Rumah (Te)tangga

Rumah (Te)tangga

Nasional | jawapos | Minggu, 15 Mei 2022 - 06:18
share

No 527

Ia melempar bungkus rokok setelah meloloskannya satu lantas membakarnya, mengisapnya dengan cepat dan mengembuskannya dengan cepat pula. Seperti ada yang memburunya, mungkin masa depan yang sedemikian abstrak di kepalanya.

Bukan, aku bukan pendongeng. Aku sedang menceritakan seseorang yang berada di depanku. Seluruh hantu kenangan di tubuhku kerap mengganggunya setelah kami resmi menikah, seperti dibangkitkan dari kubur masa lalu, lalu gentayangan di kepalanya. Tapi masa depan ternyata lebih dari itu bukan hanya membuatnya makin gila, namun rumah tangga kami nyaris remuk di bulan empat belas.

Betapa kami nyaris gila ketika kapal rumah tangga kami baru berlayar, satu pukulan ombak membuat kami hampir terlempar. Tentu sebagai pelayar, kami baru, kami sepakat kamilah pemegang nakhodanya. Kami tidak mempersoalkan gender tentang siapa yang akan menjadi kapten. Kami dibesarkan di tengah gempuran arus informasi dan kebebasan berpikir. Kami tidak mempersoalkan siapa yang memasak dan siapa yang mencuci dan siapa yang bekerja. Lebih-lebih aku yang tak ingin merepotkannya hanya untuk membuatkan segelas kopi. Lagi pula aku sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Meski tak dapat kumungkiri lain rasanya ketika sekali waktu ia membuatkannya untukku. Tapi aku segera menepisnya, khawatir hantu-hantu patriarki datang menyurupi rumah tangga kami. Sekali lagi kami manusia modern, selamat tinggal dominasi.

Ia masih diam dengan rokok yang hampir habis. Sesekali ia melihat ke arahku, aku merasa tak enak jika ia memandangku. Tak enak, sebab tahu bahwa memang aku belum becus benar untuk membahagiakannya tepatnya sesuai apa yang diharapkannya. Bukannya kami menikah sesuai harapan bersama? Sebelum menikah memang harapan menjadi milik bersama, setelah menikah harapan bisa milik siapa pun.

Memang kami sudah sepakat untuk saling mengerti dan percaya sejak awal kami memutuskan untuk menikah. Ia tahu aku masih mahasiswa tingkat akhir jurusan bimbingan konseling, dan ia sendiri baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan pendidikan bahasa Inggris. Kami dipertemukan pada acara pemotretan di Kelas Minggu Sore. Kebetulan aku mengikuti Kelas Minggu Sore, yaitu kelas bagi orang-orang yang belajar fotografi. Pada acara tersebut kali pertama aku bertemu dengannya, berkenalan, mengobrol, hingga kemudian kami merasa menemukan kecocokan. Kami sering berjalan bersama sambil membicarakan banyak hal, bertukar pikiran, membicarakan ide dan bagaimana gambar berbicara jika dibidik dari sudut yang tepat. Setahun kami berjalan bersama hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.

Keputusan kami menikah secara tak langsung mengubah ritme hidup kami. Istriku bekerja sebagai sales salah satu produk minuman, kadang juga ia menerima job pemotretan. Sementara aku, selain mahasiswa tingkat akhir, kadang sesekali menerima job untuk motret di acara pernikahan.

Di sini aku tidak sedang membicarakan rumah tangga orang lain yang sakinah, mawadah, warahmah. Aku sedang membicarakan bagaimana kenyataan menimpa kami. Beberapa teman menyarankan untuk bertobat dan berumah tangga berdasar jalan Tuhan. Kami kerap dituduh liberal terkait cara pandang kami. Tapi sekali lagi, ini adalah persoalan kami yang mungkin bagi kebanyakan orang percaya bahwa quote-quote atau buku-buku how to bisa mengubah kami. Sementara masalah lahir bukan dari rumah tangga yang baik-baik saja.

Ia mematikan rokoknya, kemudian meloloskannya kembali dan membakarnya. Ia masih belum bicara. Aku masih diam sambil terus merenungi kejadian semacam ini yang kerap berulang jika kondisi ekonomi kami memburuk. Lalu bagaimana dengan komitmen ketika awal kami berkasih-kasihan sebelum menikah? Ke mana nekat kami yang dulu siap menanggung segala risiko dan kekurangan masing-masing? Harapan-harapan itu, keyakinan teguh itu, mendadak hilang. Entah ke mana. Mungkin setan telah mengambilnya.

Kamu menyesal kan nikah sama aku?! Ia meradang. Aku tidak menggubrisnya, Bisanya cuma diam. Nggak bisa ngapa-ngapain. Katanya mau membahagiakan aku. Emang kamu nggak bisa diandalin.

