Nasib Tukang Cover Lagu

Nasib Tukang Cover Lagu

Nasional | jawapos | Minggu, 8 Mei 2022 - 06:45
share

Baru di zaman ini tukang cover lagu lebih terkenal daripada pencipta atau penyanyi lagu asli yang di-cover-nya. Seenak-enaknya menjadi penyanyi adalah penyanyi cover.

BAGAIMANA tidak, ia tak harus capek-capek berkarya, berproses menciptakan lagu, cukup dengan hanya menunggu munculnya karya-karya baru, tinggal dipilih lalu dinyanyikan ulang dengan format berbeda. Hasilnya diunggah di laman YouTube, ditonton jutaan orang, semakin terkenal, dan berdampak pada ritme pentas yang padat. Uniknya, lagu yang dibawakan musisi aslinya hanya ditonton segelintir orang. Lebih ironis lagi, lagu-lagu yang diunggah sering kali tak memiliki izin resmi dari penciptanya. Kasus demikian jamak terjadi. Terbaru, Tri Suaka dan Zinidin Zindan, para penyanyi spesialis cover lagu, dituntut Erwin Agam selaku pencipta lagu Emas Hantaran. Lagu itu dinyanyikan ulang oleh mereka, diunggah di YouTube, ditonton jutaan orang, mendatangkan pundi-pundi iklan, namun royalti sama sekali tidak mengalir ke pencipta lagu. Peristiwa serupa pernah dialami (almarhum) Didi Kempot yang berkali-kali memperingatkan agar para tukang cover lagunya membayar royalti, walaupun kenyataannya jauh panggang dari api.

Tukang Cover

Nasib baik memang memihak pada mereka yang memiliki suara merdu. Berbekal media sosial semacam YouTube, mereka menemukan panggung. Media sosial menjadi kenyataan baru, memberi kesempatan sama bagi setiap orang untuk terkenal dan diidolakan tanpa harus capek-capek pergi ke Jakarta sebagaimana era sebelumnya. Lihatlah hari ini, siapa sangka di pelosok kampung, di kabupaten yang tak pernah terdengar melahirkan penyanyi-penyanyi kondang, kemudian kita mengenal sosok semacam Happy Asmara, Denny Caknan, Yeni Inka. Kenyataan yang demikian telah melenyapkan batas-batas geografis. Jakarta tidak lagi menjadi tolok ukur. Di hadapan dunia digital, menjadi penyanyi semudah bersenandung di kamar mandi. Karena itu, dalam lima tahun terakhir banyak bermunculan penyanyi, tapi tak banyak muncul pencipta lagu. Satu lagu dapat diubah, di-cover menjadi berbagai macam genre, dari pop, koplo, hingga jaranan. Satu lagu dapat dinyanyikan ratusan penyanyi. Penonton tinggal pilih yang disukai. Mau model apa pun, di dunia digital, pasti akan tersedia. Apabila belum ada, cukup meminta penyanyi idolanya membawakan dalam format yang diinginkan lewat kolom komentar di laman media sosialnya. Semudah dan sepraktis itu.

Keintiman terjadi antara penonton dan penyanyi. Semakin banyak komentar yang menyertai lagu itu dianggap semakin baik. Sebab, dengan demikian mereka para penonton itu telah melihat dan menikmatinya. Tubuh-tubuh penonton yang biasanya hadir di depan panggung itu direduksi menjadi angka-angka. Angka itu yang menentukan iklan (monetisasi). Bagi penonton, alih-alih gratis menikmati tanpa membeli tiket, para penyanyi itu justru dibayar mahal oleh YouTube lewat iklan yang ada. Tak mengherankan kemudian nasib tukang cover lagu berubah drastis, dari pengamen jalanan menjadi orang kaya baru. Peluh keringat saat mengamen di depan warung makan dan sumpeknya bus antarkota tak lagi dirasakannya. Panggung mereka telah berubah.

Begitulah nasib dunia musik kita hari ini. Satu karya musik tercipta, seketika terbajak berkali-kali. Bukankah media sosial semacam YouTube memiliki perangkat dalam mendeteksi plagiarisme-pembajakan, hak cipta, dan royalti? Memang benar, namun harus diketahui pula, sebagaimana penjelasan saya dalam artikel jurnal berjudul Criticising Government Regulations on Music Royalty in Indonesia and Some Copyright Issues of Music Works in the Digital Space (2021), banyak penyanyi cover yang menyiasati agar lagu yang di-cover-nya tak terdeteksi sebagai pembajakan. Salah satunya dengan menampilkan gaya musik berbeda, mengubah irama, tempo, merekayasa melodi. YouTube membacanya sebagai karya baru, bukan karya yang berbasis cover. Akibatnya, lagu cover itu lolos dari skrining hak cipta oleh YouTube. Tukang cover sepenuhnya mendapat penghasilan dari iklan yang masuk tanpa berbagi dengan pemegang resmi hak ciptanya. Mereka dengan bebas menyanyikan ulang lagu orang lain, tanpa takut dianggap menjiplak, walau kenyataannya memang demikian.

Keterbukaan

Apabila di tingkat media sosial yang dapat dilihat kapan pun dan oleh siapa pun saja lolos, bagaimana dengan saat mereka pentas di berbagai daerah dengan membawakan lagu-lagu cover? Siapa yang mengawasi? Dan bagaimana royalti itu bisa dipungut? Padahal, penyanyi cover semacam Tri Suaka dan Zinidin Zindan, lewat akun YouTube-nya, dapat diketahui bahwa mereka memiliki ritme pentas offline yang padat, diundang secara resmi dengan bayaran yang mahal (jika tak boleh dibilang bombastis). Urusan royalti memang menjadi masalah pelik yang tak kunjung usai, kendatipun pemerintah telah membuat Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ahmad Dhani, pentolan Dewa 19, meragukan kredibilitas lembaga tersebut karena dianggap tak transparan. Musisi mendapatkan royalti tanpa mengetahui pertanggungjawaban pemungutannya, kapan, di mana, oleh siapa lagunya dinyanyikan, dan bagaimana mekanisme pemungutannya? Semua itu tidak dapat dijelaskan secara transparan dan terbuka. Karena itu, Dhani menyatakan keluar dari keanggotaannya pada lembaga resmi tersebut.

Kasus Tri Suaka dan Zinidin Zindan seharusnya menjadi momentum penting bagi keterbukaan urusan royalti. Ada periode tertentu di mana tukang cover lagu diwajibkan membuka data-data perizinan, pembayaran royalti, dan persentase pendapatan yang mereka peroleh kapada publik. Sudah selayaknya masalah royalti tidak dibicarakan secara sembunyi-sembunyi atau abu-abu, namun dibutuhkan tindakan jelas dan terukur. Jika tidak, bergembiralah para tukang cover lagu. Anda hidup di dunia surganya pembajakan. Anda bebas menyanyi dan bertambah kaya, kendatipun di pihak lain ada pencipta yang meronta dan menangis tersedu. Aduh! (*)

ARIS SETIAWAN , Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta

Topik Menarik