Mengintip Masjid Mimbar Keramat Tamiyang di Sungai Nipah Kotabaru

Mengintip Masjid Mimbar Keramat Tamiyang di Sungai Nipah Kotabaru

Nasional | apahabar.com | Minggu, 26 Juni 2022 - 12:51
share

apahabar.com, KOTABARU Masjid tua dan penuh sejarah hingga kini masih berdiri di Desa Sungai Nipah, Kelumpang Selatan, Kotabaru.

Masjid yang dijadikan tempat ibadah sekaligus bukti peradaban Islam di Bumi Sa Ijaan ini bernama Mimbar Keramat Tamiyang.

Usianya sudah menginjak ratusan tahun.

Berdasarkan penelusuran media ini, masjid tersebut berada di ujung kampung dan dikelilingi kebun kelapa sawit milik warga setempat.

Jaraknya kurang lebih 4 kilometer dari perkampungan.

Masjid berbahan kayu besi alias ulin ini dibangun sekira tahun 1112 hijriyah atau 1693 masehi.

Kepala Desa Sungai Nipah, Dwi Putranto mengatakan terdapat beberapa keunikan sekaligus keajaiban terhadap masjid tua di wilayahnya itu.

Masjid tersebut didirikan oleh sembilan orang tokoh pada zamannya.

Di antara keajaibannya ialah posisi mimbar keramatnya berada tepat di tengah-tengah masjid.

Mimbar juga masih lengkap dengan tongkat ulin asli yang digunakan khatib untuk khotbah salat Jumat.

Berdasarkan keterangan tokoh terdahulu, mimbar keramat tersebut didatangkan langsung dari Jepara dan berbahan kayu jati asli.

Bahkan menurut Dwi, mimbar yang sejak dahulu terletak di tengah masjid itu tidak bisa dipindahkan ataupun digeser oleh siapa pun.

Bagi orang yang memaksakan diri memindah mimbar selalu mendapatkan teguran seperti sakit badan.

Selain itu, tongkat khotbahnya juga memiliki keajaiban tersendiri.

Nyatanya, dahulu ada orang yang nekat mengambilnya, namun berimbas buruk bagi orang tersebut.

Dulu ada yang mengambil tongkat itu, tapi langsung muntah darah dan psikologis atau kejiwaannya menjadi kurang, kata Kades, Minggu (26/6).

Beberapa keajaiban itu membuat warga meyakini bahwa masjid tersebut memiliki karamah.

Dwi bilang masjid tersebut hingga kini masih digunakan warga untuk salat Jumat.

Sejauh ini, kondisi sebagian mimbar agak lapuk lantaran termakan usia dan tetap dipasangi kain kuning.

Sementara infrastruktur jalan dari permukiman warga menuju masjid juga dinilai kurang nyaman.

Para peziarah yang datang pun membawa kain kuning, lalu berdoa bersama dan salat di masjid tersebut.

Kalau ada orang ziarah dan minta kami datang untuk doa bersama, maka kami ke sana. Tapi, kalau salat Jumat, kami di masjid itu, pungkasnya.

Topik Menarik