Aku mulai khawatir, ketika emosi menguasai kepala, banyak hal menyakitkan keluar dari mulutnya. Dalam situasi semacam ini, salah satu dari kami harus bisa mengontrol keadaan. Kalau tidak, semua jadi buyar, lepas kendali, bisa tambah riwayat sakit hati dan trauma. Padahal masalah yang dihadapi tak sebanding dengan akibat dari emosi yang tak terkendali.

Katanya cinta, mana? Buktiin dong kalau memang cinta. Bahagiain aku. Cuma modal ngomong doang mah semua bisa. Cinta juga butuh ongkos, katanya lagi, kemudian menjentikkan abu rokok ke asbak. Aku masih diam. Sengaja tidak menanggapinya.

Benar memang, kita harus bekerja sama karena kita setara. Tapi hal itu butuh pemahaman mengenai posisi dan profesi partner kita. Karena jika tidak demikian, akhirnya saling menyalahkan. Sebetulnya aku sangat ingin mengatakan padanya, kenapa sudah hampir enam bulan ini ia enggan bercinta denganku. Bukan hanya enam bulan ini, bahkan sebelumnya pun seks kami tidaklah sehat. Dalam enam bulan ini bisa dihitung dengan jari, sementara normalnya secara medis empat kali dalam seminggu, itu pun jika konsisten mengikut sebagai generasi pemuja akal sehat. Tapi aku pun tidak bisa memaksanya karena itu bertentangan dengan ideologi kami. Kami setara, bercinta atas dasar suka sama suka. Tapi dalam situasi seperti ini betapa tersiksanya bahwa aku harus mengakhiri berahiku pada segumpal tisu dan video porno. Pernah terlintas ingin menyewa PSK, tapi takut terkena penyakit kelamin. Mau selingkuh, khawatir malah tambah masalah. Mau bercerai rasanya berat. Sejujurnya ini situasi yang rumit. Aku tidak tahu letak kesalahan kami di mana. Padahal sebelum menikah kami sudah berkomitmen, berpikir matang, dan penuh rencana. Tapi dalam praktik, semua berubah.

Aslinya kamu nggak cinta kan sama aku? Makanya kamu nggak kerja keras mati-matian untuk bahagiain aku. Iya kan?

Kalau sudah begini repot. Cinta dan tidak cinta diukur dari persepsinya mengenai kerja keras. Terus terang aku tidak bisa menjawabnya, terlebih dalam kondisi yang pelik. Ia kerap menyalahkan dirinya sendiri jika emosinya sudah tidak terkontrol dan debat kami sudah tidak menemukan jalan keluar. Kalau sudah begitu ia kerap menjelek-jelekkan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang pelacur, padahal bukan pelacur. Ia sering menjelek-jelekkan dirinya sendiri kalau ia yang selalu salah, padahal berdiskusi bukan soal salah dan benar, tapi soal kami berdua sama sepakat. Aku khawatir masalah rumah tangga merembet ke masalah rumah tetangga. Hal itu aku sadari justru ketika mendengar pertengkaran tetangga. Kami sering mendengar suara pintu dibanting, pekikan suara, tangisan, atau ujaran-ujaran yang sampai pada telinga kami, seperti Aku capek, Mas. Kamu sibuk dengan dirimu sendiri. Atau Kita itu nggak cocok, nggak bisa dipaksain. Sejujurnya aku tidak mau tahu mengenai masalah rumah tangga orang, tapi karena kerap mendengar dan kami pun mengalami masalah rumah tangga, akhirnya aku mulai menganalisis persoalan mereka dan membandingkannya dengan kami.

Secara ekonomi mereka lebih dari cukup. Mereka mempunyai dua mobil dan rumah dua lantai yang lumayan besar. Mereka mempunyai dua anak yang lucu-lucu, anak pertama berusia sekitar delapan tahun, anak kedua sekitar empat tahun. Sementara kami, rumah pun masih mengontrak, pendapatan belum jelas, masa depan masih remang-remang. Jadi, sebenarnya apa masalah rumah tangga setiap orang? Apakah masalah akan mencari letak lemahnya rumah tangga, kemudian ia masuk dan mengobrak-abriknya? Ini bukan lagi soal cinta, ini lebih dari itu. Jika rumah tangga mengacu pada cinta, tentu tak akan banyak perceraian. Jadi, apa sebenarnya masalah rumah tangga setiap orang?

Makanya nggak usah sering ngobral cinta, cinta, cinta. Buktinya bahagiain orang yang kamu cintai saja nggak bisa. Makan tuh cinta, tandasnya. Lalu masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.

No 528

Sudah tiga kiai yang kami datangi sejak sembilan tahun tak ada pintu keluar bagi rumah tangga kami. Berbagai upaya sudah kami lakukan, kami sering menjadwalkan liburan untuk membangkitkan rasa cinta kami, pergi ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, dinner, kamping, dan banyak hal sudah kami lakukan. Seperti pepatah Jawa yang kerap dikatakan orang tua kami, witing tresna jalaran saka kulina. Tidak cinta kok punya dua anak, hehehe, celetuk ayah saya suatu kali kepada kami. Artinya, lambat laun perasaan cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya, seperti yang sudah terjadi sebelumnya pada orang tua kami. Atas dasar itulah orang tua kami menjodohkan kami. Di zaman sekarang ini memang terdengar aneh, tapi nyatanya hal demikian terjadi pada kami. Bukan pula orang tua kami memaksa seperti yang terjadi pada film-film kebanyakan. Tapi lantaran kami tak tega melihat orang tua kami kecewa dan kami meyakini pepatah Jawa itu, akhirnya kami mengiyakan pernikahan ini.

