Aktifnya Sesar Baribis di Selatan Metropolitan Jakarta

Aktifnya Sesar Baribis di Selatan Metropolitan Jakarta

Nasional | jawapos | Senin, 27 Juni 2022 - 20:48
share

PADA 2017, konsorsium peneliti gempa di Indonesia yang tergabung dalam Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN) mengeluarkan buku yang salah satunya berisi informasi jalur sesar aktif di Indonesia. Jalur sesar itu terdiri atas sesar daratan atau crustal faults dan jalur megathrust. Di Jawa, jalur sesar Baribis-Kendeng dimulai dari Subang di Jawa Barat dan membentang ke arah timur melewati Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Semarang, Purwodadi, hingga ke Surabaya. Kalau kita melihat catatan riset yang sudah terpublikasi dalam suatu naskah ilmiah, identifikasi jalur sesar Baribis-Kendeng tidak pertama kali disampaikan oleh buku di tahun 2017 itu.

Naskah-naskah ilmiah seperti oleh Simandjuntak pada 1993, Hall dkk pada 2007, dan Clements dkk pada 2009 sudah menunjukkan kelurusan sesar di utara Jawa. Bahkan, naskah tersebut mencantumkan informasi jalur sesar Baribis-Kendeng yang bukan dimulai dari Subang, tetapi dari ujung barat Banten. Yakni, selatan Serang, ke timur menuju selatan metropolitan Jakarta, Bekasi, Purwakarta, kemudian menyambung ke Subang dan terus ke arah timur hingga Surabaya.

Artinya, ada perbedaan di antara dua hasil dari riset yang sudah dilakukan itu. Yakni, mengenai ada tidaknya sesar Baribis di selatan Serang, selatan metropolitan Jakarta, Bekasi, dan Purwakarta.

Dalam upaya peneliti sains dan teknologi kegempaan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ada tidaknya sesar aktif, geologis misalnya, dapat melakukan trenching untuk mengidentifikasi secara fisik suatu sesar. Sementara itu, geofisis dapat menggunakan data seismik dan geodetik untuk mengetahui keaktifan sesar tersebut.

Dengan menggunakan peralatan seismometer, misalnya, maka kita dapat mengetahui gempa-gempa yang terekam oleh peralatan itu. Dengan peralatan geodetik, deformasi sebagai proses aktivitas sesar tersebut dapat diamati melalui perubahan bentukan muka bumi. Dalam hal ini, salah satu peralatan geodetik yang bisa digunakan adalah global navigation satellite system (GNSS).

Dalam publikasi di Journal of Geodynamics oleh Gunawan dan Widiyantoro tahun 2019, mereka menggunakan data GNSS dari jaringan Badan Informasi Geospasial di Jawa dan menunjukkan adanya zona tekanan (compression zone) di selatan metropolitan Jakarta. Penting untuk dipahami bahwa zona tekanan itu bisa berarti setidaknya dua hal. Pertama, adanya proses tekanan di bawah permukaan suatu gunung. Misalkan sebelum gunung erupsi, maka zona tekanan itu akan terdeteksi. Artinya, sebelum erupsi bisa dalam durasi waktu yang singkat, seperti harian atau bulanan, tetapi juga dalam durasi tahunan sebelum erupsi terjadi.

Kalau kita lihat kondisi geografis di selatan metropolitan Jakarta, wilayah di mana zona tekanan itu ditunjukkan oleh Gunawan dan Widiyantoro di publikasinya, bukanlah suatu gunung aktif. Hal ini dapat diartikan bahwa interpretasi zona tekanan di selatan metropolitan Jakarta sebagai akibat aktivitas gunung api, dapat kita hilangkan. Interpretasi untuk zona tekanan kemudian akan mengerucut pada kemungkinan kedua, yaitu aktivitas sesar menaik-turun.

Aktivitas sesar menaik-turun di selatan metropolitan Jakarta itu didukung oleh analisis laju geser sebesar 5 mm/th yang dilakukan Koulali dkk yang dipublikasikan di Earth and Planetary Science Letters pada 2017. Hanya, apabila kita melihat proses pemodelan yang dilakukan Koulali dkk, laju geser sebesar 5 mm/th tersebut sepertinya overestimate. Hal itu karena mereka tidak mengikutsertakan sesar Cimandiri dalam hitungannya, serta penggunaan model reologi bumi setelah gempa Pangandaran tahun 2006 yang tidak tepat.

