Jokowi Di Tengah Putin Dan Zelenskyy

Jokowi Di Tengah Putin Dan Zelenskyy

Nasional | rm.id | Senin, 9 Mei 2022 - 07:11
share

Berita pertama dari Jakarta ke dunia internasional: Presiden Jokowi selaku Tuan Rumah KTT G20 tetap akan mengundang Presiden Rusia, Putin, meski Presiden Joe Biden meminta pemerintah Indonesia tidak mengundangnya. Alasan kita: selaku tuan rumah G20, Jokowi harus mengundang semua anggota Forum Kerjasama ekonomi internasional itu, terlepas dari situasi perang Rusia versus Ukraina.

Washington kecewa atas sikap Jokowi. Secara implisit pemerintah Amerika menuding pemerintah Jokowi tidak punya hati menyaksikan kekejaman tank-tank dan peluru kendali maut Rusia memporak-porandakan sekian banyak bangunan dan infrastruktur Ukraina serta membantai ratusan ribu rakyat Ukraina, terutama anak-anak perempuan tua.

Satu juta lebih rakyat Ukraina harus mengungsi ke negara-negara tetangganya, terutama ke Polandia. Pemerintah Amerika memuji sikap pemerintah Singapura yang dengan cepat mengecam invasi Rusia ke Ukraina.

Tanggal 25 Februari 2022, sehari setelah Rusia invasil Ukraina, Kementerian Luar Negeri RI meminta supaya DK PBB bersikap atas krisis Ukraina. Sikap Kemlu RI dikritik oleh Prof. Hikmahanto, pakar hukum internasional dari UI: alasannya sikap RI akan sia-sia. Bukankah Rusia memiliki hak veto di DK PBB?

Beberapa hari kemudian Kemlu juga menyerukanagar peperangan di Ukraina segera dihentikan dan semua pihak menghentikan permusuhan serta mengutamakan penyelesaian secara damai melalui diplomasi.

Sikap pemerintah kita tampaknya hanya normatif, tidak mengandung substansi yang dalam. Bulan lalu, April 2022, Presiden Jokowi juga menyatakan imbauan yang sama: Segera hentikan peperangan di Ukraina. Tapi, bagaimana menghentikan peperangan yang sudah berlangsung sekian lama, tidak pernah kita dengar dari Kemlu.

Yang dibutuhkan adalah konsep konkret untuk menghentikan peperangan. Masalahnya, Perancis, Jerman, Inggris, Turki, AS sudah mengajukan konsepnya, tapi tidak didengar oleh pihak-pihak yang berperang. Kedua pihak yang baku-hantam bahkan sudah 2 (dua) kali duduk di meja perundingan atas bujukan pihak ketiga, toh gagal juga.

Beberapa hari yang lalu ada pula berita yang mencengangkan masyarakat: Presiden Jokowi dikabarkan mengundang Presiden Zelenskyy untuk hadir sebagai observer di KTT G20. Sikap Jokowi ini, konon mendapat pujian dari luar negeri; bahkan Jokowi dikabarkan mampu memainkan peran mendamaikan kedua pihak yang berperang di Ukraina. Jokowi pantas mendapat hadiah perdamaian Nobel?!

Ah, pandangan seperti itu, kiranya, utopia semata.

Jangan lupa, G20 adakah forum Kerjasama ekonomi internasional, bukan forum politik. Apa relevansinya jika Tuan Rumah G20 mengundang Presiden Ukraina semata-mata untuk mengimbangi kehadiran Putin, meskipun Zelenskyy diundang hanya sebagai observer, bukan sebagai Anggota. Zelenskyy langsung mengucapkan penghargaan yang tinggi kepada Jokowi.

Sejauh ini Gedung Putih sayup-sayup mengeluarkan ancaman kepada pemerintah kita untuk memboikot G20 jika Putin tetap diundang. Kementerian Luar Negeri kita menepis ancaman tersebut. Memang Indonesia akan dinilai lemah jika tunduk pada tekanan Washington untuk tidak mengundang Presiden Rusia. Kewajiban Tuan Rumah untuk mengundang semua anggota G20.

KTT G20 masih 6 (enam) bulan lagi. Dinamika peperangan di Ukraina masih terus berkembang. Presiden Joe Biden bisa saja kecewa, bahkan marah jika peperangan menunjukkan skala yang kian hebat dan korban yang meningkat dan benar-benar memboikot KTT itu. Jangan lupa, Amerika punya pengaruh besar di G20. Bisa saja Presiden Biden mempengaruhi negara-negara konco-nya untuk tidak hadir pada KTT G20 di Indonesia nanti, sekaligus secara mendadak melambungkan pengaruh G7 yang terdiri atas AS, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, Kanada dan Italia. Jangan lupa G7 masih aktif, bertemu 2 tahun sekali.Seperti kita ketahui G20 dibentuk untuk menampung negara-negara setengah maju, termasuk R.I. G20 semacam perluasan dari G7.

