Pendidikan yang Beri Ruang Argumen dan Dialog
Pendidikan di negeri ini, terutama pendidikan formal, perlu mengakomodasi keragaman pengetahuan atau sering disebut kearifan lokal yang terserak.
MANUSIA mengalami proses pendidikan. Terlahir dengan ketidakberdayaan, namun tetap bertanggung jawab memberi makna kehidupan, membuat manusia harus terus menambah kekayaan pengamatan dan pengalaman yang sesuai dengan perkembangannya.
Karena itu, manusia dicirikan sebagai animal educandum sekaligus animal educandus, atau manusia adalah makhluk yang dididik sekaligus mendidik (Fuad Hassan, 2001). Jika ditarik ke dalam masyarakat modern, proses pendidikan juga berguna untuk mempertahankan kesatuan dan menciptakan perubahan yang ditujukan pada perbaikan mutu kehidupan serta taraf kesejahteraan.
Buku Imajinasi, Problematika, Kompleksitas Wajah Pendidikan Indonesia garapan Anggi Afriansyah ini agaknya bisa menjawab pertanyaan di atas. Bekal pengalamannya bersama LIPI (sekarang BRIN) menjadi acuan dalam penyajian potret-potret proses pendidikan di Indonesia yang kemudian dituangkan ke dalam enam bab pada buku.
Hal tersebut menjadi penting bagi kita untuk melihat, menilai, dan mengambil keputusan atas proses pendidikan, apalagi mengingat pernyataan H.A.R. Tilaar (2015) bahwa prinsip praksis pendidikan mempunyai peranan penting yang sangat strategis di dalam proses pendidikan untuk mencari dan menerapkan model yang baru berdasar pengalaman.
Pendidikan dan Kebudayaan
Kritik atas keberjalanan proses pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun datang tiada hentinya. Konon, hal tersebut terjadi karena pendidikan yang berlangsung belum bisa menjawab tantangan perubahan yang ada, relevansi pendidikan masih menimbulkan tanda tanya besar, dan kebingungan manajemennya belum juga terselesaikan.
Melihat hal tersebut, penulis menekankan perlunya melihat Indonesia sebagai Indonesia yang utuh dan kompleks, baik dari segi sosiologi maupun geografi. Ribuan pulau yang dipunyai Indonesia ini diisi beragam adat, agama, bahasa, kelas sosial, serta potensi masing-masing. Artinya, Indonesia adalah negara yang diisi keberagaman. Dalam masyarakat yang beragam ini pula, penulis meyakini bahwa begitu banyak stock of knowledge yang berserakan dan apabila dipelajari anak akan menjadi mutiara bagus. Pendidikan di negeri ini, terutama pendidikan formal, perlu mengakomodasi keragaman pengetahuan atau sering disebut kearifan lokal yang terserak tadi (halaman 11). Sejauh ini, porsi perhatian kearifan lokal sangat kurang karena penyamarataan yang terjadi dalam pembentukan komponen pendidikan yang dibutuhkan. Jadilah lazim kita temui di berbagai tempat pemosisian anak sebagai objek belaka atau meminjam istilah Paulo Freire (2018) sebagai banking education, di mana menganggap siswa adalah objek yang digarap guru, pasif, dan tak berpengetahuan. Pada gilirannya, siswa hanya dipaksa menerima, mencatat, dan menghafal pengetahuan yang dibuat terpusat jauh dari realitasnya.
Sayup-sayup, imbauan penulis tersebut mengingatkan kita pada Mohammad Sjafei, pendiri INS Kayutanam, yang pernah berwasiat bahwa ilmu yang harus dipelajari ialah ilmu yang dapat dipraktikkan terhadap materi yang ada di sekitar kita. Jika ilmu sekadar dihafal, orang itu betul akan pintar, tetapi miskin di tengah kekayaan yang melimpah-limpah (Radjab, 2020).
Tawaran yang diajukan UNESCO kurang lebih sama dengan penulis, yaitu beri ruang leluasa bagi anak untuk tetap berani menyampaikan argumen. Dorong anak untuk selalu siap berdialog. Kedepankan pembelajaran yang membuat mereka berusaha untuk menyelesaikan persoalan secara bersama. Utamakan pembiasaan dalam berkolaborasi bukan lagi berkompetisi yang berlebihan (halaman 72).
Pendidikan dan Teknologi
Terakhir, perihal teknologi dan perkembangannya yang seolah hari ini mengikat erat kehidupan kita juga menjadi tantangan baru. Dalih modernisasi pendidikan jangan sampai melupakan dua aspek penting yang disampaikan penulis di sini. Pertama, pemanfaat teknologi perlu ditopang infrastruktur yang memadai seperti listrik dan internet. Kedua, kurikulum secanggih apa pun tidak akan berjalan jika tidak ditopang para guru yang menyebarluaskannya di ruang kelas secara optimal (halaman 96).
Untuk aspek pertama, belum semua daerah memiliki infrastruktur yang memadai seperti temuan penulis di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, yang beberapa sekolah di situ mendapat sumbangan komputer dari pemerintah, namun sayang harus mangkrak karena akses listrik yang tidak memadai. Aspek kedua, guru sebagai garda terdepan dalam implementasi kurikulum perlu diperhatikan kapasitas dan kapabilitasnya. Kurikulum yang diolah dan ditetapkan terpusat lagi-lagi acap kali melupakan keragaman yang ada. Menyamaratakan standar adalah kesalahan besar dalam situasi kompleksnya persoalan pendidikan di negeri ini (halaman 14).
Memang agaknya sebuah kemustahilan menghapuskan sama sekali permasalahan pendidikan yang ada. Juga tidaklah mudah mencari serta menerapkan model pendidikan ideal seperti yang kita imajinasikan bersama. Namun, perlu kita tahu bersama bahwa perbaikan pendidikan bukanlah tugas dari satu atau beberapa orang saja, tapi kita semua. Hadirnya buku ini penting untuk membantu memahami kompleksitas pendidikan yang ada, syukur-syukur membantu kita andil dalam perbaikannya. (*)
*) AHMAD KURNIA SIDIK , Penulis, tinggal di Solo










