Idul Adha dan Teladan Nabi Ibrahim-Nabi Ismail AS

Idul Adha dan Teladan Nabi Ibrahim-Nabi Ismail AS

Nasional | jawapos | Jum'at, 8 Juli 2022 - 19:48
share

PADA hari-hari ini, saya merasakan sesuatu yang sangat berharga secara spiritual dan sosial. Bersama kaum muslimin dan muslimat dari seluruh dunia, minal masyrik ilal maghrib dari bangsa ujung timur sampai ujung barat, melakukan ibadah haji.

Bersama kami, hari-hari ini, jutaan umat Islam wukuf di Arafah. Dilanjutkan tawaf mengitari Kakbah Baitullah untuk mengikuti yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim AS dan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Momen istimewa Idul Adha juga pasti dirasakan kaum muslimin di Indonesia.

Arafah adalah sebuah bukit tempat bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa jutaan tahun yang lalu. Oleh syariat diwajibkan bagi jemaah haji untuk wukuf di sana, bermuhasabah, berzikir, dan doa.

Bersama kita jutaan umat manusia berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwah melaksanakan sai di Masjidilharam di Makkah. Itu untuk menirukan yang ribuan tahun lalu dilakukan Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, ibu Nabi Ismail AS, untuk mencarikan minuman bayinya yang kehausan dan kepanasan. Kala itu bukit tersebut adalah lautan pasir dan batu yang panas tiada tara.

Teladan Nabi dan Ibu Pejuang

Kita diminta meniru ketakwaan, kesabaran, kegigihan, dan keimanan Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS, dan Siti Hajar. Beliaulah Siti Hajar yang menemukan Sumur Zamzam yang sampai kini tak habis sumbernya. Berkat Siti Hajar yang sabar, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Di padang pasir yang panas nan tandus bisa tersembur air bersih yang sumbernya menjadi mata kehidupan umat di kala itu dan sesudahnya sampai sekarang.

Dari Nabi Ibrahim AS, yang kisah teladannya banyak tertulis dalam Alquran, kita harus belajar dari ketabahan dan kesucian hatinya dan kekuatan keimanannya. Misalnya dalam QS Al Mumthahanah ayat 4. Qat kaanat lakum, uswatun hasanantun, fii Ibroohiima walladziina maahu.

Nabi Ibrahim hidup antara 1997 sampai 1822 sebelum Masehi atau 2000-an tahun sebelum Nabi Isa AS lahir. Lahir di Mesopotamia (sekarang Iraq) dari ayah bernama Azhar, ahli pembuat patung. Sejak bayi, Nabi Ibrahim disembunyikan di gua karena ibu beliau takut ia dibunuh Raja Namrud.

Beliau dilahirkan pada masyarakat yang rusak dipimpin Namrud yang jahat dan menganggap dirinya Tuhan yang harus disembah. Setiap pesaingnya harus dibunuh. Setiap ada laki-laki lahir harus segera dibunuh. Dalam masa Namrud berkuasa, Nabi Ibrahim AS pernah dibakar hidup-hidup karena ia telah merusak arca-arca yang menjadi sesembahan saat itu.

Kemudian datang perintah Allah SWT, sebuah cobaan yang paling berat dalam sejarah hidup dan kehidupan manusia, yaitu menyembelih putranya. Kita sering mendengar sejarah tentang dialog antara beliau dan putranya, Nabi Ismail AS, dalam Alquran surah As Saffat ayat 102.

Setelah semalam datang perintah dari Allah SWT beliau mendekat dan berkata kepada putranya itu; Yaa Bunayya, inni araafil manaam, anni adzbachuka, fandzur maadza taro? (Hai Putraku Ismail, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu). Jawab Ismail, Qoola, yaa abatif al, maa tukmaru, satajidunii, insyaallahu minasshoobiriin. (Wahai Bapak, lakukanlah apa yang diperintahan Allah SWT kepadamu, insya Allah Engkau akan mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar).

Dari Siti Hajar yang tak mudah putus asa dan Nabi Ismail AS yang sabar, tawakal, serta patuh terhadap Tuhan dan patuh perintah orang tuanya, kita bisa belajar banyak. Bahkan, kita bertanya pada diri kita. Bisakah kita berbuat demikian. Orang tua demokratis, sedangkan anak patuh karena iman.

Beberapa hikmah dan teladan yang bisa kita baca, antara lain, dari orang-orang saleh dan salihah itulah membentuk keturunan yang baik. Beberapa nabi dan rasul Allah adalah keturunan Nabi Ibrahim AS, termasuk Nabi Muhammad SAW.

