Mudikverse

Mudikverse

Nasional | jawapos | Minggu, 8 Mei 2022 - 12:23
share

HARI ini adalah puncak arus balik mudik tahunan. Sejak tiga hari sebelumnya, terjadi gelombang eksodus kembali ke berbagai kawasan urban dari wilayah udik. Kalau sebelum Lebaran mereka menuju udik, kini mereka menuju hilir atau menghilir. Terjadi eksodus akbar tahunan hilir-mudik, tepatnya mudik-hilir.

Dua Lebaran belajar mudik virtual karena pandemi memuncak seakan tak berbekas. Mudik virtual, lewat fasilitas meeting di internet, hanya menjadi selingan terpaksa dan nelangsa. Hanya menambah rindu dendam pada mudik beneran, mudik fisik. Mudik 2022 ini seakan menjadi wujud tumpahan rindu dendam yang harus dibalas.

Jemaah pemudik (dan pengarus balik) meluber dari 34 juta pada 2019 menjadi lebih dari 80 juta. Berbagai rekayasa dilakukan pemerintah agar arus manusia ini tetap mengalir lancar. Baik laut, udara, dan terutama darat. Maka, liburan diperpanjang 10 harian, dua kali lipat dari liburan Lebaran sebelumnya. Maunya agar lalu lintas lebih mudah diatur karena masa mudik dan balik lebih longgar.

Ternyata, mudik dan arus balik tetap sesak beringsut-ingsut seperti siput. Jalan tol yang sudah banyak ditambah tak mampu menampung para eksodan. Maka, diputuskan jalan tol satu arah saat mudik dan balik. Bahkan, agar arus balik lebih longgar, hari masuk sekolah diundur tiga hari. Karena pegawai kantoran banyak yang mudik sepaket dengan anaknya yang usia sekolah, Polri minta kantor memperpanjang work from home (WFH) di Jakarta. Kalau si pemudik sedang perjalanan mengarus balik, bisa saja kerja dari kendaraan (work from vehicle). Asal tidak sambil nyetir. Pesan itu mirip meme bergambar Haji Rhoma Irama bertulisan Lebaran boleh saja, asal bawa laptopnya.

Alangkah pemurahnya kebijakan pemerintah ini. Seperti memaklumi mudik kali ini pesta yang tertunda dua tahun. Wajah pemerintah banyak senyum saat melayani pemudik. Kita ingat, saat Lebaran sebelum pandemi, pemudik yang telat masuk kantor dihardik sanksi.

Gerakan fisik hilir-mudik di masa Lebaran ini menunjukkan daya tahan budaya eksodus tahunan ini dalam melintasi zaman. Ada sejarawan yang menduga mudik terjadi sejak zaman Majapahit. Ada pula yang menganggap terjadi sejak zaman kita dijajah Belanda. Saat orang-orang desa yang urbanisasi ingin rehat di rumah kelahirannya setelah setahun bergumul dalam budaya urban.

Yang jelas, tradisi ziarah ke kampung halaman ini makin masif sejak munculnya transportasi massal berdaya angkut besar, seperti kereta api dan angkutan mobil antarkota. Dan, ketika pesawat terbang makin terjangkau, pemudik pun memadati bandara-bandara.

Saat pemerintah memblokade jalan-jalan di masa Lebaran 2020 dan 2021 karena pandemi mengganas, jeritan protes dan kemarahan massal di media sosial melengking nyaring. Seperti orang yang batal mendapat hadiah setelah sebulan berjuang. Bahkan, ada yang nekat memaksa mudik dengan menerobos blokade atau meliuk lewat jalan-jalan cacing.

Kehadiran fisik di kampung halaman, reuni keluarga besar, saling mengunjungi, beramah tamah, berbasa-basi, bertukar kabar, mengenang sanak kerabat, bertukar senyum, bertukar canda, berolok-olok, bernostalgia, dan bermemorabilia seakan menjadi jeda spiritual dari kehidupan minus keguyuban di perkotaan. Mereka sejenak mundur ke masa lalu yang romantis. Dan, tradisi mudik ini membawa perasaan abadi sebagai pendatang bagi migran lokal yang selalu merindukan pulang ke kampung halamannya setiap tahun.

Istilah kampung halaman menunjukkan keabadian istilah lama. Yakni, bagaimana imajinasi kampung kelahiran dikaitkan dengan halaman tempat bermain, awal belajar menjadi manusia. Dan, ikatan kampung halaman yang paling kuat adalah ketika masih ada orang tua; bentuk naluri penghormatan rohaniah kepada sumber kehidupan. Karena setiap anak kemudian juga menjadi orang tua, maka selalu ada kampung halaman bagi anak-anaknya. Maka abadilah guliran siklus pulang-pergi dalam ritual mudik.

Mudik tetaplah kegiatan yang mengharuskan kehadiran fisik. Pulang tampak muka, pergi tampak punggung. Mudik telah menjadi semesta (mudikverse) tersendiri. Tak tergoda iming-iming kemudahan menghadirkan diri lewat teknologi digital, termasuk virtual meeting dan, bahkan, metaverse sekalipun. Kunjungan virtual tetap tak dapat mengobati dan menggantikan keterpisahan fisik. Mudik menjadi mirip ritual fisik haji atau umrah, tapi inklusif dan dengan manasik (tata cara) yang lebih longgar.

Urusan silaturahmi dengan kampung halaman bukanlah sejenis pekerjaan atau bisnis yang bisa diefisienkan secara digital. Mudik tetap selalu bermakna kehadiran diri. Pemudik tak tertarik mengubah diri menjadi makhluk digital. Kehadiran fisik, dengan segenap jerih payah untuk mengupayakannya, tetap bernilai tinggi sebagai wujud saling peduli dan respek pada akar kemanusiaan mereka.

Cerita berulang tentang perjalanan panjang dengan segenap rasa letih bermacet-macet menempuh perjalanan panjang selalu menjadi bingkai keindahan dan keabsahan eksodus singkat tahunan ini. Dan, kampung-kampung halaman tetaplah bagian penting bagi kejiwaan abadi manusia Indonesia. Di zaman apa pun, mereka akan tetap gembira hilir-mudik ke tempat awal mereka menjadi manusia. (*)

Topik Menarik