan, menjemur pakaian.

Jalan raya yang semestinya hanya untuk lewat kendaraan dan manusia pada saat-saat tertentu ditutup dengan tenda untuk keperluan mantenan. Maka, jangan heran jika sandal jepit yang semestinya hanya untuk keperluan hal-hal yang bersenggolan dengan air, semisal wudu, mandi, jalan-jalan ke pantai, dipakai pula untuk kuliah dan saat naik motor.

Pemakaian sandal jepit yang salah tempat itulah yang menjadikan sandal paling lucu dan paling populer ini dimusuhi pihak-pihak tertentu. Dulu saat sandal jepit amat populer di kampus, pihak kampus menyetop pemakaiannya karena dianggap tidak sopan.

Di pintu-pintu masuk kelas diberi pengumuman bahwa siapa pun dilarang masuk kelas dengan memakai sandal jepit. Pelarangan itu semata-mata agar mahasiswa bisa memahami kekhususan bahwa sandal jepit adalah barang khusus yang hanya dipakai di zona tertentu. Jika saat ini polisi mengimbau agar jangan berkendara dengan memakai sandal jepit, hal itu untuk mengembalikan marwah sandal jepit pada posisinya yang pas. (*)

*) PURNAWAN BASUNDORO , Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dan guru besar bidang ilmu sejarah

Topik Menarik