Jika pemerintah Joe Biden menggoyang-goyang G20 dan KTT di Indonesia diboikot sejumlah anggotanya, reputasi Presiden Jokowi tentu akan guncang juga. Lagipula, apakah benar Presiden Putin akan hadir? Jika perang di Ukraina terus berkobar, apalagi tambah besar, Putin kemungkinan enggan datang menghadiri KTT G20. Ia pasti sadar bagaimana ekspresi wajah para pemimpin G20 terhadap dirinya. Bagaimana pun, satu fakta tidak bisa dipungkiri: Perang Ukraina berawal dari serbuan tank-tank Rusia ke wilayah Ukraina pada 20 Februari 2022.

Seorang diplomat senior kita mengatakan kepada Penulis bahwa undangan Jokowi kepada Presiden Zelenskyy, walaupun baru secara lisan, adalah manuver yang keliru. Sekali lagi, G20 forum Kerjasama ekonomi internasional, bukan forum politik. Bisa saja pencitraan politik luar negeri menjadi tujuan pimpinan Kemlu kita dengan membisiki Presiden Jokowi melontarkan wacana undang Zalenskyy menghadiri KTT G20.

Masalah perang di Ukraina memang kompleks, terkait masa lalu Ukraina yang dekat dengan pemerintahan Hitler. Berita santer mengatakan Zelenskyy sendiri sebetulnya masih keturunan Yahudi; keluarganya masih di Israel. Itulah sebabnya lobby Ukraina di Washington sangat kuat. Tapi sejauh ini pemerintah Joe Biden tidak punya nyali untuk membantu pemerintah Zelenskyy secara all-out. Pengalaman Amerika di Afghanistan menjadi pelajaran sangat pahit bagi pemerintah Biden. Perang di Afghanistan selama 10 tahun berakhir dengan kekalahan yang memalukan di pihak Amerika.

Amerika dan Uni Soviet sama-sama babak-belur memerangi pasukan gerilya di Afghanistan. Pada masa kampanya calon presiden, Joe Biden sudah menyatakan tekadnya untuk mengakhiri kehadiran Amerika di Afghanistan, sekaligus mengecam politik luar negeri Presiden Donald Trump di Afghanistan. Disamping itu, resiko perang nuklir terbuka jika AS bersama sekutu-sekutunya membantu habis-habisan pemerintah Zelenskyy.

Dalam situasi yang demikian rumit (complicated), apakah Kementerian Luar Negeri kita masih bermimpi untuk menjadi pendamai yang mampu mengakhiri peperangan di Ukraina?

Perang di Ukraina niscaya bisa berakhir dan Presiden Putin siap menandatangani pakta perdamaian jika Presiden Zelenskyy menyatakan kesediaannya secara tertulis untuk menyatakan (1) Negaranya takkan menjadi anggota NATO atau (2) mengundang negara-negara NATO untuk membantu secara militer menghantam milkter Rusia.

Perang Ukraina, jika disimak secara kritis, berawal dari politik NATO yang diam-diam memperluas terus pengaruhnya ke negara-negara kecil eks Republik Uni Soviet, sehingga Rusia merasa terkepung. Tatkala ekspansi pengaruh NATO tiba di perbatasan Ukraina, Putin kehilangan kesabarannya. Ia memprovokasi bagian Timur Ukraina mendeklarasi kemerdekaan dan bersekutu dengan Moskow.

Ukraina memiliki nilai sangat strategis bagi Rusia. Eks salah satu Republik Soviet itu adalah pangkalan Angkatan laut terbesar Uni Soviet. Setengah dari persenjataan nuklir juga berada di Ukraina. Maka, Presiden Putin mati-matian melawan upaya NATO memasukkan Ukraina sebagai negara dibawah pengaruh NATO.

Hari ini, 9 Mei 2022, Rusia dan negara-negara sekutu merayakan Hari Kemenangan (Victory Day) Sekutu atas kekuasan Hitler. Di Moskow Hari Kemenangan selalu dirayakan secara meriah, parade militer digelar dengan memamerkan kekuatan militer Rusia. Pemimpin dunia pasti akan mendengarkan pidato Presiden Putin pada hari bersejarah itu, terutama terkait dengan Perang Ukraina.

Dua pemimpin Brazil, Presiden Bolsonaro, dan Lula da Silva (ex. Presiden) sama-sama berceloteh bahwa perang di Ukraina gara-gara-gara Presiden Zelenskyy ex aktor pelawak. Kalau bukan pelawak, situasinya mungkin tidak berkembang begitu buruk seperti sekarang.

Jadi, pemerintah kita harus hati-hati menyikapi peperangan di Ukraina. Jangan bermimpi untuk mencari pencitraan di forum internasional dari perang yang rumit itu.

Prof . Tjipta Lesmana , Pengamat politik internasional , penulis buku Runtuhnya Kekuasaan Komunis ( 1995 )

Topik Menarik