Pancasila 42 Tahun Kemudian

Pancasila 42 Tahun Kemudian

Nasional | rm.id | Kamis, 2 Juni 2022 - 06:45
share

Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila!

Pernyataan itu dilontarkan 42 tahun lalu: 16 April 1980, di HUT Kopassus. Penyampainya: Presiden Soeharto. Lokasi: Markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), Cijantung.

Sejak saat itu, Pancasila menjadi komoditi dan isu panas. Soeharto dikritik karena dinilai keliru menafsirkan Pancasila. Soeharto juga dituding menjadikan Pancasila sebagai senjata untuk mengancam lawan politik atau membungkam suara-suara alternatif.

Tiga minggu sebelumnya, tepatnya 27 Maret 1980, Soeharto juga menyampaikan hal senada. Penguasa Orde Baru itu menyinggung Pancasila serta membawa militer untuk memihak satu kelompok.

Salah satu kalimatnya yang terus diingat di acara Rapim ABRI di Riau itu adalah, Saya meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum.

Saat itu, Soeharto sedang on fire . Rakyat dicekam ketakutan berekspresi. Kalau ada yang bersuara lain, langsung dicap anti Pancasila.

Tapi tidak bagi Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Fosko TNI-AD) yang menjadi wadah bagi para perwira senior. Mereka berani membahas persoalan tersebut, bahkan menilai pernyataan Soeharto sudah melewati batas.

Tidak sampai sebulan setelah pernyataan Soeharto mengenai Pancasila itu, pada 5 Mei 1980, sebanyak 50 tokoh militer dan sipil berkumpul.

Mereka mendiskusikan pernyataan Soeharto yang dianggap mulai meresahkan. Sejak saat itu, lahirlah Petisi 50, sebuah lembaga oposisi yang sampai saat ini masih melegenda.

42 tahun kemudian, ketika kita memperingati hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022, kita tahu dan merasakan bagaimana bangsa ini memperlakukan Pancasila. Sepertinya, bangsa ini butuh perjuangan keras untuk membumikan serta menjiwaragakan Pancasila.

Karena, kita juga tahu dengan cara apa dan bagaimana Pancasila hadir di sawah-sawah petani, di rumah-rumah keluarga miskin, sampai di ruangan ber-AC para wakil rakyat. Apakah sudah sesuai harapan?

Kita juga bertanya, bagaimana Pancasila hadir di tengah-tengah kesenjangan sosial, pengangguran, kriminalitas serta anak-anak muda yang hidup dengan cara mereka sendiri.

Kita juga bertanya, bagaimana Pancasila bisa memahami perilaku korupsi, rusaknya lingkungan hidup, eksploitasi sumber daya alam serta isu polarisasi yang kian memanas.

Jangan-jangan, dalam diri bangsa ini, benih-benih orde baru kecil sedang tumbuh subur tak terkendali, sementara di sekolah-sekolah, anak-anak terus diajarkan butir-butir Pancasila yang sakral itu.

Pancasila butuh keteladanan. Bukan hafalan. Bukan sekedar memperingatinya. Pancasila harus benar-benar menjadi pemersatu, falsafah sejati yang bisa menjauhkan bangsa ini dari jurang polarisasi, korupsi, dan banyak persoalan lainnya.

Topik Menarik