Sebagai seorang suami, ia tertib menjalani apa yang disyariatkan agama. Namun ia tidaklah kaku. Bahkan ia sering mencuci pakaian saya dan anak-anak. Ia tahu ketika itu saya dalam kondisi lelah pulang kerja, anak-anak saya titipkan mertua, kadang juga orang tua saya. Kebetulan dari pihak suami punya usaha keluarga. Kami punya lima minimarket yang tersebar di kota ini dan aku sendiri manajer salah satu minimarket itu yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Saya pernah bertanya pada suami, kenapa kamu mau bahkan sering mencuci pakaian saya dan anak-anak? Ia menjawab, mencontoh Rasulullah. Saya hanya tertegun, saya belum mendengar riwayat mengenai Rasulullah mencuci pakaian. Tapi saya balikkan padanya dan saya bilang, Enak saja nyama-nyamain sama Rasulullah, kamu mah enak ada mesin cuci, tinggal muter-muter doang. Ia hanya mesam-mesem.

Keluarga kami termasuk keluarga yang religius tapi njawani. Keluarga kami tidak setuju soal pacaran, sebab itu bisa berdampak buruk bagi psikologis, terlebih pemikiran orang sekarang sudah aneh-aneh. Wong Jawa wis ilang Jawane. Keminter, wis ilang tata kramane. Kemerdekaan perempuan dirayakan dengan memamerkan bokong dan susu.

Perempuan lebih hebat dari laki-laki, bukan setara. Bodoh, sekarang malah meminta setara. Jika ada masalah dengan pasangan, berarti yang bermasalah pasangannya atau keduanya memang bermasalah. Sebab gagalnya rumah tangga atau hubungan kerap berdampak pada psikologis yang sakit, akhirnya membawa pada pemikiran yang aneh-aneh. Kami sering mendengar pertengkaran dari tetangga kami, bahkan kami takut, khawatir terjadi hal yang tidak-tidak. Sering kami dengar si perempuan kerap mengatakan dirinya PSK dengan suara yang keras, padahal itu aib keluarga mereka. Seharusnya mereka simpan sendiri. Dan hal itu mereka lakukan berulang-ulang jika mereka sedang bertengkar. Mereka mengontrak rumah sudah sekitar setahun ini. Kami tidak tahu kerja suaminya apa, yang jelas istrinya kerap mengeluhkan soal uang dan mengumpat dengan mengatakan, Cinta tai kucing. Kesimpulan kami, si laki-laki seorang penganggur. Tapi anehnya kenapa si perempuan mau menikah dengan seorang penganggur dan cinta yang tai kucing itu.

Semula memang saya percaya cinta bisa terbentuk seiring dengan berjalannya waktu, tapi setelah sembilan tahun pernikahan, kami mulai tidak percaya. Artinya, pepatah itu berlaku bagi pasangan-pasangan tertentu, bukan kami. Segala upaya kami lakukan, hasilnya nihil. Rasanya hidup kami hampa. Tapi kami berusaha dengan keras kepala mempertahankan rumah tangga kami. Kami terus berdoa agar Tuhan menaruh cinta di hati kami. Kami juga kerap meminta doa pada kiai-kiai. Tapi beberapa kiai justru menasihati kami agar kami kembali ke rumah dan beraktivitas seperti biasanya. Kami berdua sempat menjalankan nasihat mereka, tapi rasa cinta belum juga tumbuh di hati kami.

Akhirnya setelah kami berdiskusi cukup lama, kami memutuskan untuk memesantrenkan anak kami yang pertama, dan kami bertiga menyewa satu petak tanah berukuran 70 meter di dekat pesantren tempat anak kami nyantri. Saya sendiri ikut program tahfiz di pesantren itu, begitu juga suami saya. Semua pekerjaan minimarket kami serahkan kepada keluarga dari pihak suami. Keperluan hidup dan lain-lain kami ambil dari tabungan. Semua ini kami lakukan sebagai upaya atau jalan menemukan cinta dari Yang Mahacinta. Kami tidak tahu berapa lama kami akan tinggal. Mungkin sampai Tuhan meniupkan cinta di hati kami. (*)

Jogja, 2022


Kedung Darma Romansha

Kelahiran Indramayu. Ia bersama kawan-kawan muda Indramayu mendirikan komunitas Jamaah Telembukiyah yang bergerak di bidang sastra dan sosial. Sekarang sedang menyiapkan buku puisi terbarunya yang berjudul Tarling Dangdut Diva Pantura (JBS, 2022).

Topik Menarik