Panglima Perang Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Nikahkan Putrinya dengan Sayyid Turki Ottoman

Panglima Perang Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Nikahkan Putrinya dengan Sayyid Turki Ottoman

Nasional | republika | Kamis, 9 Juni 2022 - 03:30
share

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Konsul Turki Sayyid Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih berupa Kesultanan Ottoman pernah menempati sebuah gedung yang saat ini berusia lebih dari satu abad. Gedung yang kini menjadi Museum Tekstil tersebut hingga tahun 1950-an memiliki tanah luas di bagian belakangnya.

Konsulat Turki ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda. Sayyid Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan putri pejuang kemerdekaan Pangeran Sentot Alibasyah yang menjadi anak angkat Sultan Bengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas.

Setelah Konsul Turki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayyid Abdullah. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.

Menurut Abdullah bin Abbas Alatas, saat kakeknya, Sayyid Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan Pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini.

Abdullah juga seorang kawan dari Shaikh Mohamad Abduh, murid Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pencetus Pan Islam. Kawan dekat lainnya di luar negeri adalah Shaikh Yusuf an-Nabhani, mufti Lebanon.

Untuk itu Sayyid beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Begitu bergairahnya ia membantu gerakan Pan Islam hingga ia mengirimkan empat orang putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah dan menjadi salah satu pusat gerakan ini.


alt

Pada 1916 Sayyid menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab sekaligus sebagai pemrednya. Kakek dari mantan menlu Ali Alatas dan mantan PM Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harian Utusan Hindia, suratkabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto.

Surat kabar ini lahir sebelum Cokro mendirikan Sarikat Islam. Ia juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini didirikan. Selain itu, Sayid juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya.

Alatas School yang didirikannya di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, (kini kantor kelurahan Kebon Kacang) merupakan sebuah sekolah Islam modern pertama yang mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan Barat. Di kediamannya yang kini jadi Museum Tekstil itu juga pernah digunakan untuk Muktamar NU, seperti diungkapkan tokoh NU KH Mohamad Dachlan.

Sayyid yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) ini oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Ia memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu. Konon, ia memiliki tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas lima ribu hektar.

Di rumahnya itu ia sering kali mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Sayyid yang meninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul Khair.


Sebelum ditempati Sayyid Abdul Azis Al Musawi dan berubah fungsi menjadi Gedung Museum Tekstil, awalnya bangunan tersebut adalah rumah pribadi seorang warganegara Prancis yang dibangun pada abad ke-19. Awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Prancis setelah negeri Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte.

Kemudian orang-orang Prancis membangun rumah dan tempat peristirahatan di daerah Petamburan yang kala itu masih merupakan kawasan elit dan jauh dari pusat kota Batavia. Warga Perancis juga banyak tinggal di Batavia. Mereka membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), dan Petamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt (kawasan Prancis).

Tidak diketahui nama warga Prancis yang membangun gedung megah yang ketika baru dibangun berluas dua hektar ini. Hanya disebutkan ia adalah seorang kaya raya dan gedung ini dibangun dengan gaya Islami yang mencampurkan gaya Eropa dan Timur Tengah serta disesuaikan iklim tropis.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Rektor ITK Singgung Manusia Gurun, Teringat Humor Gus Dur Tentang Unta Hewan Gurun yang Pendendam

> Kiai Tampar Anggota Banser: Kiai Gak Dijaga Malah Gereja yang Dijaga!

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU

> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan

> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

Topik Menarik