Konsep Arsitekturnya Berpihak pada Rakyat Bawah

Konsep Arsitekturnya Berpihak pada Rakyat Bawah

Nasional | radarjogja | Minggu, 15 Mei 2022 - 08:50
share

RADAR JOGJA YB Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun merupakan seorang imam Gereja Katholik Roma, budayawan, arsitek, penulis, aktivis sosial. Bahkan masyhur akan aksinya sebagai pembela rakyat bawah.
Ia sempat mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama satu tahun dan melanjutkan studinya ke Jerman. Setelah menamatkan pendidikannya, ia lantas menjadi pastor. Bahkan Romo Mangun dikenal sebagai pastor arsitek.

Menurut Ani Hastuti Arthasari, dosen Prodi Arsitektur Universitas Amikom Yogyakarta, nama Romo Mangun memang terkenal sebagai tokoh arsitektur yang memiliki prinsip atau idealis sendiri. Bahkan ia yang pernah menjadi dosen arsitektur di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, memilih berhenti dan melanjutkan konsepnya sendiri dengan konsep arsitektur yang berpihak pada rakyat bawah.

Hal itu selaras dengan konsep layanan sesuai agama yang dianut kepada umatnya. Sehingga ada keterkaitan antara konsep agamanya dengan konsep yang dibawanya. Artha menyebut, konsep itulah yang membawa Romo Mangun berkarya dalam bidang arsitektur untuk kalangan bawah.

Tak hanya itu, dalam proses Romo Mangun merancang serta melaksanakan rancangan pembangunan arsitekturnya, ada hal yang bisa dipelajari. Saya kira yang membuat beliau terkenal bukan karena arsiteknya, tapi beliau memiliki prinsip yang bisa dibilang berpihak pada kaum miskin, ujarnya saat dihubungi Radar Jogja (13/5).

Kiprahnya di dunia arsitektur, menjadikan karya Romo Mangun kerap digunakan sebagai contoh para dosen arsitektur untuk mengajar mahasiswanya. Seperti halnya dengan Artha. Dia kerap memberikan contoh pada mata kuliah arsitektur rakyat, yang notabene memberikan pemahaman kepada mahasiswa terkait keberpihakan seorang arsitek kepada rakyat. Karena proses keberpihakan rakyat bukan hanya milik klien yang mampu membayar.

Pada mata kuliah itu, kata dia, terdapat pembahasan mengenai participatory architecture maupun humanitarian architecture. Menurutnya, karya-karya Romo Mangun dan bagaimana dia menciptakan karya arsitekturalnya, dapat dianggap mewakili dari konsep humanitarian architecture dan masuk pada prinsip arsitektur partisipatoris.

Pada konsep arsitektur partisipatoris, karya yang digunakan contoh adalah terkait rencana pembangunan greenfield atau jalur hijau di sepanjang Kali Code. Artinya, dengan adanya pembangunan tersebut, akan terjadi pembebasan lahan sekitar 40 meter dari sisi kanan dan kiri Kali Code. Selain itu juga harus menggusur permukiman yang ada.

Namun, pembangunan itu urung dilakukan lantaran ada upaya dan keberpihakan Romo Mangun agar tidak digusur. Justru dia ikut tinggal di pinggir Kali Code, mendampingi anak-anak, dan menjalin kedekatan dengan warga. Sehingga mereka ikut berpartisipasi agar wilayahnya semakin menjadi baik.

Dosen Prodi Arsitektur Universitas Amikom Jogjakarta Ani Hastuti Arthasari.(ISTIMEWA)

Pendekatannya itu tidak semata-mata pendekatan ruang, tapi juga pendekatan sosial dan budaya. Romo Mangun juga mencoba untuk menghilangkan apa yang menjadi penyakit masyarakat. Beliau memiliki istilah sendiri, yaitu trilogi bahwa ketika ada kemiskinan, bisa jadi dekat dengan kriminalitas dan pelacuran. Itulah yang beliau coba untuk dihilangkan dari kawasan Kali Code pada waktu itu, papar Artha.

