Sang Pembaru Dunia Wayang

Sang Pembaru Dunia Wayang

Nasional | jawapos | Minggu, 19 Juni 2022 - 06:53
share

Menurut Ki Slamet Gundono, wayang adalah konsep, bukan bentuk. Walaupun dikategorikan sebagai biografi, pembaca buku ini akan dibawa menyusuri sisi lain dari perjalanan hidup sang dalang wayang suket melalui pembacaan etnografis sang penulis.

Oleh DOEL ROHIM, Pengelola Langgar.co dan pegiat Budaya Pondok Pesantren Budaya Kaliopak

DIKENAL dengan kreasi wayang suketnya, Ki Slamet Gundono bisa dikatakan berhasil membawa angin segar bagi dunia perwayangan dengan bentuk-bentuk baru pertunjukan wayang. Yang dia pentaskan di dalam negeri hingga mendapat banyak apresiasi juga di luar negeri.

Dari hal itu, tampaknya tidak berlebihan jika Ki Slamet Gundono dikatakan sebagai pembaru dalam dunia wayang. Dengan keberaniannya, ia merombak habis-habisan pertunjukan wayang yang dulu terkesan kaku, kuno, tidak modern, bahkan cenderung monoton.

Di tangan dalang kelahiran 19 Juni 1966 di Tegal dan meninggal pada 5 Januari 2014 itu, wayang menjadi lebih segar, lentur, tetapi tidak kehilangan esensi nilai-nilainya. Tentu hal ini terkait erat dengan pemahaman Ki Slamet Gundono yang begitu luas terkait apa yang ia maknai bahwa wayang sebagai produk kesenian dan kebudayaan.

Sebagai seniman yang terlahir dari keluarga dalang dan juga menjadi mahasiswa pedalangan di ISI Surakarta (19881999), Gundono muda bisa dikatakan sangat terbuka dengan perubahan. Ia mempunyai pemahaman bahwa kesenian harus terus bergerak dinamis mengikuti arus perubahan zaman.

Soal wayang, Gundono memiliki pemahaman lain dari kebanyakan dalang pada umumnya. Menurutnya, wayang tidak lagi bisa dimaknai hanya bentuk, seperti kulit seperti halnya wayang kulit. Atau, kayu seperti halnya wayang golek.

Lebih jauh, ia memberi pemahaman baru pada khalayak bahwa wayang menurut leluhur Jawa sejatinya adalah konsep, bukan bentuk. Biarkanlah wayang menjelma menjadi apa saja, nanti wayangnya akan terbentuk sendiri. Atau, lebih dalam lagi kembangkanlah konsep apa pun tentang jagat, wayangnya dapat menggunakan apa saja (halaman 185).

Dengan pemahaman seperti itu, apa yang dilakukan Gundono dengan wayang suketnya mempunyai dasar yang kuat. Selain itu, dalam konteks ini ia tidak hanya melakukan upaya pelestarian wayang sebagai warisan identitas budaya orang Jawa.

Tetapi, lebih jauh dari itu, ia berupaya mengembangkan wayang hingga menjadi format-format baru yang relevan dengan hari ini. Sehingga perkembangan wayang sebagai produk kesenian tidak mandek, tapi berupaya terus-menerus diperbarui.

Namun, dalam banyak hal, apa yang dilakukan Gundono dalam berkarya sama sekali tidak meninggalkan identitasnya sebagai orang Tegal yang terkenal dengan bahasa Ngapak-nya. Dan, satu hal yang penting dicatat adalah identitas kesantriannya.

Hal ini bisa kita lihat dari beberapa karya musiknya yang memiliki muatan spiritual Islam yang kuat, seperti halnya yang berjudul Maca/iqra (membaca), Jimat Kalimasada Ilang, Kangen Barzanji, dan lain-lain. Bukan hanya itu, beberapa lakon pertunjukannya juga erat kaitannya dengan dunia santri dan pesantren, yaitu Kiai Muttamakin yang berkolaborasi dengan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) (halaman 232).

Keliaran kreativitas dan akselerasi kesenian Gundono yang berupaya menggabungkan berbagai unsur seni tradisi dan seni kontemporer lalu dunia seniman dan dunia santri tersebut tentu dilatarbelakangi proses yang panjang. Banyak rintangan yang mesti dihadapi Gundono, termasuk cacian dan hujatan.

Namun, Gundono tetap teguh dan terus berjalan. Hingga di masa puncak kariernya sebagai seniman, yang waktu itu tergolong masih muda, ia sudah mendapat gelar maestro wayang suket dari banyak kalangan.

Proses panjang yang berliku inilah yang coba direkam Yusuf Effendi, penulis buku biografi etnografis Ki Slamet Gundono. Dalam pengantarnya, Yusuf menulis dengan jelas bahwa Ndelalah (kebetulan) aku ketemu Mas Gundono. Dalam perjalanan yang belum selesai ini, aku merasa fase penemuan ini pas dengan umurku yang seharusnya sudah menep (mengendap) secara spiritual.

Buku ini ditulis sebenarnya tidak hanya sebagai upaya intelektual untuk merekam perjalanan hidup Ki Slamet Gundono. Tetapi, lebih dalam dari hal itu, persentuhan Yusuf Efendi dengan tinggalan karya-karya Gundono yang membuat hatinya tergetar dan secara tidak langsung mentransformasi pandangan hidupnya selama ini (halaman 5).

Karena itu, tidak salah usaha itu kemudian direalisasikan dalam bentuk penulisan buku biografi dengan menggunakan metrum macapat. Kita tahu macapat merupakan tembang atau puisi tradisional Jawa yang memiliki 11 bentuk.

Mulai maskumambang, mijil, sinom, kinanti, asmarandana, gambuh, durma, pangkur, hingga megatruh, pocung, dan sekar. Jika dipahami lebih dalam, ke-11 tembang tersebut pada dasarnya adalah fase atau proses perjalanan hidup manusia. Mulai lahir di dunia hingga meninggal. Dengan skema seperti itulah, perjalanan hidup Slamet Gundono diceritakan dengan mengalir dan subtil dalam buku biografi ini.

Walaupun dikategorikan sebagai biografi, pembaca buku ini akan dibawa menyusuri sisi lain dari perjalanan hidup Slamet Gundono melalui pembacaan etnografis sang penulis. Tidak hanya menyuguhkan cerita yang runtut dan mengalir, Yusuf juga ingin mengajak pembaca untuk memecahkan sandi-sandi tradisi yang membentuk kreativitas Gundono hingga menjadi seniman kondang. Maka, catatan kaki yang mengulas sandi-sandi tradisi bertebaran di sekujur buku ini.

Salah satu catatan kaki yang menarik, misalnya, mengulas tentang merti dusun atau sedekah bumi yang lekat dengan tradisi masyarakat Jawa, termasuk yang ada di dusun tempat tinggal Gundono. Yusuf berusaha memberi penjelasan bahwa semua tradisi tersebut memiliki satu tujuan: ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah.

Buku ini bisa jadi buku pertama yang secara komprehensif mengulas sosok seniman yang mempunyai peran penting dalam mewarnai dinamika kebudayaan di Indonesia dekade ini. Tidak ada salahnya juga jika dikatakan bahwa buku ini menjadi salah satu buku yang bisa menjadi referensi seorang seniman hari ini jika hendak meniti laku suluk seperti halnya yang dilakukan Ki Slamet Gundono. (*)


Topik Menarik