Pewarna Alami Miliki Prospek Cerah di Pasaran Global

Pewarna Alami Miliki Prospek Cerah di Pasaran Global

Nasional | republika | Rabu, 11 Mei 2022 - 10:32
share

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Pewarna alami memiliki prospek global yang sangat cerah. Berdasarkan researchandmarket.com (2019), pasar pewarna alami global diperkirakan akan menghasilkan pendapatan sekitar US$ 5 miliar (sekitar Rp 70 triliun) pada tahun 2024. Pertumbuhan rara-rata per tahun antara 2018-2024 sebesar 11 persen.

Hal itu diungkapkan Prof Dr Ir Edia Rahayuningsih, MS, IPU, dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Bidang Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM, Selasa (10/5/2022). Edia mengangkat judul \' Menghidupkan Kembali (Revival) Pewarna Alami Nusantara untuk Membangun Kedaulatan Bangsa dalam Pewarna Alami.\'

Peningkatan permintaan pewarna alami ini dipengaruhi jumlah konsumen yang sadar lingkungan. Mereka menggunakan pewarna alami untuk pakaian, makanan, minuman, produk kecantikan, kesehatan & kebugaran, dan produk obat-obatan di pasar Amerika Utara.

"Meningkatnya perhatian publik terhadap pewarna alami dan adanya peraturan pemerintah yang ketat tentang lingkungan serta polusi mendorong penggunaan pewarna alami di pasar global," kata Edia Rahayuningsih.

Pewarna alami, jelas Edia, telah digunakan sejak awal peradaban manusia. Saat ini pewarna alami kembali banyak digunakan diindustri makanan, fashion, tekstil, farmasi, kosmetik dan kesehatan. Pewarna alami disukai karena keunggulannya, antara lain aman, renewable dan biodegradable.

Selain itu, prospek penggunaan kembali ke pewarna alami di ranah global sesuai dengan beberapa semboyan yang ada. Di antaranya, go back to nature, slow fashion, go green, eco green, dan sebagainya. Tak hanya itu, penggunaan kembali pewarna alami sejalan dengan isu Sustainable Development Goals (SDGs).

Meskipun permintaan pewarna alami di pasar global meningkat pesat, Namun Edia menyebutkan produsen tradisional tidak mungkin akan bisa menjangkau pasar global. Karena itu, sejumlah inovasi dalam produksi dan rantai pasok diperlukan agar bisa membawa produk pewarna alami dari produsen tradisional bisa menembus pasar global. Di samping itu, kebijakan mengarusutamakan penggunaan pewarna alami juga diperlukan untuk mendorong tumbuhnya pasar di dalam negeri.

"Saat ini pemenuhan kebutuhan zat warna untuk industri tekstil di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan impor. Data Badan Pusat Statistik tahun 2021, rerata impor zat warna sintetik selama lima tahun terakhir mencapai lebih dari 42.000 ton/tahun," kata Edia.

Indonesia, jelas Edia, memiliki budaya warisan adiluhung penggunaan pewarna alami yang aman dan senyawa yang terkandung bermanfaat bagi tubuh. Indonesia juga memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang merupakan bahan baku pembuat zat warna alami. Sehingga Indonesia pernah menjadi penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia pada saat penjajahan Belanda dari tahun 1602 - 1942. Saat ini, ada 150 jenis pewarna alami di Indonesia yang telah diidentifikasi

"Sumber bahan baku pewarna alami di Indonesia luar biasa melimpah. Namun begitu, saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas hanya oleh beberapa pengrajin batik, jumputan, ulos, tenun, dan kerajinan lainnya," kata Edia yang juga Ketua Indonesia Natural Dye Institute (INDI) UGM ini.

Edia mengatakan Indonesia memiliki potensi, prospek, dan peluang pewarna alami yang sangat besar. Namun, pada kenyataanya kondisi yang ada kontras dengan produksi dan aplikasi pewarna alami di Indonesia. "Apabila mendengar kata pewarna alami biasanya yang muncul dalam benak kita berkaitan dengan tradisional, sederhana, kecil, berkualitas rendah, tidak praktis, sulit diperoleh, dan sebagainya," ujarnya.

Edia mengatakan banyak tantangan hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial dan teraplikasikan dalam masyarakat. Kondisi ini sering diilustrasikan dengan adanya lembah kematian yang memisahkan antara hasil penelitian dan produk komersil.

Agar bisa menyeberangi lembah kematian tersebut diperlukan kerjasama mutualistik dari berbagai pihak, yaitu akademisi, komunitas wirausaha, pengusaha, dan pemerintah. Selain empat elemen tersebut, pada saat ini keberadaan media juga sangat berperan dalam usaha hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial.

Menurut Edia, sinergi pentahelik sangat diperlukan untuk dapat melewati valley of death tersebut. Usaha yang perlu dilakukan dalam sinergi tersebut mencakup pembangunan rantai pasok dari hulu sampai hilir, memperkuat kerjasama mutualistik antara produsen, konsumen, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat, serta membangun kesadaran penggunaan kembali pewarna alami.

Selanjutnya, akselerasi penggunaan pewarna alami sebagai produk berbasis kearifan lokal, kompetitif, dan berkelanjutan. Serta kebijakan untuk mengarusutamakan penggunaan pewarna alami di dalam negeri dan mengurangi impor pewarna sintetis yang sangat besar sampai saat ini.

Sehingga Indonesia tidak lagi menjadi pasar pewarna sintetis yang sebenarnya telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1994 karena bersifat karsinogen. Selanjutnya cita-cita mulia terbangunnya generasi sehat dan kedaulatan bangsa dalam pewarna alami dapat terwujud.

Untuk menghidupkan lagi pewarna alami UGM mendirikan Institut Pewarna Alami Indonesia atau Indonesia Natural Dye Institute Universitas Gadjah Mada (INDI-UGM). Lembaga ini merupakan grup riset multidisiplin dalam bidang pewarna alami di UGM.

Beberapa penelitan telah dilakukan sejak tahun 2003 yakni budidaya tanaman, teknologi produksi, teknologi aplikasi pewarnaan, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada tahun 2021 INDI UGM memantapkan kelembagaannya dengan menjadi Pusat Unggulan IPTEKS Perguruan Tinggi Orientasi Produk (PUI-PTOP) Pewarna Alami di Indonesia. (*)

Topik Menarik