Abaikan Prudential Banking Pendanaan Tambang Batubara, Direksi BNI Berpotensi Terjerat Pidana

Abaikan Prudential Banking Pendanaan Tambang Batubara, Direksi BNI Berpotensi Terjerat Pidana

Nasional | reqnews.com | Rabu, 11 Mei 2022 - 06:05
share

JAKARTA, REQnews - Industri perbankan Indonesia saat ini dinilai belum berkomitmen mengimplementasikan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Pasalnya masih banyak lembaga keuangan yang menyalurkan kredit ke energi kotor batubara, salah satunya PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI.

Berdasarkan studi dari lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), BNI tercatat saat ini masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. BNI diduga mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.

Pakar Hukum Bisnis dari Universitas Airlangga Prof Budi Kagramanto mengatakan sebelum bank pelat merah memberikan pendanaan kepada industri pertambangan untuk pengembangan bisnis, seharusnya ditopang dengan wawasan ramah lingkungan.

"Ingat banyak dampak akibat pendanaan ini, akhirnya menimbulkan masalah lingkungan yang buruk bagi masyarakat," kata Prof Budi kepada REQnews.com, Selasa 10 Mei 2022.

Padahal, pemerintah berkomitmen mewujudkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang untuk keberlanjutan lingkungan hidup. Hal ini menurut Prof Budi, harusnya menjadi acuan yang diutamakan oleh bank-bank negara.

Ia berkata, perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman, apalagi kepada perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Selektif dimaksud, adalah memperhatikan prinsip kehati-hatian atau prudential banking dalam UU Perbankan, yang kemudian memuat aspek 5C, yakni Character (Watak), Capacity (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), dan Condition of Economy (Kondisi Perekonomian).

"Sekalipun, prinsip kehati-hatian dipenuhi, namun bank juga harus melihat dampak panjangnya bagaimana. Makanya harus selektif, agar tidak bertabrakan dengan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup," ujar Prof Budi.

Ia menuturkan, sudah ada aturan dari Komite Basel untuk Pengawasan Perbankan (Banking Committee of Banking Supervisi/BCBS) terkait dengan keuangan berkelanjutan untuk lingkungan hidup. Namun, penerapannya dinilai masih belum optimal dijalankan oleh industri perbankan secara global.

Terkait pendanaan kepada perusahaan tambang, Prof Budi mempertanyakan sudah sejauh apa pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagai lembaga negara yang melaksanakan pengawasan sektor industri keuangan, OJK haruslah menyusun regulasi yang sejalan dengan aturan-aturan lain secara global, termasuk terkait perbankan untuk keberlangsungan lingkungan hidup.

"Karena tugasnya pengawas, maka harus tetap ikut program pemerintah. Perbankan juga harus menyesuaikan dengan keinginan Indonesia di masa depan, dan OJK otomatis harus menyesuaikan. Ini harus terintegrasi dan berkesinambungan, gak bisa bikin aturan sendiri-sendiri, terutama ketegasan pada perbankan yang memberikan pendanaan perusahaan tambang yang berpotensi menimbulkan gangguan pada lingkungan hidup," ucap Prof Budi.

Lebih lanjut, munculnya dugaan pemberian pinjaman dana tanpa agunan dari bank BUMN seperti BNI kepada perusahaan tambang batubara, Prof Budi melihatnya sebagai sebuah masalah besar.

Baginya, agunan adalah sebuah kewajiban, merujuk pada aspek-aspek 5C dan prinsip kehati-hatian dalam UU Perbankan. Apalagi, debiturnya merupakan perusahaan tambang dengan segala risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. "Ya gak boleh begitu. Apalagi untuk pendanaan proyek besar di industri tambang. Tetap harus pakai agunan. Menurut saya tidak boleh, karena ini menyangkut kerusakan lingkungan hidup. Jangan sampai dana cair tanpa agunan disetujui begitu saja," ujar Prof Budi.

Ia menegaskan, jika ada pemberian pembiayaan tanpa agunan, terutama ke industri tambang, maka berpotensi melanggar hukum, khususnya UU Perbankan, pada aspek-aspek 5C, khususnya Collateral (Agunan).

Selain itu, Prof Budi juga menyorot begitu sedikitnya pendanaan yang diberikan bank negara untuk sektor energi terbarukan, dibanding industri tambang yang sudah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan.

Kata dia, bisnis mencari keuntungan sah-sah saja, namun harusnya bermoral. "Ini semua kan demi anak cucu kita, bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang saja. Aturan yang mengatur bisnis harus ramah lingkungan, ini kan demi kelangsungan hidup. Masalah ini haruslah ditindaklanjuti serius," kata Prof Budi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Gde Pantja Astawa juga ikut berkomentar soal dugaan pendanaan tanpa agunan dari bank-bank pelat merah ini, kepada sejumlah perusahaan tambang.

Menurutnya, bank BUMN seperti BNI tentu tidak lepas dari pemeriksaan yang dilakukan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apalagi jika pembiayaannya berjalan selama bertahun-tahun. Jika benar ada dugaan pelanggaran dalam pendanaan perusahaan tambang ini, merujuk UU Perbankan, maka BPK pastinya akan menyampaikan laporannya kepada publik.

"Gak mungkin bisa lolos begitu saja. Ini akan jadi temuan, paling tidak dipertanyakan, kok bisa diloloskan begitu saja? Apalagi tanpa agunan, ini akan menimbulkan kecurigaan," kata Prof Gde Pantja kepada wartawan Rabu 11 Mei 2022.

Kemudian ia juga menyorot kinerja OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi sektor keuangan, termasuk perbankan. Jika ada temuan demikian, pastilah otoritas ini tidak akan tinggal diam, apalagi jika menyangkut prinsip prudential banking.

Ia menjelaskan, bahwa dalam operasional perusahaannya, bank selain mengacu pada UU Perbankan juga berpegang pada UU Perseroan Terbatas (PT). Pengelolaannya berdasarkan prinsip Business Judgement Rule. Dari hal itu, bank akan berhitung untuk rugi perusahaan, termasuk dalam pembiayaan tambang, meskipun yang harus diutamakan adalah prinsip prudential banking atau kehati-hatian.

Pun dirinya mengingatkan kepada jajaran direksi bank, yang diyakininya pastilah orang-orang dengan kemampuan mumpuni, agar mempertimbangkan segala bentuk risiko dalam pembiayaan, terkhusus soal untung rugi. "Harus hati-hati dan berpegang pada busines judgement rule, karena jika ada penyelewengan tanpa itikad baik, maka ancamannya pidana," ujarnya.

Topik Menarik