Sajak Umur 60 Tahun
Sajak Umur 60 Tahun
Bianto telah pergi. Usman telah pergi. Juga Agus, Rustam, dan beberapa
teman lain juga telah pergi. Kini, mungkin tinggal Tomo. Tomo yang
seperti aku bergigi ompong. Tak bisa makan kacang atau rawon balungan.
Tomo yang gemar bersilat bahasa: Hidup hanya mampir melunasi kreditan.
Dan sore itu, aku dan Tomo ada di warung lama. Yang dijaga seseorang
yang kami panggil Dino. Seseorang yang percaya jika dulu makhluk luar
angkasa pernah turun ke bumi. Mengajari para manusia cara menaikkan
layang-layang. Makhluk luar angkasa yang kulitnya berwarna kehijauan.
Yang setelah selesai mengajari pun balik ke tempat asalnya. Ke sebutir
bintang yang jauh di ketinggian. Dan para manusia yang ditinggal pun
kerap melihat keluasan langit. Seperti melihat sesuatu yang mungkin
akan turun. Akh, kami pun ngakak, pas Dino berkisah pada bagian ini.
Sebab, kami tahu, Dino mulai ngibul. Dan kami juga tahu, ada rasa ganjil
di kibulan itu. Tapi kami tetap saja menyukainya dan terus menyukainya.
(Gresik, 2022)
Sepertinya
Aku ingin turun ke telaga itu. Tapi telaga telah kering. Menjadi lubang yang
ditumbuhi hamparan semak liar. Ada kulit ular basah di pojoknya. Kata orang,
itu kulit ular yang masih baru. Mungkin baru empat atau lima jam yang lalu.
Kulit ular pun aku korek dengan kayu. Warna sesisiknya hitam campur merah.
Mengingatkan warna langit saat magrib. Saat beburung sudah pulang ke sarang.
Dan saat, aku merasa, waktu seperti telur yang retak dan mengeluarkan apa saja
yang dikandungnya. Apa saja yang membuat dunia semakin sesak. Dan semakin
membuat setiap perenung tergila-gila pada isi surga yang beragam. Pada setiap
hal yang bebas untuk dimiliki. Sebebas ketika kali pertama sang bayi merah
perlahan merayap ke arah dada si ibu. Terus menyusu dengan kegairahan yang
tak akan pernah terjabarkan. Seperti ketakjabaran setiap penikmat teh di musim
semi yang katanya: Beginilah, ketika teh diseduh, dituang, diangkatlah cangkir
tembikar untuk segera direguk pelan-pelan, masuk ke dalam jantung nyawa yang
tak berdasar. Hmm, aku pun melihat ada yang membakar sampah di kejauhan.
(Gresik, 2022)
Alat Pemotong Rumput
: buat Hendro Siswanggono
Jantungku ditumbuhi rerumput. Yang merimbun liar
tak terduga. Maka beri aku alat pemotong rumput.
Agar dapat aku potong. Agar jelas mana setapak.
Mana juga yang mesti ditanami mawar atau keladi.
Mana juga mesti dipasangi anjang-anjang. Tempat
janda bolong menjalar mencari ketinggian. Dan
di ujung sana, tentu menegak papan lebar. Tempat
anak-anak memasang foto. Foto gunung dan
perumahan kayu. Kolam dan teratai biru.
Juga foto diri mereka dengan sepeda mungil sehabis
dicuci. Foto diri mereka yang tertawa. Sambil
tetangannya melambai. Seakan ingin menjadi para peri
yang berumah di botol-botol antik. Para peri yang
bening. Para peri yang pernah mengusung si putra
mahkota ke langit ketiga. Hanya karena ingin meneguk
sumber hujan. Dan membolak-balik seenaknya.
Di sini mesti hujan. Di sana bolehlah jika gerimis,
begitu tukas si putra mahkota.
Lalu pakde matahari yang sedikit galak. Pakde matahari
yang berwarna kuning terang. Melayang di atas mereka.
Seakan ingin melihat, betapa bahagia apa yang sedang
terjadi. Dan alat pemotong rumput pun bekerja. Pisaunya
tajam. Suaranya lembut. Dan sejam ke depan, rerumput
merimbun telah rapi. Segalanya jadi indah tiada sangka.
Sampai setiap yang melihat menukas: Sungguh, kami
pernah melihat kerapian dan keindahan rerumput
di jantung seperti ini.
Seperti ketika setiap yang ingin menyapa hanya menjawil.
Sedang, si pengintip sibuk mengutak-atik lubang kunci.
(Gresik, 2021)
MARDI LUHUNG
Lahir di Gresik. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Pada 2010 dia mendapatkan anugerah KLA dalam bidang puisi. Kumpulan cerpen pertamanya: Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011). Dan, buku puisi terakhirnya: Cumcum Pergi ke Akhirat (2017). Sementara itu, buku cerpen keduanya yang segera terbit adalah Jembatan Tak Kembali .