Pendekatan itulah yang disebut pendekatan arsitektur partisipatoris. Pasalnya, Romo Mangun mengajak partisipasi warga yang ada di Kali Code untuk membangun dan memperbaiki wilayahnya sendiri. Dari sisi permukiman pun diperbaiki. Yang sebelumnya terkenal sebagai kawasan kumuh, dibangun dengan kardus bekas, sampah, hingga bambu, kemudian ditata dan dicat.

Perjuangan Romo Mangun mempertahankan kawasan Kali Code-lah yang kerap diceritakan kepada mahasiswa. Terutama mengenai arsitek tidak hanya berprinsip atau mendedikasikan karyanya kepada klien yang memang berkontrak atau memiliki uang, tapi juga kaum bawah.

Jadi, karya beliau sering kami jadikan contoh ketika memberikan gambaran bagaimana arsitektur partisipatoris itu berjalan dan humanitarian architecture kepada mahasiswa, tandasnya.

Artha menambahkan, Romo Mangun juga menulis beberapa buku yang sering digunakan sebagai rujukan. Seperti satu bukunya yang berjudul Wastu Citra. Dalam bukunya, Romo Mangun menulis, filosofi arsitektur tidak hanya melihat dari sisi fungsional saja, tetapi juga melihat dari tinjauan makna yang harus dimasukkan dalam karya arsitektur.

Bisa dikatakan, nantinya, jika tinjauan makna dimasukkan, karya arsitekturnya akan selaras dengan alam, bahkan kosmos. Bisa mempunyai jiwa spiritualisme, tidak hanya materialis semata. Biasanya, seorang arsitek dalam mengolah ruang bersifat informatif. Namun, Romo Mangun mencoba untuk mengolah ruang yang bersifat transformatif.

Dia menambahkan, ciri karya Romo Mangun biasanya menggunakan metode blackbox. Dari metode perancangannya sendiri, seringkali bersamaan dengan proses membangunnya. Umumnya, arsitek akan merancang bangunan dengan gambar kerja, perhitungan biaya, dan pembangunan berdasarkan timeline tertentu.

Artha menyebut, seringkali Romo Mangun tidak mempunyai gambaran banguna secara utuh. Ia hanya membuat sketsa awal, sedangkan penerapan detailnya dijalankan sewaktu pelaksanaan. Artinya, terkadang karyanya tidak dapat dirunut, mengapa akhirnya mendapati bentuk yang semacam itu. Itulah yang menjadi ciri metode perancangan beliau, jelasnya.

Jadi, ada tiga pendekatan yang diterapkan oleh Romo Mangun. Pertama, ketika merancang, rancangannya adalah Romo Mangun sendiri dengan proses intuisinya. Kedua, ia bersama dengan kliennya mengatur gambar kerja di tempatnya langsung. Ketiga, berdiskusi dengan pekerja.
Sehingga Romo Mangun tidak memiliki gambaran bangunannya secara utuh. Kadang gambarnya juga di tanah. Jadi, sak ketemune untuk coret-coretan itu beliau lakukan untuk menggambarkan ini mau diapakan, sambungnya.
Konsep besarnya, kata Artha, Romo Mangun lebih banyak menggunakan sketsa ketimbang gambar kerja. Itulah yang membuat pelaksanaannya terkadang membutuhkan banyak waktu lantaran ketika sudah dibangun, kemudian dilihat kembali, bisa jadi ada perubahan saat pelaksanaan. Kendati demikian, hasilnya justru sesuai dengan apa yang diharapkan.

Menurut Artha, hasil karya Romo Mangun memiliki jiwa. Tidak hanya menggambarkan ruang mati saja, tetapi juga mencerminkan siapa yang tinggal di situ serta menjalin kedekatan dengan yang akan menggunakan bangunan itu.
Untuk ciri visual, bangunan karya Romo Mangun tidak ada yang tinggi atau high rise building. Sedangkan dari sisi material, ia kerap menggunakan material lokal yang mudah didapatkan di sekitar lokasi pelaksanaan bangunan. Di situ banyak bambu atau batu kali, ya digunakan. Tidak harus mendatangkan baja dari daerah luar, ujarnya. (aya/laz)

Topik Menarik