Teladan Keimanan yang Kukuh

Pertama, dari sejarah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, dan dari cerita derita Siti Hajar yang berjuang untuk hidup dan menghidupi putranya. Kita bisa simpulkan sebagai pembelajaran Idul Adha. Mereka sukses karena memiliki keyakinan yang benar. Mereka memiliki daya juang yang luar biasa dan tak mengeluh dengan keadaan.

Sebagaimana para nabi dan rasul, para pejuang kemerdekaan RI bukan pula orang yang suka enak-enakan dan menyalahkan keadaan. Ir Soekarno, Drs Moh. Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, KH Abdul Wahid Hasyim, H Agus Salim yang merintis kemerdekaan Indonesia bukanlah orang-orang yang suka mengeluh, menunggu, dan menggantungkan orang lain. Mereka berkali-kali gagal dalam usaha-usaha yang mulia. Kita perlu mendidik diri kita bahwa masih banyak yang harus kita kerjakan dengan baik.

Kedua, dari Siti Hajar yang tak mudah putus asa dan Nabi Ismail AS yang sabar dan tawakal dan taat kepada Tuhan dan patuh perintah orang tuanya, kita bisa simpulkan sebagai pembelajaran Idul Adha. Mereka sukses karena memiliki dan memaksimalkan kemampuan dirinya pada batas tertentu dengan diimbangi kesabaran dan ketekunan disertai doa.

Orang-orang sukses dari dulu sampai sekarang tak pernah mencapai kesuksesan dengan mudah. No pain, no gain. Ada perjuangan dan doa di sana. Bahkan, Imam Syafii RA selalu berpesan kepada kita bahwa tidak ada kenikmatan hidup tanpa bersusah payah sebelumnya.

Di bidang profesi bisnis zaman sekarang, misalnya Jack Ma dari Tiongkok dan Ye Gang dari Singapura yang menjadi salah satu orang terkaya di dunia bukanlah orang yang dapat warisan dari orang tuanya atau dapat proyek pemerintah. Namun, mereka berusaha dengan tekun dan keras membaca situasi.

Ketiga, ini yang paling penting untuk kita. Tampak nyata dalam hidup Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, dari cerita derita Siti Hajar serta para nabi dan rasul lainnya juga orang-orang saleh bahwa begitu pentingnya hubungan baik antara anak, istri, dan bapak sebagai kepala keluarga. Betapa penting pendidikan mereka. Betapa penting uswah hasanah dari orang tua. Betapa penting menanamkan nilai-nilai sejak dini. Teladan dari seorang ayah bernama Ibrahim dan seorang ibu seperti Siti Hajar adalah contoh yang baik dan doa bagi anak cucunya.

Dalam Alquran dinyatakan, adalah tugas pokok orang tua untuk menjaga keluarganya dari siksa api neraka. Quu anfusakum waahlikum naaro. Saya ingin menambahkan neraka yang dimaksud itu juga termasuk terhindar neraka di dunia. Apa neraka dunia itu? Salah satunya adalah buruknya hubungan antara anak, bapak, dan ibu. Atau kalau kita mendapati anak atau pasangan kita bukan orang yang baik.

Beruntunglah kita yang punya anak saleh dan salihah serta pasangan yang saleh dan salihah pula. Karena itu, kita harus bermuhasabah, menghitung-hitung, kalau perlu bertobat kepada Allah SWT. Juga diiringi berdoa semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dan keluarga kita termasuk keluarga yang baik pula.

Kita beristigfar kepada Allah SWT, melakukan salat Taubat, dan berjanji kepada diri sendiri untuk sekuat tenaga memperbaiki kesalahan-kesalahan. Baik kesalahan kepada Allah SWT atau memohon ampun atas kesalahan dengan orang lain, kepada anak-anak kita, kesalahan kepada istri kita yang tak kita sadari, maupun kepada orang tua kita yang membesarkan kita dengan susah payah. Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayaani shoghiro.

Teladan lain dari Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS serta Siti Hajar, kita tak usah tunduk terhadap setan yang mengatakan bahwa ada yang lebih penting dari Allah dan rasul. Kita berdoa sesungguh-sungguhnya agar tahun-tahun berikutnya adalah tahun perbaikan.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufik, hidayah, dan inayah kepada kita. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Semoga Allah SWT memelihara iman dan takwa ila yaumil qiyamah. (*)


*) KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa Timur

Topik Menarik