Dari penelitian-penelitian yang menggunakan data GNSS, baik oleh Koulali dkk maupun Gunawan dan Widiyantoro, terlihat ada informasi yang terjustifikasi secara sains perihal zona sesar Baribis di selatan metropolitan Jakarta. Untuk lebih memastikan keaktifan sesar Baribis itu, Widiyantoro dkk melakukan penelitian dengan menggunakan data seismik dari September 2020 hingga Agustus 2021 dan berhasil mendeteksi gempa-gempa mikro di Bekasi dan Purwakarta. Hasil analisis yang dilakukan Widiyantoro dkk tersebut dipublikasikan di Scientific Reports pada Juni 2022.

Yang menarik dari hasil penelitian itu adalah tidak terdeteksinya gempa mikro untuk durasi pengamatan yang dilakukan di wilayah selatan metropolitan Jakarta. Padahal, menurut Gunawan dan Widiyantoro, wilayah tersebut memiliki zona tekanan terbesar. Hal ini dapat kita interpretasikan sebagai berikut.

Pada suatu sesar aktif yang dalam tahapan pengumpulan energi, semakin sesar itu terkunci, dan energi kunciannya tidak terlepas oleh gempa, maka gempa utama yang selanjutnya akan terjadi adalah gempa besar. Karena gempa merupakan proses siklus yang mengalami perulangan, hasil penelitian-penelitian tersebut sepakat untuk satu kesimpulan utama: sesar Baribis di selatan metropolitan aktif dan saat ini dalam kondisi pengumpulan energi untuk kemudian dilepaskan dalam wujud gempa di masa yang akan datang.

Catatan sejarah kegempaan untuk gempa merusak di Jakarta, berdasar publikasi Damanik dkk tahun 2022, mereka melaporkan bahwa pada 1699 dan 1770 telah terjadi gempa merusak yang berdampak signifikan di Jakarta. Pada tahun tersebut, peralatan modern geofisika belum ada. Oleh karenanya, untuk mengetahui besarnya gempa, dapat dihitung melalui dampak yang terjadi. Misalnya, catatan tentang korban jiwa dan runtuhnya bangunan di Jakarta.

Apabila kita peduli pada potensi gempa dan berdampak terhadap metropolitan Jakarta dan sekitarnya, ada banyak hal kegiatan hulu ke hilir yang harus kita lakukan dan siapkan. Di bagian hulu, laju geser sesar itu perlu dikonfirmasi kembali. Laju geser sesar yang terakumulasi sekian tahun akan berasosiasi dengan besarnya magnitudo gempa yang bakal terjadi. Laju geser itu juga bermanfaat untuk penghitungan bahaya seismik, yang kemudian dapat digunakan untuk mendesain bangunan aman gempa.

Di bagian hilir, edukasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan. Simulasi sekiranya terjadi gempa harus dilakukan, setidaknya 1 tahun sekali. Di Jepang, misalnya, anak-anak SD sudah berlatih simulasi gempa. Di universitas, setidaknya 1 tahun sekali ada simulasi gempa. Artinya, seluruh entitas masyarakat paham bahwa ada potensi gempa yang dapat mereka alami. Mereka berlatih melalui simulasi tersebut apa yang harus dilakukan, dan dalam prosedur keamanan jelas terukur siapa mengerjakan apa.

Sekiranya simulasi-simulasi seperti itu dilakukan di seluruh entitas pendidikan dan perkantoran di seluruh wilayah zona rawan gempa di Indonesia, tentu dapat menyelamatkan nyawa kita bersama. Pada akhirnya, informasi yang komprehensif dari hulu ke hilir terkait besarnya parameter sesar aktif, potensi magnitudo gempa, hingga simulasi kebencanaan yang dilakukan merupakan wujud riil upaya pengurangan risiko bencana. Semua itu untuk menghindari kerugian ekonomi dan hilangnya nyawa manusia yang lebih besar. (*)


*) ENDRA GUNAWAN, Dosen Kelompok Keahlian Geofisika Global Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung

Topik Menarik